Thursday, June 25, 2009

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945

oleh DR. Harjono, SH, MCL*


Pendahuluan

Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu Negara oleh karenanya pembuatan Perjanjian Internasional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaraan Negara sudah seharusnya didasarkan ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai pondasi dalam penyusunan sistem Hukum Tata Negara, oleh karena itu pembuatan Perjanjian Internasional juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik diantara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara Pemerintahan Negara mengenai dasar konstitusional yang mengatur pembuatan Perjanjian Internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang Perjanjian Internasional.

Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan Perjanjian Internasional menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat: “there are wholes; they have elements and those elements have relations which form structure”. Lebih lanjut dinyatakan: “Source-based system has legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations are clasically formed into a pyramidal and hierarchal structure with one ultimate rule, ‘basic norm’ or ‘legal science fiat’ at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community”. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagaimana di atas uraian di bawah ini akan ditinjau dari Perjanjian Internasional dalam UUD 1945.

Dasar Hukum

Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.

Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.

“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.

Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.

Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.

Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.

Bentuk Hukum

Sebuah Perjanjian Internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar Negara yang membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkan kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihak Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden lah yang akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden.

Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentuk hukum Undang-Undang.

“Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.”Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai karakteristik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu Rancangan Undang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak.

Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara Negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan Undang-Undang menimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional sedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang berada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.

Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya.

”Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.”Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuah Perjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional dituangkan dalam bentuk hukum Undang-Undang dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalam Undang-Undang apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam Undang-Undang Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah Perjanjian Internasional yang dilampirkan dalam Undang-Undang ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimana mestinya.

Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi Undang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam Perjanjian Internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian.

Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan Undang-Undang. Dalam banyak Undang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk Undang-Undang, sebagai misal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di Negara lain tidak selalu memberi bentuk Perjanjian Internasional sebagai Undang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusi bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undang dibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat Negara tersebut.

Persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional

Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia.

“… dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya, baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.”Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.

Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan Negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat ”Perjanjian Internasional lainnya” yang: (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya. Pengertian “yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek Hukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik Hukum Internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa.

Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan Negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional.

Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.

Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional

“Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri.”Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehendak masing-masing pihak. Disisi lain masing-masing Negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ Negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili Negara tersebut dalam berhubungan dengan Negara lain. Perjanjian Internasional yang lahir atas dasar kesepakatan ini menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya perjanjian internasional mempunyai dasar “good faith” antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak, atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu Perjanjian Internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian Internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust” antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda” menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal Negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ Negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili Negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau Negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga Negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada Perjanjian Internasional yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya Perjanjian Internasional tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum Perjanjian Internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas reciprocity yaitu bahwa pelaksanaan Perjanjian Internasional tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bersangkutan di Negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara reciprocity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada Negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatik. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai Perjanjian Internasional hanya membebani kewajiban secara sepihak saja.



“Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.”
Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai the Law of Treaty, dasar mengikat Perjanjian Internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan Perjanjian Internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi Negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan Perjanjian Internasional dengan Negara lain dan menerima ketentuan the Law Treaty sebagai acuannya, maka the Law Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber Hukum Internasional.

Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan

Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada. Sementara itu Hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur, oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat Internasional. Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh Negara-Negara di dunia, maka secara substantif dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak Negara, oleh karenanya Hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam Perjanjian Internasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu Perjanjian Internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak Negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya Negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil, dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh Hukum Nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Disamping sumber hukum materiil, Hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah Undang-Undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim bahkan wajib untuk mendasarkan putusannya pada Undang-Undang. Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, Perjanjian Internasional atau Traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari Undang-Undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formil Undang-Undang pada hal bukan. Status Perjanjian Internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan Perjanjian Internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau Statute yang dibuat oleh Congress merupakan sumber hukum bagi Hakim, sedangkan Perjanjian Internasional tidak dituangkan dalam bentuk Law atau Statute yang dibuat oleh Congress, tetapi Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat, namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa Perjanjian Internasional sebagai the law of the land. Meskipun Perjanjian Internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam Perjanjian International. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari Perjanjian Internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau Article 111 dari Convention on Recognition and Enforcementof Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi: “Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure terri tory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article”. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya Hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrase asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article” sebagaimana disyaratkan Article 111 tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari Article yang terdapat dalam United Nations



“Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional.”
Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.” Pasal ini tidak dapat diterapkan oleh Hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkah legislatif lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat publik yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional. Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan Hukum Perjanjian Internasional dapat disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut:

Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, Perjanjian Internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil Negara dalam berhubungan dengan Negara lain.
a. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk
hukum ratifikasi Perjanjian Internasional adalah Undang-Undang, oleh karena itu diperlukan
pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-
Undang.
b.Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk Perjanjian
internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-
hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan
perubahan Undang - Undang, bukan didasarkan atas pembedaan antara Perjanjian
Internasional publik dan privat.
c.Perjanjian Internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum
dalam Hukum Nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena
diwadahidalam bentuk Undang-Undang, sehingga Perjanjian Internasional merupakan sumber
hukum di luar sumber hukum Undang-Undang.
d.Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat
Perjanjian Internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan
sumber hukum bagi putusan pengadilan.
e.Pengesahan Perjanjian Internasional dalam bentuk atau wadah Undang-Undang
menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.
-------------------------------------
Makalah disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, 18 – 19 Oktober 2008, Surabaya
*Dr. Harjono, sh., m.cl.. S1, Sarjana Hukum (S.H.) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1977; S2, Master of Comparative Law (M.C.L.) School of Law, Southern Methodist University, Dallas-USA, 1981; S3, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1994.

AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)

oleh Prof. Bagir Manan*
Pengertian-pengertian

Dalam tulisan ini yang diartikan dengan :

“Perjanjian Internasional” adalah perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD.[1]
“Pengesahan” adalah pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Bentuk Hukum
“Pengesahan Perjanjian Internasional”

Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk hukum (Undang-Undang atau bentuk lain). Yang disebut adalah “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, bukan produk hukumnya. Berbeda dengan UUDS ’50 menyebutkan: “Kecuali jika ditentukan lain dengan Undang-Undang, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan Undang-Undang”. Ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.[2]

Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dalam praktek ketatanegaraan sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 (Perjanjian Internasional), setiap perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Mengapa?

Pertama: berkaitan dengan makna “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu fungsi legislatif (legislative function), fungsi pengesahan anggaran (budget function), dan fungsi pengawasan atau kendali (control function). Perjanjian Internasional adalah kesepakatan antara dua Negara atau lebih untuk melahirkan hukum atau persetujuan mengikatkan diri pada suatu hukum yang berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).[1] Kalau pengertian Perjanjian Internasional tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat Undang-Undang, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas Negara. Telah menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. Undang-Undang adalah produk fungsi legislatif DPR, karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk Undang-Undang.
Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan

“Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden)”.Telah menjadi praktek ketatanegaraan (konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Di masa sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas surat Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah mengenai bentuk hukum Perjanjian Internasional, baik yang memerlukan persetujuan DPR, maupun yang tidak memerlukan persetujuan DPR (executive agreement). Surat Ketua DPR, karena UUD 1945 tidak memuat ketentuan seperti diatur UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1). Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, surat semacam ini – demikian pula memorandum tertulis – dikategorikan sebagai menciptakan Konvensi Ketatanegaraan – walaupun tertulis – bukan hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena bersifat etik belaka (constitutional ethic).[1] Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat semacam ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid).

Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua.

Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua tetap dapat diterapkan, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan tersirat dalam Pasal 11 yang menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sekaligus mengandung makna “bentuk Undang-Undang”.

Sejak tahun 2000, argumen-argumen di atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10.[2]
Kedudukan dan kekuatan mengikatUndang-Undang Perjanjian Internasional

Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata Hukum Indonesia, mengajukan berbagai sumber hukum formal – antara lain – peraturan perundang-undangan dan Perjanjian Internasional (traktat, treaty). Dua sumber tersebut terpisah masing-masing berdiri sendiri. Tetapi dipihak lain, setiap Perjanjian Internasional yang dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum Nasional yaitu Undang-Undang atau Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat Peraturan Presiden).[1] Undang-Undang dan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur (Peraturan Presiden), adalah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk sebagai salah satu sumber peraturan perundang-undangan. Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).

Sistematik keilmuan ini berbeda dengan misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak memberi bentuk peraturan perundang-undangan nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan peraturan-peraturan yang ditetapkan Uni Eropa, berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan perundang-undangan nasional. Bahkan UUD harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian antar anggota, berada pada urutan teratas sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), memang mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah dari peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang.

“DPR tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional.”Kembali kepada memberi bentuk Undang-Undang Perjanjian Internasional. Sebagai konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, maka segala tata cara membentuk Undang-Undang berlaku pada peraturan perundang-undangan Perjanjian Internasional, kecuali:

Pertama, hak inisiatif membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional semata-mata ada pada Presiden. DPR tidak mempunyai hak inisiatif membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional. Mengapa?Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki Perjanjian Internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR merupakan suatu penyimpangan atas Asas Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa dengan hak budget. Meskipun DPR mempunyai hak budget, tetapi tidak mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU APBN. Membuat dan melaksanakan APBN adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu hukum disebut “Undang-Undang formil” (formeel wet)[1] lain, seperti Undang- Undang pembentukan daerah otonom, pembentukan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas inisiatif DPR.

Kedua, DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang sudah diparaf oleh masing-masing Pemerintah. Dalam hal memasuki Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju atau tidak setuju mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional yang sudah ada. Jadi, kalau DPR, baik di dalam atau di luar sidang berpendapat agar ada perubahan isi suatu Perjanjian Internasional, sebagai syarat pengesahan, merupakan sesuatu ucapan atau tindakan tanpa wewenang.

Setiap Undang-Undang akan serta merta mengikat setelah segala tata cara melahirkan Undang - Undang dipenuhi, kecuali :
(1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan saat (waktu) mulai berlaku.
(2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan akan berlaku setelah ada peraturan pelaksana
(implementing regulation).

Suatu contoh, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini menegaskan akan berlaku setelah lima tahun dan ada peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah).
Kasus yang sama berlaku juga pada Undang-Undang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Perjanjian Internasional akan serta merta berlaku sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta merta berlaku.

(1) Syarat jumlah Negara penandatangan. Misalnya setelah ditandatangani lebih dari
separoh anggota PBB.
(2) Mencantumkan syarat peraturan pelaksanaan (implementing regulation) baik untuk
seluruh atau pasal-pasal tertentu. Misalnya, terhadap ketentuan yang menimbulkan
kewajiban pada warga negara (kewajiban individual).
(3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, seperti penyesuaian UUD yang memuat
ketentuan berbeda dengan Perjanjian Internasional yang bersangkutan.
(4) Praktek ketatanegaraan yang senantiasa memerlukan peraturan pelaksana sebagai
syarat Perjanjian Internasional berlaku efektif. Praktek ini seyogyanya tidak berlaku
bagi Negara yang memberi bentuk Undang-Undang pada Perjanjian Internasional

Di atas telah dikemukakan, sepanjang Undang-Undang Perjanjian Internasional telah dibuat dengan tata cara yang diatur Undang-Undang (Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain.

Salah satu tata cara yang perlu dicatat adalah “memuat dalam Lembaran Negara”. UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak memuat fungsi hukum “memuat dalam Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50 yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula dalam AB dan IS.[1]
Bagaimana praktek ketatanegaraan yang berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam Lembaran Negara dimuat dalam Undang-Undang yang bersangkutan dengan menyebutkan: “Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia”.

Secara kebahasaan, ketentuan di atas seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar setiap orang mengetahui). Apakah sekedar pengumuman?

Ketentuan “agar setiap orang mengetahui...” merupakan pengejawantahan fiksi hukum: “setiap orang dianggap mengetahui Undang-Undang”. Setiap Undang-Undang atau peraturan yang telah dimuat dalam Lembaran Negara, tidak ada lagi alasan mengatakan tidak mengetahui, karena itu tidak terikat. Dengan perkataan lain, memuat dalam Lembaran Negara yang secara kebahasaan seolah-olah sekedar untuk diketahui (mengetahui), secara substantif mengandung arti dengan dimuat dalam Lembaran Negara berarti setiap orang terikat. Karena itu Undang-Undang tentang suatu Perjanjian Internasional dimuat dalam Lembaran Negara, maka dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat, kecuali kalau ada klausula yang sudah diuraikan di atas.

Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang-Undang, sudah semestinya Undang-Undang Perjanjian Internasional mengikat, tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara membuat atau memasuki Perjanjian Internasional, tidak mencantumkan ketentuan mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih kuat?

Acap kali ada kekeliruan (misleading) mengartikan hubungan antara hukum atau peraturan perundang-undangan yang umum dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tetap berlaku pada peraturan khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang tidak mengatur berbagai akibat hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk Undang-Undang, maka berlaku asas dan ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang. Karena sudah ada Undang-Undang (Undang-Undang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang, maka segala sesuatu harus diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata cara berlaku suatu Undang-Undang.

Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif.

Penutup

Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukkan Undang-Undang, suatu Undang-Undang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta merta mengikat seperti Undang-Undang lainnya. Agar suatu Undang-Undang yang materi muatannya bersumber dari Perjanjian Internasional tidak perlu memerlukan Undang Undang atau peraturan pelaksanaan (implementing regulation), kecuali Undang-Undang tersebut menentukan sendiri peraturan pelaksanaan.
------------------------
Makalah ini disampaikan pada Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia (kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, Bandung, 29 November 2008).
*PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL.
Bagir Manan adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Pada tahun 2001, beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kariernya di bidang hukum tergolong panjang. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Sebelumnya, ia menjabat Direktur Perundang-undangan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995), serta dosen luar biasa di UI, UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia alumnus FH Unpad (1967), Master of Comparative Law Southern Methodist di University Law School Dallas Texas AS (1981), dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan Unpad tahun 1990.

[1] UUD 1945, Pasal 11: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat…membuat…perjanjian dengan Negara lain.
[2] Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: “kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk Undang-Undang”.
[3] Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 1 angka 1: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
[4] Lihat, KC.
Wheare, Modern Constitutions….
[5] Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaidah hukum baru.
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
[6]Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[7] Undang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat (secara) umum.
[8] UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”, Konstitusi RIS, Pasal 143 ayat (2) menggunakan kata “pengumuman” dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang secara baku diartikan ”pengundangan”.
AB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den Gouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid der regering”.
IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM DINAMIKA GLOBAL

Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu (spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian. Penulis juga tidak bermaksud mencoba menyajikan risalah teori hukum apapun. Sebaliknya, tulisan ini semata-mata merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastian dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertian perjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanya melekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkan sifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI.

Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakat tentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka, dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai dengan hasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan para pihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatan hukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang. Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama (sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku), sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda[1].

Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isi kesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusus sebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya, maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat (hukum) tertentu tanpa persetujuannya.
Dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, diatur dalam Pasal 11 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

UU tentang Perjanjian Internasional sangat penting artinya untuk menciptakan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI. Pada dasarnya UU tersebut memuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional, yang sekalipun tidak/belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional dan telah dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.

PRAKTEK HUKUM RI: MONISME OR DUALISME?

Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan UU No. 6/1996 tentang Perairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan dasar hukum untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982.
Komentar Prof. Swan Sik:
Pertanyaan berlakunya hukum internasional (HI) didalam lingkungan hukum nasional Indonesia (HN) memang belum jelas terjawab. ToR tepat menitikberatkan bahwa dari sudut tata-hukum Indonesia perlu dikembangkan pilihan politik hukum antara kemungkinan2 sebagai berikut:
HI dianggap sebagai tata-hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan sistematis dengan HN, dengan lain perkataan secara mutlak berada dan berlaku diluar dan disamping lingkungan HN (pada hakekatnya menganut “aliran dualisme”). Pilihan ini berkonsekwensi diperlukan pembuatan hukum menurut acara dan dalam bentuk HN (transformasi) agar kaidah isi HI bersangkutan dapat berlaku sebagai hukum dalam lingkungan HN. Dengan demikian kaidah tersebut yang telah di”transformasi” sebagai HN, berlaku setaraf dengan HN lainnya, dan tunduk pada azas2 yang menentukan hubungan antar-kaidah hukum (a.l. lex posterior derogat legi priori). HI dan HN pada hakekatnya dianggap sama2 merupakan bagian dari hukum sebagai keseluruhan (sesuai ajaran monisme). Oleh karena itu HI dianggap berlaku pula (“di-inkorporasikan”) dilingkungan HN, setaraf dengan HN “aseli”, namun dengan mempertahankan sifat HI-nya (tanpa “transformasi”) dan sejauh isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan2 HN. Azas2 tsb.tadi berlaku pula terhadapnya.

HI dianggap tidak hanya ter-inkorporasi dalam lingkungan HN, bahkan diakui sebagai hukum yang bertingkat lebih tinggi, sehingga mendahului HN yang berlawanan dengannya. Dalam jurusan ini terdapat dua variasi, yang satu mengecualikan UUD dari pengutamaan HI, dan yang lain bahkan menempatkan UUD pun dibawah HI. Pilihan antara ketiga kemungkinan tsb. diatas dapat ditentukan secara berbeda-beda. Ada HN yang menentukan pilihan tsb. di Konstitusinya, atau dgn jalan undang-undang, atau melalui tundakan2 berdasarkan otoritas pejabat hukum (misalnya hakim, atau pemerintah pusat). Disamping itu ada kemungkinan diadakannya perbedaan antara HI tertulis (perjanjian internasional) dan HI tak tertulis (hukum kebiasaan) dalam penerapan pilihan sistem.

Sikap tata hukum Indonesia (HN) terhadap berlakunya HI dalam lingkungan HN sebagai keseluruhan belum jelas. Petunjuk paling jelas sebenarnya dapat dilihat dalam praktik peradilan (“yurisprudensi” dalam arti-kata umum). Bahkan dari zaman kolonial masih ada ketentuan yang berdasarkan peraturan2 peralihan masih berlaku, seperti pasal 22a “Ketentuan2 umum perundang-undangan” (Algemene bepalingen van wetgeving, Staatsblad 1847:23) yang berbunyi: “Wewenang hakim dan daya pelaksanaan keputusan hakim dan akta otentik dibatasi oleh pengecualian2 hukum internasional.” Berdasarkan ketentuan ini hakim wajib menguji wewenangnya terhadap HI, sehingga dapat diharapkan ada keputusan2 hakim yang mengutarakan pendapatnya tentang ada (tidak)-nya “pengecualian2” demikian, baik yang bersumber di hukum kebiasaan, maupun di hukum PI yang berlaku untuk Indonesia. Sayang sukar untuk diketahui praktek hakim karena masih belum adanya kebijakan pengumuman luas keputusan2 hakim (selain dari pemberitaan2 wartawan disurat kabar).

Komentar Damos Dumoli Agusman:
Dari hasil diskusi dengan para ahli hukum Indonesia, terdapat suatu pertanyaan critical, yaitu ”apakah suatu negara mutlak memilih salah satu jurusan tersebut”. Beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya ketiga jurusan itu bisa dipakai dengan menggunakan parameter kepentingan nasional secara kasus per kasus. Artinya, jika kepentingan nasonal (national interest) menuntut, maka ketiga jurusan itu bisa dipakai secara bergantian. Dalam konteks ini mereka tidak menginginkan HN Indonesia memilih jurusan dan membiarkan ketiganya applicable dalam setiap kasus.

Saya sendiri berpendapat bahwa ”bukan jurusan yang menentukan apa yang HN pilih, tapi apa yang HN pilih yang akan menentukan jurusan”. HN Indonesia tidak perlu terjebak dengan berbagai jurusan tsb namun tetap diperlukan adanya sikap (”legal provisions”) dalam HN Indonesia yang menentukan apa status HI dalam HN (hubungan HI dan HN). Jika HN telah menetapkan status hubungan ini maka warna jurusan akan terlihat dan teridentifikasi.

Kesulitan yang saya hadapi adalah, para ahli Indonesia menolak menggunakan teori monisme-dualisme dalam menjelaskan hubungan HI dan HN namun tanpa sengaja pandangan mereka tentang hubungan ini selalu dilatarbelakangi oleh salah satu aliran ini. They deny the theory but their thinking reflect the theory.

Saya sendiri keberatan jika parameter kepentingan nasional selalu dipakai untuk menentukan pemilihan jurusan karena akan menciptakan ketidakpastian hukum dan prinsip predictability yang menjadi fundasi suatu sistem hukum. Dari pandangan para ahli hukum Indonesia, dapat saya simpulkan bahwa pandangan mereka terhadap hubungan HI dan HN mengarah pada memilih salah satu jurusan teori, dan belum terlihat adanya pandangan yang diluar dari ketiga jurusan tsb.

Pertanyaan saya: dapatkan suatu negara memilih ketiga jurusan tersebut? Jika dapat, apakah dilakukan secara “silent”? (tanpa memerlukan penetapan oleh HN?)

Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatu perundang-undangan?

Komentar Prof. Swan Sik:
Syarat keberlakuan PI untuk lingkungan HN ditetapkan oleh HI (ada tidaknya PI yang relevan untuk RI) dan HN (ketentuan status PI tsb. dalam lingkungan HN). Adanya perundang-undangan yang mengatur hal2 sama dengan apa yang telah diatur pula dalam suatu PI yang berlaku untuk RI, tidak per se merupakan bukti bahwa RI menganut dualisme. Perundang2-an bersangkutan mungkin “mengatur lebih lanjut” (ToR dengan tepat menggunakan istilah “implementasi”). Agar PI mengikat suatu negara (berlaku, dari sudut HI, terhadap suatu negara) diperlukan seperangkat tindakan pejabat hukum HN (ratifikasi) yang dalam hal ini bertindak baik dalam fungsi HN maupun fungsi HI. Apakah tindakan2 tersebut juga berakibat PI bersangkutan berlaku dalam lingkungan HN (lihat catatan diatas) adalah pertanyaan yang perlu dijawab oleh HN, dalam bentuk tegas ataupun sebagai hasil penafsiran (contoh: oleh hakim).
Komentar Damos Dumoli Agusman

Memang tidak terdapat indikasi tegas apa yang dianut oleh Indonesia dalam masalah hubungan HI dan H. Praktek Indonesia justru tidak konsisten dalam masalah ini. Indikasi kearah monisme misalnya tercermin dari:

1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”

2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat kalimat: ”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsung tanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes Saudi Arabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961

4. Judicial review MK tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: merujuk langsung pada “praktek dan kebiasaan internasional secara universal”

5. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.

6. PASAL 22A AB: KEKUASAAN HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN- PENGECUALIAN OLEH HI

Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnya dalam praktek penerapan UNCLOS 1982. UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS 1982 tidak mencabut UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. UU ini baru dicabut oleh UU No. 6/1996. Dalam hal ini, UU No. 17/1985 tidak dianggap bertentangan dengan UU Perpu 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangka dualisme, UU No.6/1996 sendiri dapat dianggap sebagai UU yang mentransformasikan UNCLOS 1982.

Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi utatu PI sebagai produk perundang-undangan. Menurut kelompok ini UU/Perpres ini hanya jubah untuk menyatakan persetujuan DPR/Presiden dan bukan merupakan UU/Perpres dalam pengertian perundang-undangan. Kelompok ini masih menganggap perlu adanya UU/Perpres yang mentransformasikan PI dimaksud. Jurisprudensi Indonesia sendiri belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi untuk pengembangan doktrin hubungan HI dan HN

Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatu perundang-undangan?

Komentar Prof. Kwan Sik

Dilihat dari sudut umum, pilihan para fihak (negara atau organisasi internasional) tentang penempatan (G-to-G) loan agreement mereka dilingkungan HI atau HN adalah pilihan politik (kebutuhan dan kepentingan) dan tidak merupakan persoalan teoretis juridis. Pertanyaan yang kita hadapi yalah apakah pilihan demikian masih mungkin bagi RI, dengan adanya UU 24/2000 pasal 10 judul (f). Tercantumnya judul ini boleh jadi oleh karena pembuat UU secara prinsip tidak sudi memperbolehkan perjanjian pinjaman/hibah antar-negara/organisasi internasional diperlakukan sebagai perjanjian yang dikuasai suatu HN. Sebaliknya tercantumnya judul tersebut juga boleh jadi melulu disebabkan kehendak pembuat UU 24/2000 bahwa perjanjian pinjaman/hibah, karena materinya, perlu disetujui UU. Dalam hal ini persetujuan dengan UU itu dapat saja ditafsirkan lepas dari hal penempatan perjanjian tsb. dilingkungan HN atau HI (lihat juga catatan atas ayat 16). Tafsiran terakhir ini lebih2 masuk akal apabila ternyata praktek Indonesia setelah diundangkannya UU 24/2000 masih tetap kadang2 memuat klausula tentang governing law".

Komentar Damos Dumoli Agusman:

Dilihat dari historis pembuatan UU No 24/2000, perumus UU No. 24/2000 pada waktu itu tidak dibekali oleh pemahaman tentang definisi perjanjian internasional, sehingga menganggap semua perjanjian baik perdata maupun public adalah treaty dalam pengertian Konvensi Wina 1969. Sehingga loan agreement pada waktu itu oleh perumus UU No. 24/2000 selalu dianggap sebagai treaty sekalipun governed by HN. Dalam konteks pemahaman yang keliru inilah loan agreements dirumuskan dalam UU No. 24/2000. Akibatnya, maka berdasarkan UU No. 24/2000 tidak lagi diberi ruang bagi adanya loan agreement governed by HN. Dalam praktek, hal ini tidak dapat dipertahankan karena acapkali muncul loan agreements yang governed by HN namun “dipaksakan” untuk dikategorikan sebagai PI berdasarkan UU No. 24/2000. Untuk itu sejak tahun 2006, dalam rangka pembuatan RUU tentang Pinjaman/Hibah telah diupayakan untuk membedakan perjanjian pinjaman menjadi dua jenis, yaitu governed by international law dan governed by national law. Untuk kelompok pertama diterapkan UU No. 24/2000 tetapi untuk kelompok kedua tidak perlu diberlakukan.

Saat ini terjadi perdebatan yang sangat intensif antara Deplu dengan Depkeu/Bapenas tentang status loan agreements dalam RUU tentang Pinjaman/Hibah. Deplu mengusulkan agar dalam RUU ini dibedakan antara kedua jenis perjanjian ini sehingga dapat diketahui rejim UU apa yang akan diberlakukan.

Menurut saya, pilihan hukum tentang loan agreements tetap menjadi persoalan juridis teoritis karena “theoretically” loan agreement bukan merupakan domain dari hukum internasional. ILC sendiri dalam drafting Vieanna Convnetion 1969 menempatkan loan agreements sebagai “subject to a national law”.

Praktek negara (termasuk IBRD) yang cenderung menggunakan HI sebagai governing law adalah karena konstelasi politik internasional dewasa ini beranggapan “governed by international law” lebih secured dari pada “governed by a national law”. Mereka enggan menggunakan pengadilan nasional dan HN untuk penyelesaian conflict. Sehingga mereka menggunakan “treaty” dari pada “contract”. Pertanyaan critical adalah apakah norma HI sudah cukup “adequate” dan available untuk mengatur tentang loan agreements, their terms, misalnya penetapan loan interest.

Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata. Akibatnya, muncul berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang mendindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005.

Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjian pinjaman, yaitu: perjanjian internasional publik governed by international law seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan, perjanjian perdata internasional biasa yang governed by other than international law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan UU tersebut.

Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut Pasal 10 (f) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan UU dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam UU tersendiri. UU Nomor 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam Pasal 23 (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.

Dalam pembahasan RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri.

Namun hal ini menimbulkan pertanyaan akademis tentang apakah persetujuan DPR dalam kontek UU APBN identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan UU (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?. Seperti diketahui bahwa UU tentang APBN bukanlah UU untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Dalam kaitan ini, apakah lembaga ratifikasi seperti yang dikenal dalam hukum tatanegara telah mengalami pergeseran makna?

Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun PP Nomor 2 Tahun 2006 (bahkan dalam RUU Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional jelas mengkategorikan perjanjian pinjaman sebagai perjanjian per definisi UU ini yaitu perjanjian governed by international law. Konsekuensinya, untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman (loan agreements) adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional.

Selain itu, Pasal 16 PP Nomor 2 Tahun 2006 menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang tentunya membutuhkan ratifikasi sebelum pemberlakuannya.

Komentar Prof Kwan Sik :

Menurut tafsiran yang manapun, dengan (dan selama) adanya UU 24/2000 pemerintah tidak mungkin mengadakan perjanjian pinjaman yang mulai berlaku sejak saat ditandatangani, dan dengan demikian pasal 16 PP 2/2006 bertentangan dengan UU.

Komentar Damos Dumoli Agusman :

Untuk menyelesaikan problem ini, maka DEPLU telah memberikan penafsiran bahwa loan agreement menurut UU 24/2000 adalah “treaty”. Jika loan agreement itu tidak treaty (governing law adalah HN) maka UU 24/2000 tidak apply, artinya PP 2/2006 can apply.

Komentar Prof Kwan Sik :

Cara persetujuan DPR seperti yang disebut di ayat 18 diatas pada hakekatnya merupakan persetujuan terlebih dahulu (in advance) atau “pemberian wewenang” untuk mengadakan pinjaman sampai batas tertentu, walaupun tanpa perincian sumber pinjaman demikian. Apakah ini dapat dianggap telah memenuhi syarat tersebut dipasal 23(1) UU 17/2003 dan pasal 10 UU 24/2000 merupakan soal penafsiran yang dapat dijawab oleh praktek hubungan pemerintah-DPR. Sebaiknya pemerintah mencari ketegasan dengan jalan memancing pernyataan azas dari fihak DPR.

Komentar Damos Dumoli Agusman :

Melihat kompleksitas masalah ini maka sampai saat ini DPR belum memberikan posisi apa pun tentang hal ini. Namun demikian Depkeu menyatakan pasal 16 PP 2/2006 tidak bertentangan dengan UU karena sudah ada persetujuan dari DPR dalam bentuk UU APBN.

Pertanyaan saya adalah apakah persetujuan DPR (in advance) identik dengan ratifikasi? Mengingat karakter ratifikasi adalah “confirming the act that already taken by the executive” maka persetujuan in advance bukan ratifikasi. UU 24/2000 tidak mengatur persetujuan in advance karena tidak dikenal dalam hukum perjanjian internasional.

NOMENCLATURE, SHOULD THEY BE DISTINGUISHED?
Secara tradisional bentuk dan nama perjanjian (nomenclature) tidak relevan untuk dibedakan karena apa pun namanya tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini, content perjanjian merupakan tolok ukur ketimbang namanya. Namun demikian, dunia diplomasi cenderung memberikan bobot yang berbeda untuk setiap nomenclature. Treaty dan Agreement akan dianggap lebih mengikat ketimbang MOU.

Komentar Prof. Swan Sik:

Salah satu hal yang masih tetap tanpa ketegasan yalah konsekwensi bermacam- macam sebutan yang dipakai dalam praktek untuk perjanjian2 antar-negara/organisasi internasional. Yang dimaksudkan yalah apakah penggunaan istilah tertentu berakibat berbeda dalam bidang keberlakuan hukumnya. Masalah ini sayang sekali terlalu luas (dan spekulatif) untuk dijadikan objek catatan singkat.

Bagaimanapun persoalan ini sekali-kali tidak semata-mata soal nomenclatur, melainkan soal usaha politik antar-negara untuk menghindari keterikatan pada kewajiban hukum tanpa mengaku maksud tersebut. Petunjuk utama jika menghadapi persoalan bersangkutan yalah tafsiran segala faktor yang memain peranan dalam terjadinya “perjanjian” bersangkutan. (Masalah tersebut pernah saya bahas sebagai judul pidato inaugurasi saya pada tahun 1990, sayang sekali dalam bahasa Belanda: “De verplichting in het volkenrecht” [Kewajiban dalam hukum internasional] . Pustaka mengenai masalah ini pasti telah banyak berkembang sejak saat itu, namun menurut terkaan saya masalahnya tetap terbuka).

Komentar Damos Dumoli Agusman:

Praktek Indonesia dalam pembuatan PI dengan negara-negara lain sangat inkonsisten. Pandangan para negotiators selalu terjebak pada mind setting bahwa MOU lebih rendah dari agreement dan agreement lebih rendah dari Treaty.

Perkembangan hukum perjanjian internasional juga ditandai dengan adanya perbedaan praktek Negara mengenai nomenclature MoU. Ada praktek Negara, khususnya pada Negara-negara common law system yang berpandangan bahwa MoU adalah non legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties.

Adanya pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktek beberapa Negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti khususnya tentang implikasinya dalam hukum nasional.

Dinamika dalam masalah nomenclature ini menimbulkan pertanyaan mendasar dalam dunia praktisi tentang apakah diperlukan adanya tingkat hirarki perjanjian internasional berdasarkan namanya.


APAKAH LEMBAGA NEGARA DI LUAR EKSEKUTIF DAPAT MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL?
Praktek internasional termasuk Indonesia juga ditandai dengan maraknya pembuatan perjanjian internasional oleh lembaga di luar eksektif seperti MA, BPK dan DPR. Gejala ini telah memicu pertanyaan yang bersifat akademis yaitu apakah dewasa ini pemerintah suatu negara yang selama ini dikenal sebagai pemangku fungsi representation of states tidak lagi menjadi lembaga tunggal untuk membuat perjanjian internasional?

Komentar Prof. Swan Sik:

Bagi HI yang menentukan yalah apakah ada suatu PI, artinya perjanjian antara subjek2 internasional bersangkutan, biasa negara, dan sekali-kali bukannya alat(-alat) perlengkapannya. Sejauh pimpinan negara mengizinkan lembaga2 kenegaraan lain daripada Eksekutif mengadakan PI dan sejauh fihak lainnya menerimanya, tidak ada halangan terhadap praktek demikian. Yang berbeda dari kebiasaan hanya pejabat pelaksananya. Hasilnya yang dituju tetap suatu PI.

Begitu pula pertanyaan tentang full powers kelihatannya tidak relevan benar (lihat dibawah catatan atas ayat 32/37). Aspek lain yang kelihatannya kadang-kadang menimbulkan pertanyaan dalam kepustakaan yang tidak jelas terjawab, yalah apakah sifat (PI atau tidak) dan apakah akibat hukum (menurut tata hukum mana) dari perjanjian2 yang kadang-kadang diadakan antara lembaga dan alat perlengkapan badan2 hukum tingkat rendahan (contoh: antara kota-kota) dari negara berbeda. Perjanjian ini diberi nama “administrative agreements”.

Komentar Damos Dumoli Agusman:

Secara traditional, eksekutif adalah the legitimate representive of states. Adanya pembagian kekuasaan negara yang semakin ketat di Indonesia menimbulkan implikasi bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga non-eksekutif bukan merupakan urusan eksekutif sehingga perjanjian yang dibuat oleh mereka bukan tanggung jawab eksekutif. Kenapa pertanyaan full power muncul? Karena non-ekeskutif tidak mengakui Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari eksekutif mengeluarkan full power bagi mereka. Mereka mengklaim tidak perlu memperoleh kuasa dari pemerintah. Dalam HN, kedudukan Menlu sebagai pejabat khas dalam hukum internasional tidak dikenal.

Seiring dengan maraknya perjanjian internasional oleh lembaga non-eksekutif, maka kemudian muncul pertanyaan tentang lembaga full powers. Dalam hal ini, apakah Menlu lazim mengeluarkan full powers kepada lembagai non-eksekutif

ASEAN’S TREATY MAKING POWER

ASEAN telah memiliki konstitusi barunya (ASEAN Charter) yang akan memberikan landasan hukum bagi aktivitas ASEAN baik dari segi internal maupun eksternal. Treaty making power merupakan salah satu isu dasar yang lazim diatur dalam konstitusi setiap organisasi internasional sebagai bagian dari paragraf tentang external relations. Namun ASEAN Charter tidak secara rinci mengatur mengenai treaty making power of ASEAN, dan hanya mengindikasikan bahwa masalah ini akan diatur lebih lanjut dalam perangkat implementasi.

Komentar Prof. Swan Sik:

[Catatan ini dibuat tanpa penelitian data perjanjian di ASEAN Documents Series] Pembuatan perjanjian dengan fihak ketiga yang dilakukan (ditandatangani) oleh Sekretariat/Sekjen atau “pejabat salah-satu anggauta” dapat (1) tegas atas nama ASEAN, atau (2) tegas atas nama para negara anggauta, atau (3) tanpa ketegasan demikian.

Selanjutnya tindakan tersebut dapat (1) berdasarkan suatu ketentuan khusus dalam naskah “anggaran dasar” ASEAN. , atau (2) berdasarkan pemberian wewenang khusus oleh para negara anggauta secara insidental. Pemberian wewenang demikian tidak selalu ternyata dari naskah yang diumumkan.

Dari sudut HI tiada halangan apapun (ayat 37) terhadap acara demikian; para negara yang berdaulat berkuasa penuh untuk “memberi kuasa” kepada subyek hukum lain. Dalam hal adanya keperluan ratifikasi, DPR tidak “mengesahkan perbuatan hukum oleh subjek hukum internasional lain” melainkan mengesahkan perbuatan yang bersifat perbuatan hukum RI berdasarkan pemberian wewenang (“surat kuasa”) tersebut tadi.

Pengeluaran Surat Kuasa Resmi (Full Powers) adalah untuk kepentingan fihak lainnya (counterpart) dalam perjanjian agar fihak ini memperoleh kepastian bahwa si wakil RI bersangkutan memang “disuruh” RI dan perbuatannya memang di”tanggung” RI. Dalam konstruksi seperti digambarkan diatas fihak lain itu percaya, menerima dan mengaku (recognition!!) wewenang Sekretariat ASEAN, sehingga soal full powers tidak timbul.

Komentar Damos Dumoli Agusman :

Treaty making power of ASEAN telah menjadi persoalan dalam praktek ASEAN dalam membuat perjanjian. Saya telah membuat catatan khusus tentang issue ini yang akan saya sampaikan secara terpisah.

Permasalahannya adalah, European Union yang sudah demikian terintegrasi tidak pernah suatu negara anggota memberi mandate kepada Presiden Komisi untuk bertindak atas nama negara tersebut mengikatkan diri dengan pihak lain. Dalam EU dikenal adanya Mix Agreements, dimana negara anggota akan turut membubuhkan tanda tangan jika bagian dari perjanjian dengan EU tersebut adalah wewenang negara anggota. Praktek ASEAN dalam hal ini tidak didasarkan pada prinsip hukum perjanjian internasional bahwa “consent to be bound” harus dinyatakan oleh negara itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh ASEAN adalah hanya untuk kebutuhan praktis.

Pertanyaan yang muncul jika Sekjen ASEAN menandatangani PI atas nama negara anggota adalah: Apakah full powers oleh negara itu kepada Sekretaris Jenderal ASEAN adalah full powers yang dimaksud oleh Vienna Convention 1969? dan Jika negara itu ingin terminate atau amandement perjanjian itu, dapatkan dilakukan tanpa melalui consent dari Sekretaris Jenderal ASEAN.

Praktek ASEAN dalam hubungan eksternalnya sudah sangat intensif dan dapat dibedakan atas dua perspektif yaitu Hubungan antara seluruh anggota ASEAN dengan pihak ketiga dimana status negara anggota adalah sebagai subjek hukum internasional yang berdiri sendiri. Istilah ASEAN dalam hal ini hanya digunakan untuk merujuk setiap Negara anggota sebagai collective members dan Hubungan antara ASEAN sebagai subjek hukum internasional (biasanya ASEAN Secretariat) dengan pihak ketiga, yang terlepas dari Negara anggotanya. Kedudukan ASEAN dalam kaitan ini adalah sebagai organisasi internasional seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional oleh Organisasi Internasional.

ASEAN sebagai collective members telah banyak membuat perjanjian dengan negara/organisasi internasional lain. Sekalipun judul perjanjian itu menggunakan isitilah ASEAN namun pada hakekatnya perjanjian dimaksud adalah perjanjian antara negara-negara anggota secara individu dengan organisasi/negara ketiga (perjanjian multilateral). Hal ini tercermin dari participation clause-nya serta pihak yang menandatangani perjanjian dimaksud yang dilakukan oleh masing-masing negara anggota ASEAN secara individual seperti pada the Cooperation Agreement between the Member Countries of ASEAN and the EEC, 7 March 1980. Dalam perjanjian ini yang membuat perjanjian dengan EEC adalah setiap dan semua negara anggota dan bukan ASEAN sebagai a distinct subject separated from its members. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa materi yang diperjanjikan bukan merupakan ruang lingkup atau wewenang ASEAN sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri namun terletak pada negara-negara anggotanya. Sedangkan EEC, bertindak sebagai organisasi internasional as a distinct subject separated from its members

Namun demikian, dalam kaitannya dengan ASEAN sebagai subjek hukum internasional, ASEAN juga telah membuat berbagai perjanjian dalam kedudukannya sebagai a distinct subject separated from its members yang biasanya menggunakan istilah ASEAN Secretariat.

Dilain pihak, praktek ASEAN juga menunjukkan adanya beberapa perjanjian yang tampaknya agak menyimpang dari prinsip hukum umum yang berlaku, yaitu Perjanjian dengan Pihak Ketiga yang mengikat seluruh Negara anggota ASEAN tetapi ditandatangani oleh oleh Sekjen ASEAN/Pejabat salah satu anggota untuk dan atas nama Negara-negara anggota.

Penandatanganan oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota terhadap perjanjian menimbulkan beberapa pertanyaan akademis tentang kekuatan mengikat perjanjian tersebut terhadap negara anggota. Dalam kaitan ini, dapatkah subjek hukum internasional lain melakukan tindakan express to be bound by a treaty atas nama subjek hukum internasional lainnya? Jika perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi, dapatkah DPR mengesahkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum internasional lain? Jika perjanjian itu membutuhkan full power apakah lazim Menteri Luar Negeri memberikan full power kepada subjek asing? Jika negara anggota ingin menarik diri dari perjanjian semacam ini, dapatkah dilakukan sendiri tanpa melalui Sekjen ASEAN?
-------------------------------
[1] Pacta sunt servanda merupakan adagium dari Bahasa Latin yang pada umumnya ditafisrkan sebagai “perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya”. Guna lebih jelas lihat Black Law’s Dictionary.

BEBERAPA ASPEK KENISBIAN DAN KESAMARAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

oleh Ko Kwan Sik*
Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu (spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian. Penulis juga tidak bermaksud mencoba menyajikan risalah teori hukum apapun. Sebaliknya, tulisan ini semata-mata merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastian dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertian perjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanya melekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkan sifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI.

Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakat tentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka, dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai dengan hasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan para pihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatan hukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang. Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama (sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku), sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda[1].

Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isi kesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusus sebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya, maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat (hukum) tertentu tanpa persetujuannya.

Uraian singkat ini cukup mutlak dan terang bunyinya, tetapi tidak mencukupi sebagai penjelasan konsep perjanjian. Ternyata berbagai kenisbian dan kesamaran melekat padanya. Diantaranya, berlakunya hukum dalam batas-batas suatu tata hukum tertentu menampilkan pertanyaan tentang keterbatasan ruang lingkup daya hukum yang terkait pada kesepakatan. Kenisbian lain yaitu ketergantungan keabsahan perjanjian dari kedudukan para pelakunya sebagai subyek hukum tata hukum bersangkutan, ditambah syarat kewenangan pelaku tersebut untuk mengadakan perjanjian yang berkekuatan hukum. Disamping itu, tata hukum mengenal pembatasan-pembatasan mengenai pokok persoalan (“obyek”) perjanjian, pembatasan mana biasanya bersangkut paut dengan sendi-sendi kemayarakatan bersangkutan. Kenisbian tersebut terdapat juga di bidang PI yang merupakan golongan khusus dari pengertian perjanjian yang lebih luas. Marilah kini kita meneliti beberapa kenisbian dan kesamaran khusus mengenai PI.

“Internasional”

Terhadap latar belakang tersebut di atas, tampillah pengertian dan istilah “perjanjian internasional”, yang kata sifatnya “internasional” tidak berarti tunggal, hal mana kita ingat betul dari setiap permulaan tahun kuliah apabila kita mencoba menerangkan kepada para mahasiswa hakekat mata pelajaran yang mereka ikuti. Kita tahu bahwa keragu-raguan itu bukan akibat kurang jelasnya pencipta pengertian, melainkan akibat pemakaian perkataan dalam arti kata berganda. Kata “internasional” pertama digunakan untuk merujuk pada perjanjian antara para aktor yang bertindak selaku subyek hukum internasional (HI) dan oleh karena itu khusus berlaku dalam lingkungan HI. Meskipun kelihatannya cukup jelas, namun bagaimanakah kita dapat tetapkan bahwa suatu perjanjian yang kita hadapi itu memang “governed by international law” seperti yang disyaratkan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969[2] tentang Hukum Perjanjian Internasional? Ada kalanya yang kita maksudkan dengan istilah PI adalah perjanjian yang para pihaknya bertindak dalam lingkungan hukum nasional (HN) (tanpa mempedulikan apakah mereka itu asal mulanya diciptakan sebagai subyek HI ataupun sebagai subyek HN) tapi dengan mata perjanjian yang bersifat lintas batas suatu negara dan oleh karena itu disebut “internasional”.[3] Kita dapat (meskipun syukur jarang terjadi) menambah kerumitan di lapangan PI golongan belakangan ini apabila tidak hanya obyek perjanjiannya melintas-batas, tetapi para pihaknya pun masing-masing bertindak dari lingkungan HN berbeda.

Sesuai tafsiran undangan Editor jurnal ini, tulisan ini hanya akan mencurahkan perhatian kepada perjanjian golongan pertama dan kenisbian dan kesamaran yang melekat padanya.

Sifat Normatif Hukum dan Sangkalannya

Tadi telah pernah disebut Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina 1969, ketika kita menitikberatkan keperluan menentukan apakah yang kita hadapi itu benar perjanjian yang dikuasai Hukum Internasional. Ternyata bahwa yang menjadi buah aturan Konvensi adalah “perjanjian internasional yang diadakan antara negara ... dan yang dikuasai oleh hukum internasional ...”. Ini berarti bahwa sekalipun kita jelas menghadapi perjanjian antar negara, yang sudah memenuhi syarat-syarat yang menurut perkiraan kita menjadikannya Perjanjian Internasional asli, kita masih juga perlu memeriksa apakah benar “dikuasai Hukum Internasional”. Apakah makna anak kalimat ini?

Mengingat sifatnya, maksud tujuannya dan konteks pembuatannya, dapatlah kita bertolak dari anggapan bahwa Konvensi tersebut khusus mengacu pada perjanjian di lingkungan internasional, tanpa perhatian, bahkan mengenyampingkan, hal-hal yang mengenai perjanjian di lingkungan HN. Hal mana berarti bahwa satu-satunya dugaan tentang maksud dan arti anak kalimat tadi yang masuk akal adalah bahwa si perancang membayangkan kemungkinan adanya perjanjian antar negara, di lingkungan internasional, yang dapat dikuasai oleh “sesuatu” yang lain (bukan HN) daripada HI. Sistem apakah yang kita dapat bayangkan di sini?

Istilah “dikuasai” di anak kalimat tersebut tentu berarti “dikuasai” sistem (hukum internasional) yang mengaitkan ciri normatif kepada kesepakatan antara para pihak perjanjian, satu dan lain menurut kehendak dan pilihan para pihak tersebut. Kita dapat bayangkan berbagai sistem normatif yang berlaku bagi kelakuan manusia selain sistem hukum, misalnya agama, adat istiadat, dan moralitas. Namun, sistem-sistem ini semuanya ditujukan kepada pribadi manusia dan tidak mengenal kaidah-kaidah pelaksanaan untuk memberlakukannya dan menerapkannya pada hubungan antar negara. Kadang-kadang disebut sistem “kesopanan kemasyarakatan” yang menguasai hubungan-hubungan internasional, akan tetapi sistem demikian hanya mengacu pada bentuk dan tata cara kelakuan dan tidak bersangkut-paut dengan sifat normatif dari hak/kewajiban yang termuat dalam perjanjian bersangkutan.

Dalam perbincangan tentang hubungan-hubungan internasional, kadang terdengar istilah “perjanjian politik” untuk membedakannya dari perjanjian yang dikuasai hukum, dan dalam hubungan ini kadang-kadang terdengar pula istilah “perjanjian tidak mengikat” (“non-binding agreements”) yang agak aneh bunyinya dan biasanya dimaksudkan sebagai “perjanjian yang tidak mengikat dari sudut hukum” (legally non-binding agreements). Sehingga timbullah pertanyaan apakah kiranya ada “sistem politik” yang bersifat normatif dan menguasai kelakukan dan yang merupakan alternatif di samping sistem hukum. Memang, kadang-kadang kita menghadapi perjanjian-perjanjian antar negara yang dianggap tidak memuat kewajiban hukum melainkan “hanya memuat kewajiban politik”. Soalnya ialah bahwa hingga kini belum ada uraian yang memberi penjelasan memuaskan tentang bagimana sebenarnya isi sistem normatif politik demikian itu dan sejauh mana sistem tersebut berbeda dari sistem hukum. Memang ilmu politik mengenal dan memperhatikan keadaan dimana kelakuan tertentu pihak yang satu dapat diduga dan diharapkan sebagai akibat kelakuan tertentu pihak yang lain, dimana kelakuan belakangan ini merupakan “cogent motive for action” pihak pertama. Apabila dalam keadaan demikian kelakuan pihak yang satu itu ternyata tidak terjadi, bertentangan dengan apa yang diharapkan, tidak mustahil pihak yang dikecewakan membalas dengan menuntut apa yang diharapkan dan bahkan menuntut ganti kerugian, semua ini tanpa melalui ataupun berdasarkan alasan hukum.

Contoh tersohor perjanjian yang kadar hukumnya terang-terangan disangkal adalah Akta Terakhir Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Helsinki Final Act 1975) yang meliputi negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur termasuk Uni Soviet dan Amerika Serikat dan Kanada (yang hingga kini masih berlaku di negara-negara bekas bagian Uni Soviet di Asia Sentral yang sama sekali bukan merupakan bagian dari Eropa). Negara-negara Barat menitikberatkan bahwa Akta tersebut bukan PI yang mengikat menurut hukum. Hal ini ditegaskan secara agak aneh namun jelas. Latar belakang cara yang dipakai ini ialah Pasal 102 Piagam PBB[4] yang mewajibkan setiap PI yang diikutsertai negara anggota untuk didaftarkan pada Sekretariat untuk keperluan penerbitannya (di UN Treaty Series). “Sesuai dengan” peraturan ini, Akta Helsinki memuat ketentuan yang memohon si Tuan Rumah (Finlandia) untuk “transmit to the Secretary-General of the United Nations the text of this Final Act (untuk disosialisasikan di antara negara anggota PBB) which is not eligible for registration under Article 102 of the Charter of the United Nations, as would be the case were it a matter of a treaty or international agreement under the aforesaid Article”.

Persoalan kewajiban perjanjian yang tidak berkadar hukum ini bahkan pernah dijadikan judul penelitian di kalangan Institut Hukum Internasional (Instituut de Droit Internasional) di tahun-tahun 1970an dan 1980an. Lembaga inipun belum sanggup menyajikan jawaban yang memuaskan, dan bahkan memutuskan pada 1983 untuk menangguhkan penyelidikannya sambil menunggu perkembangan-perkembangan yang membawa bahan-bahan baru.[5]

Pokok persoalan fenomena tersebut, yang mengenai kewajiban kelakuan yang unsur hukumnya disangkal, mirip dengan, walaupun mungkin tetap perlu dibedakan dari, fenomena usaha-usaha “perundang-undangan internasional” dalam bentuk perjanjian-perjanjian multilateral, kadang-kadang mengenai perbaikan kedudukan manusia pribadi di pelbagai lapangan, yang tidak, setidak-tidaknya belum, memuat aturan penegakan hak-hak yang diakui (“without legal remedies”). Terlihat disini fenomena hukum “pincang” yang “tidak sempurna”.

Kenisbian dan kesamaran yang penulis sebut disini dan yang kadang agak kurang tepat diberi nama “hukum lemah” (soft law), perlu dibedakan dari naskah-naskah yang disepakati oleh para pihak namun yang jelas tidak dimaksudkan sebagai sumber hak/kewajiban melainkan semata-mata sebagai rumusan pendirian dan tekad masing-masing (yang “kebetulan” sesuai) mengenai hal tertentu. Keraguan tentu sangat menyolok apabila para peserta berbeda pendapat tentang maksud naskah mereka. Akan tetapi, ini mengacu pada tidak tercapainya kesepakatan, bukan kesamaran perjanjian.

Sumber Hak dan Kewajiban dan Sangkalannya


Dalam menetapkan perjanjian-perjanjian mana yang dikuasai olehnya, Konvensi Wina dalam Pasal 2 ayat 1 judul (a) dengan tegas menyatakan bahwa PI dapat saja termuat dalam satu atau lebih dari satu dokumen dan dapat saja diberi nama apapun. Ketentuan ini, yang boleh dikatakan mencerminkan anggapan umum dan dengan demikian dapat dianggap berlaku sebagai HI umum, berarti bahwa bentuk PI tidak ada relevansinya bagi HI dan tidak mempengaruhi kadar hukum isinya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa nama yang diberikan kepada naskah dan rumusan pengertian-pengertian dan istilah yang dipakai dalam naskah tidak penting, oleh karena nama dan rumusan itu merupakan sumber interpretasi tentang maksud para pihak dan makna dokumen bersangkutan mengenai hak dan kewajiban masing-masing.[6]

Pembuatan naskah sebagai hasil perundingan dapat mengacu ke berbagai tujuan. Ada kalanya naskah dimaksudkan sebagai penetapan hak / kewajiban masing-masing dengan kekuatan hukum. Apabila naskah diberi nama menurut kebiasaan tradisional di bidang PI, seperti kata “treaty” dalam bahasa Inggris, apalagi jika disertai acara-acara klasik seperti syarat ratifikasi (persetujuan keterikatan) dan/atau kesepakatan untuk mendaftarkannya di Sekretariat PBB sesuai Pasal 102 maka kesamaran tentang maksud para pihak boleh dikatakan dapat tercegah. Tapi bentuk dan acara demikian tidak merupakan syarat untuk menegaskan sifat hukum isinya. Tidak termuatnya ciri-ciri terkenal demikian sama sekali tidak membenarkan kesimpulan bahwa para pihak tidak menghendaki dokumen kesepakatan mereka merupakan sumber hak/kewajiban hukum. Inilah, antara lain, makna kebebasan bentuk yang diakui Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina. Demikianlah tafsiran yang selayaknya diberi kepada istilah “treaties in simplified form” yang kita kenal dari praktek diplomasi dan yang dapat berbentuk, misalnya, pertukaran surat, “Pernyataan Bersama” (joint statement), bahkan “Nota Kesepahaman” (memorandum of understanding). Sebagai contoh yang cukup ekstrim, ada kalanya dipilih bentuk “Communiqué” yang sebenarnya berarti tidak lebih daripada “penerangan khalayak ramai tentang sesuatu yang terjadi”, namun dipakai sebagai sumber hak dan kewajiban.

Sebaliknya, suatu naskah sebagai hasil komunikasi (secara bagaimanapun) antara para pihak dapat saja dibuat dengan tujuan berlainan. Tadi kita telah menjumpai fenomena perjanjian dengan hak/kewajibannya yang dikuasai sistem normatif yang tidak bersifat hukum atau suatu “sistem pengharapan” berdasarkan tindakan timbal balik. Disamping itu, naskah yang disepakati dapat dimaksudkan sebagai pernyataan penetapan tekad para pihak tentang kelakuan mereka di masa yang akan datang, tanpa tersiratnya janji yang bersifat hukum. Alternatif selanjutnya ialah pengumuman belaka, bagaimanapun resmi dan mulia sifatnya, tentang (biasanya hanya sebagian dari) apa yang diperbincangkan antara para pihak dan hasil kesepakatannya. Tadi telah disebut istilah Communiqué, meskipun “Pernyataan Bersama” kadang-kadang lebih disukai.

Kadar Hak dan Kewajiban

Sangkalan kadar hukum yang merupakan pokok persoalan di atas tadi tidak dapat disamakan dan tidak boleh dicampuradukkan dengan gejala lain, yaitu keanekaragaman jenis (hak dan) kewajiban yang kadar hukumnya tidak diragukan.

Pengertian sempurna tentang hakekat suatu kewajiban hukum merupakan syarat penting untuk dapat menetapkan apakah kewajiban itu dapat dinilai telah dipenuhi atau justru dilanggar. Itulah sebabnya perhatian yang cukup besar dicurahkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB kepada penggolongan dan pembedaan antara berbagai jenis kewajiban hukum selama sebagian besar waktu perencanaan naskah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan negara melawan hukum.[7]

Meskipun demikian, tetap terdapat cukup banyak gejala dalam praktek PI yang menimbulkan pelbagai pertanyaan tentang kelakuan dan tindakan ataupun hasil usaha yang merupakan isi sebenarnya kewajiban bersangkutan. Oleh karena itu, kita perlu mencurahkan perhatian khusus kepada soal kejelasan atau sebaliknya kesamaran yang kadang-kadang melekat pada rumusan suatu kewajiban. Antara kewajiban-kewajiban kita dapat membedakan kewajiban yang “keras” dan yang “lunak”.

Dalam golongan kewajiban untuk melakukan sesuatu (obligation of conduct), sifatnya keras apabila tindakan itu dirumuskan secara sangat tegas dan spesifik, apalagi bila ditetapkan pula bahwa tindakan itu harus terlaksana dalam tenggang waktu yang tertentu. Sebaliknya, kewajiban dapat saja dirumuskan sebagai kewajiban untuk berusaha, sesuai dengan kemampuan si pengemban kewajiban, dengan mempertimbangkan keadaan menurut penilaian si pengemban kewajiban, untuk mencoba mencapai sesuatu. Dalam hal demikian, kewajiban ternyata begitu longgar dan kadar keharusannya menjadi demikian rendah, sehingga timbullah keraguan cukup mendalam tentang dimana letak sebenarnya garis batas antara pelaksanaan dan pelanggarannya. Ada sebagian peneliti yang mencari sebab kebijakan demikian di bidang adat-istiadat di bagian-bagian dunia yang segan menitikberatkan secara tajam hak dan kewajiban masing-masing pihak, hal mana penulis sangsikan. Meskipun perlu diakui bahwa di lapangan Hukum Internasional yang bersifat khas itu pertimbangan-pertimbangan “tidak langsung” memainkan peranan yang jauh lebih besar di bidang perjanjian daripada di lingkungan Hukum Nasional, seperti memilih bermacam nama yang menghindari kata perjanjian.

Kita dapat saja mengira bahwa kesamaran demikian tidak dapat timbul dalam hak kewajiban untuk mencapai suatu hasil usaha tertentu (kewajiban hasil usaha/obligation of result). Bayangkanlah kewajiban untuk mencegah terjadinya sesuatu. Namun, dugaan itu ternyata tidak tepat. Kesamaran tetap terdapat bila, misalnya, kewajiban bersangkutan mengharuskan menghasilkan suatu “keadaan yang bermanfaat” bagi sesuatu.

Tadi telah kita bertemu dengan istilah “hukum lemah” yang kadang dipakai untuk menggambarkan sifat kewajiban yang tidak jelas apakah memang dimaksudkan sebagai kewajiban hukum. Kami mencatat disana bahwa penggunaan istilah dalam rangka itu rasanya kurang tepat oleh karena kesamaran disana mengenai batas antara hukum dan bukan-hukum. Istilah “hukum lemah” kiranya lebih tepat untuk menggambarkan kewajiban yang diakui sifat hukumnya namun memberi kelonggaran demikian banyaknya sehingga sukar menentukan garis batas antara memenuhi dan melanggar kewajiban.

Pihak Perjanjian dalam Kenyataan dan Pihak Perjanjian Menurut Hukum: Gejala “Perjanjian Administrasi”

Penggolongan suatu perjanjian sebagai Perjanjian Internasional (PI) atau sebagai kategori lain menunjuk pada dikuasainya oleh HI atau hukum lain (atau, seperti kita sempat menjumpai tadi, sama sekali tidak dikuasai hukum). Penggolongan itu didasarkan berbagai kriteria, antara lain kedudukan para pihaknya sebagai subyek hukum. Aktor kemasyarakatan yang tidak diakui sebagai subyek HI tidak dengan sendirinya tidak dapat mengadakan PI sehingga perjanjian hasil kesepakatannya tidak pernah dapat dianggap bersifat PI. Sebaliknya perjanjian antara para aktor yang jelas subyek HI tidak otomatis bersifat PI, oleh karena mereka dapat saja di samping itu bertindak selaku subyek HN. Bayangkan sekarang perjanjian antara aktor yang tidak jelas kedudukannya sebagai subyek HI namun bertindak dalam rangka hukum publik di negaranya.

Ada kalanya diadakan perjanjian antara alat-alat perlengkapan dari negara-negara berbeda, yang tidak khusus ataupun langsung berwenang dan bertugas di lapangan hubungan luar negeri atau antara kesatuan-kesatuan teritorial sesuai sistem otonomi daerah (seperti kota atau propinsi) negara masing-masing. Kesepakatan dan perjanjian demikian itu mengenai salah satu kebijakan di bidang tugas mereka. Tentu ada negara dimana hubungan lintas batas demikian antara alat-alat perlengkapan ataupun kesatuan negara teritorial dilarang oleh hukumnya, sehingga gejala yang dibayangkan disini tidak terjadi. Akan tetapi, cukup banyak negara-negara dimana hal demikian dapat terjadi dan perjanjian-perjanjian demikian ternyata memenuhi kebutuhan bersama dibidang pemerintahan dan pengaturan kemasyarakatan setempat, terutama di kawasan-kawasan yang terletak saling berdekatan namun di negara yang berlainan.[8] Timbullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan hukum perjanjian demikian yang kadang-kadang disebut “perjanjian administrasi”. Apakah perjanjian itu harus, atau boleh, disamakan dengan PI? Tetapi para pelakunya pada umumnya tidak merupakan (artinya: tidak diakui oleh negara bersangkutan sebagai) subyek HI (pengecualian boleh terjadi di negara federal tertentu). Haruskah kita menarik kesimpulan bahwa perjanjian semacam itu tidak bersifat “internasional” dalam arti kata lazim sehingga tidak tunduk pada hukum internasional mengenai PI melainkan harus dianggap dikuasai HN? Di samping itu, siapakah yang selayaknya dianggap sebagai pihak perjanjian? Haruskah negara-negara bersangkutan, biarpun tidak tegas menyuruh, mengizinkan ataupun menyetujui (meskipun tidak melarang) pembuatan perjanjian demikian, dianggap terikat padanya, meskipun seluruh acara pembuatannya tidak sesuai dengan acara yang lazim untuk PI dan semata-mata oleh karena aktor yang mengadakannya merupakan sebagian dari bangunan kenegaraan? Ataukah perjanjian demikian itu hanya mengikat para instansi bersangkutan di lingkungan HN? Tapi jika demikian, tata hukum manakah yang menguasainya, mengingat bahwa perjanjian demikian itu tidak pernah dimaksudkan sebagai suatu perjanjian HN?!

Karangan singkat ini bukan tempatnya untuk menyelidiki persoalan ini secara panjang-lebar. Namun, mungkin disinipun kita dapat belajar dan mencari sandaran (meskipun hanya secara tidak langsung) di naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum 2001, khususnya bab 2 yang berkepala “The ‘Act of the State’ under International Law” yang Pasal 5-nya berbunyi:
“(1) For the purposes of the present articles, the conduct of any State organ acting in that capacity shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, executive, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the central government or of a territorial unit of the State. (2) For the purposes of paragraph 1, an organ includes any person or body which has that status in accordance with the internal law of the State.”
Keberlakuan di Lingkungan Hukum Nasional (HN)

Perbedaan antara tata HI dan tata HN menyebabkan timbulnya kenisbian tentang makna PI, berhubung dengan persoalan kedudukan dan keberlakuan HI (atau khususnya PI) di lingkungan HN. Persoalan ini perlu dikaji dan dijawab oleh masing-masing tata HN sendiri, meskipun tentu hanya sejauh HI bersangkutan dapat ada relevansinya dalam lingkungan HI (hukum Internasional) relevansi demikian tidak ada dalam HI yang memang kita kenal ajaran-ajaran tentang kesatuan hukum internasional dan nasional (monisme) dan sebaliknya tentang perbedaan dan pemisahan mutlak antara kedua sistem hukum itu (dualisme). Akan tetapi, ajaran-ajaran muluk ini tidak menghidangkan jawaban langsung apapun atas pertanyaan yang kita hadapi dalam dunia “hukum yang berlaku” (“hukum positif”). Hal yang kita perlukan untuk memberi jawaban ialah adanya penetapan, atau “pilihan”m yang dibuat oleh hukum nasional tentang kedudukan dan peranan HI, khususnya PI, dilingkungannya. Pilihan demikian dapat berwujud tanpa atau melalui suatu tindakan hukum tegas dari tata HN bersangkutan yang termuat di undang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana HN ternyata tidak melakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan konkrit, misalnya keputusan-keputusan hakim.

Tata HN dapat saja menyangkal mutlak segala peranan dan pengaruh HI terhadap HN, dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yang berwenang mengadakan peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur hukum di lingkungan HN. Sebaliknya, tata HN dapat juga pada azasnya mengakui kemungkinan peranan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat diutarakan menurut dua cara, yaitu dengan “mengizinkan” isi HI berlaku di lingkungan HN tanpa merubah sifat internasionalnya, atau dengan mengundangkan isi tersebut sebagai HN dalam bentuk perundang-undangan HN pula.

Perbandingan antara sistem-sistem HN menunjuk dua jalan yang dapat dilalui dalam penerapan kebijakan cara pertama tadi. Jalan yang satu ialah secara “membuka pintu” bagi HI, yang berakibat HI itu berlaku di lingkungan HN, tanpa tindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu terbuka” dapat juga hanya diterapkan sejauh mengenai HI tak tertulis yang biasanya bertepatan dengan HI yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law yang menggolongkan HI tak tertulis ini sebagai “law of the land”. Kebijakan ini berdasarkan sangkalan perbedaan antara hukum tak tertulis (“kebiasaan”) yang tercipta di suasana nasional dan internasional, dan yang melalui jalan itu juga menghasilkan keberlakuan HI tak tertulis di lingkungan nasional. Jalan yang lain perlu ditempuh apabila tata HN, sekalipun yakin akan perlunya penerapan isi HI di lingkungan HN, menganggap perlu adanya suatu tindakan HN tegas agar mencapai hasil itu, seperti ketentuan dalam UUD atau perundangan biasa. Dalam hal PI, UU persetujuan PI (yang di praktek politik Indonesia disamakan dengan “ratifikasi”) kadang dipakai untuk keperluan ini.

Sebagai alternatif kedua cara “pemberian izin” kepada HI tersebut kita kenal kebijakan menolak secara mutlak keberlakuan HI dalam tata HN. Dalam rangka ini, pemberlakuan isi HI di lingkungan HN memerlukan pembuatan HN yang tegas memuat ataupun setidaknya tegas mengundangkan isi HI bersangkutan sebagai HN (transformasi).

Soal ya atau tidaknya tata hukum nasional memberlakukan HI, seluruhnya atau sebagian, di lingkungan HN-nya, tanpa “mengubah” sifatnya sebagai HIM, ataupun “hanya” memberlakukan isi HI di lingkungan HN sejauh (“diubah”) bentuk dan sifatnya menjadi HN, merupakan soal penting bagi penegak hukum nasional, yang kewenangannya di bidang penerapan hukum terbatas pada hukum yang berlaku di lingkungan hukum nasionalnya. Di samping itu, kebijakan berbeda itu juga memain peranan dalam penetapan kedudukan hirarki kaidah-kaidah hukum yang berasal internasional dan nasional yang termasuk kewenangan tersebut.

Ruang Lingkup Azas Keterbatasan Berlakunya Antar-Pihak

Titik tolak di bidang hukum perjanjian adalah bahwa perjanjian itu mencerminkan kesepakatan antara pihak-pihaknya tentang apa yang mereka inginkan. Dalam rumusan ini tersirat penetapan bahwa siapapun yang tidak ikut menyepakatinya dengan sendirinya tidak terikat padanya (pacta tertiis nec nocent nec prosunt; perjanjian tidak mengakibatkan keuntungan maupun kewajiban bagi pihak ketiga). Azas ini kelihatannya memang cukup layak, dan kelayakan ini lebih-lebih menyolok apabila kita memandang perjanjian itu sebagai sumber hak dan kewajiban timbal-balik antar para pihaknya, dengan hak pihak yang satu terhadap pihak yang lain tergabung dengan hak pihak kedua ini terhadap pihak pertama. Memang disini tidak ada alasan untuk memberi peranan apapun kepada pihak ketiga.

Akan tetapi, PI tidak selalu bersifat timbal balik. Kadang-kadang, dan makin lama makin banyak, sesuai dengan bertambah padatnya hubungan-hubungan kemasyarakatan internasional di pelbagai lapangan (“globalisme”) dan sejajar dengan perkembangan itu, timbullah dan bertambahlah kebutuhan akan pengaturan hubungan-hubungan yang menyentuh pelbagai masyarakat nasional, dan yang bersifat baik lintas batas maupun tidak, namun tidak bersifat antar negara. Hubungan-hubungan kemasyarakatan itu mengenai bermacam-macam aspek kehidupan yang mencerminkan cita-cita kemasyarakatan, seperti hak azasi manusia, pemberantasan penyakit, hubungan-hubungan keluarga, dan sebagainya. Dengan demikian, PI dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai kesamaan dalam menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu itu di masing-masing lingkungan hukum nasionalnya.

Pertanyaan yang kadang timbul adalah: dapatkah dan bolehkah PI yang berlaku antar negara A-B-C-D (yang menyajikan peraturan bersama tentang perlindungan hak-hak azasi manusia, atau merupakan peraturan bersama untuk persoalan-persoalan yang bersangkut dengan adopsi lintas batas, atau berisi aturan bersama tentang pemindahan perselisihan perdata tertentu dari kewenangan pengadilan kekuasaan pewasitan) diterapkan bila orang yang tersangkut dalam perkara HAM itu berkewarganegaraan negara E? Dan bagaimanakah apabila antara pihak hubungan internasional perdata ada yang berkewarganegaraan negara F? Atau apabila ada pihak berpekara digugat di pengadilan negara A untuk tunduk pada acara pewasitan sesuai dengan PI yang mengatur pewasitan, tapi pihak berperkara itu kebetulan berkewarganegaraan negara X, berhakkah negara X dengan alasan “memberi perlindungan diplomatik” kepada warganya atau dengan alasan lain menolak penerapan PI tersebut?

Disini kadang tampak kemungkinan adanya suatu salah mengerti tentang makna azas pacta tertiis. Azas ini mengacu pada aspek primer PI, yaitu terjadinya kesepakatan antara negara-negara sebagai subyek HI yang berdaulat. Negara D tidak terikat pada perjanjian A-B-C, dan oleh karena itu , tidak dapat diwajibkan tunduk pada isi perjanjian tersebut tanpa persetujuannya sebagai negara berdaulat. Jika obyek perjanjian terdiri dari, misalnya, hak dan kewajiban timbal balik antar negara untuk bertindak bersama sebagai persekutuan militer, maka negara D tidak dapat dipaksa menurut hukum untuk menyesuaikan kelakuannya dengan persekutuan tersebut. Sebaliknya, apabila obyek perjanjian terdiri dari kesepakatan tertentu untuk menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan tertentu secara sama di lingkungan HN masing-masing pihak perjanjian, maka negara D tetap tidak dapat dipaksa berdasarkan hukum untuk menyesuaikan kebijakan dalam lingkungan HN-nya dengan perjanjian tadi. Namun, ia juga tidak berwenang untuk berkeberatan, berdasarkan alasan tidak ikut sertanya sebagai pihak perjanjian, terhadap penerapan isi perjanjian tadi di lingkungan HN negara-negara A, B atau C jika penerapan demikian menyentuh suatu unsur yang berkaitan dengan negara D itu. Sebaliknya, keadaan ini tentu tidak mengurangi kewenangan negara D untuk mengajukan keberatan terhadap penerapan perjanjian itu berdasarkan alasan-alasan lain.

Dalam contoh belakangan ini, perjanjian bersangkutan tidak mengenai hak-kewajiban antar negara yang timbal balik, melainkan merupakan kesepakatan (antar negara) untuk menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu secara sama dan serupa di masing-masing lingkungan HN-nya. Disini terletaklah batas ruang lingkup azas pacta tertiis tersebut tadi.

Ruang Lingkup Azas Pacta Sunt Servanda

Azas ini merupakan inti dan hakekat pengertian perjanjian, termasuk PI. Tentu kewajiban yang terisi dalam azas ini, yang bersifat normatif dan tidak memaksa dalam arti kata hukum alam, dapat saja dilanggar. Akan tetapi, ciri inti tata hukum adalah, seperti telah pernah disebut tadi, bahwa pelanggaran demikian oleh tata hukum dikaitkan pada akibat-akibat tertentu tanpa persetujuan si pelanggar, sedang kewajiban asal tetap berlaku. Jika isi perjanjian tidak lagi memenuhi kehendak bersama para pihaknya, maka mereka itu tentu bebas untuk mengubahnya. Akan tetapi, gagasan pengubahan sepihak adalah sesuatu yang mutlak bertentangan dengan gagasan perjanjian.

Kemungkinan melanggar kewajiban hukum dapat dipandang sebagai kenisbian hukum pada umumnya dan tidak khusus mengenai pengertian perjanjian. Apa lagi, sejauh terjadi di lingkungan HN, terdapat (atau setidak-tidaknya: seharusnya terdapat) alat dan organisasi penegak hukum yang cukup lengkap dan kuat untuk menghadapi dan “menghukum” pelanggaran demikian sehingga dapat tertekan terjadinya. Akan tetapi, berbeda dari perjanjian di lingkungan HN, PI berada di lingkungan HI yang tidak mengenal organisasi masyarakat lengkap dengan dasar dan pucuknya, termasuk pemegang kekuasaan pusatnya dan alat perlengkapan penegak hukumnya yang berwenang dan nyatanya mampu menjaga dan mempertahankan hukum secara memaksa. Pada umumnya, baik hukum nasional maupun HI, pada hakekatnya merupakan hasil pergulatan kekuatan-kekuatan di masyarakat. Bedanya, di lingkungan HN pergulatan itu tersalur melalui bermacam bangunan organisasi dan penjagaan dan pembagian kewenangan, sehingga seakan-akan disublimasi dan dapat menghindari bentrokan-bentrokan yang merusak kestabilan masyarakat. Sebaliknya, di lingkungan HI aturan hukum hampir seluruhnya semata-mata merupakan buah hasil pergulatan kekuatan antara para subyek hukumnya yang kebebasannya hampir mutlak, berdasarkan titik tolak HI, yaitu kedaulatan negara. Dilihat dari sudut ini, kenisbian PI ternyata sekali dari kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika presiden AS mengutarakan kesimpulannya bahwa AS tidak lagi berkepentingan dengan adanya Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM Treaty) dan bahwa ia mempertimbangkan mengakhirinya. Ketika ditanya tentang niat tersebut, ia menyalahkan orang yang tidak dapat atau tidak mau mengakui bahwa zaman dan keadaan dapat saja berganti (dengan akibat kemungkinan perlunya hukum berganti pula).

Pengaruh Kekerasan

Menurut pengertian intinya, dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihamnya dan oleh karena itu tidak dapat lain daripada berdasarkan kehendak bebas. Di lingkungan HN, tata hukum dikuasai, dijaga, dan diatur oleh penguasa atau alat kekuasaan yang benar-benar berkuasa terhadap masyarakat lingkungan HN-nya. Kekuasaan ini dipegang secara monopoli dan mutlak (ingatlah julukan “negara gagal” bagi keadaan sebaliknya). Namun, maklumlah kekurangan dunia pengertian-pengertian dibanding kompleksitas kenyataan hidup jika menghadapi keadaan seperti negara Libanon dimana kekuasaan dan kekuatan sebenarnya yang membela kedaulatan negara terhadap dunia luar untuk sebagian besar berada di tangan organisasi di luar rangka pemerintah. Dalam rangka ini, lihatlah ketentuan Pasal 9 dari naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum, 2001. Oleh karena itu, ancaman unsu kekerasan di bidang perjanjian perdata, sekalipun dapat saja terjadi, namun biasa ditindak oleh penegak hukum dan pada umumnya tidak merupakan faktor yang dapat mengurangi azas-azas yang berdasarkan hakekat perjanjian.

Lain halnya di lingkungan HI yang berbeda secara mendalam dibanding dengan keadaan nasional. Wewenang menetapkan hukum, yaitu kewenangan politik hukum, seluruhnya pada dasarnya tergantung pada subyek hukum sendiri, terutama pada negara, sehingga dalam perbincangan hukum, unsur pembagian kekuatan, termasuk yang akibat kekerasan, perlu diperhatikan dan diperhitungkan. Unsur kebebasan kehendak sebagai inti perjanjian dengan demikian menjadi nisbi dalam hal PI.

Di pustaka sejarah politik internasional terkenal istilah “perjanjian tidak seimbang”, yang kadang-kadang diiringi tuntutan pembatalannya. Istilah tersebut kebanyakan mengacu kepada perjanjian yang pernah diadakan di zaman lampau antara negara-negara Barat yang biasanya lebih kuat dengan kerajaan-kerajaan atau lain kesatuan kenegaraan di luar kawasan dunia Barat yang umumnya lebih lemah, sehingga perjanjian-perjanjian itu seringkali terus terang menguntungkan yang kuat dan merugikan si lemah. Timbullah pertanyaan apakah perjanjian-perjanjian demikian dapat dibatalkan ataupun dianggap batal demi hukum.

Dilihat dari sudut kenyataan lingkungan HI seperti kita uraikan tadi, keinginan yang “sesuai rasa keadilan” itu sukar disesuaikan dengan kerangka bangunan tata HI yang belum mengenal larangan mempergunakan daya kekuatan dalam hubungan antar negara untuk menetapkan hak dan kewajiban antar mereka. Kita patut ingat bahwa sebelum terbentuknya tata hukum yang kita kenal semasa pasca Perang Dunia Kedua dalam bentuk piagam PBB termasuk larangan kekerasanya, tata HI bahkan mengizinkan, setidak-tidaknya tidak melarang, penggunaan kekuasaan (perang) untuk mencapai keinginan terhadap subyek lain, yang kemudian disahkan (!) dalam “perjanjian perdamaian” atau perjanjian lain. Berlatar belakang ini, kita condong berkesimpulan bahwa keinginan membatalkan perjanjian “tak seimbang” demi hukum akan gagal. Keinginan yang cukup legitimasi namun tanpa dasar hukum itu hanya dapat tercapai dengan cara penggemblengan kekuatan yang cukup besar dan segala cara meyakinkan lainnya (kecuali paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 52 Konvensi Wina) untuk mencapai perubahan isi perjanjian bersangkutan.

Konvensi Wina, yang dapat kita anggap mencerminkan HI tentang PI menurut keadaan perkembangannya yang paling baru, mengenal ketentuan-ketentuan tentang peranan kekerasan di bidang PI, yaitu Pasal 51-52. Pasal 51 mengatur hal persetujuan negara untuk mengikat diri pada perjanjian yang diperoleh dengan, artinya sebagai akibat, kekerasan yang dipakai terhadap pribadi pejabat yang mewakili negara bersangkutan. Bagi keadaan demikian, Pasal 51 menentukan bahwa “persetujuan” demikian “tanpa akibat hukum apapun”. Kekerasan terhadap pribadi seseorang cukup jelas, setidak-tidaknya jauh lebih jelas daripada Pasal 52 yang menetapkan bahwa suatu perjanjian yang terjadi dengan memakai “ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan azas-azas HI yang termuat di Piagam PBB”. Multi interpretasi pengertian-pengertian yang digunakan di kalimat ini menunjuk pada kadar kenisbian cukup tinggi.

Penutup

Mudah-mudahan tulisan singkat ini berhasil menambah keyakinan akan tersimpulnya pelbagai kenisbian, kesamaran dan pertanyaan di bidang lembaga perjanjian internasional yang memerlukan penelitian dan penyelidikan seperlunya, baik di lapangan penerapan hukum praktis maupun di lapangan akademik, bagi kita semua.
-----------------------------------------------------
*Penulis adalah mantan Guru Besar Erasmus Universiteit Rotterdam (1988-1996), pendiri Foundation for the Development of International Law in Asia dan anggota Instituut de Droit International
[1] Pacta sunt servanda merupakan adagium dari Bahasa Latin yang pada umumnya ditafisrkan sebagai “perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya”. Guna lebih jelas lihat Black Law’s Dictionary.
[2] Pasal 2 ayat (1) ini berbunyi: 1. For the purpose of the present Convention: (a) ‘treaty’ means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.
[3] Patut kiranya disini ditambah sekedar catatan sampingan tentang pemakaian istilah lain yang adakalanya terlihat dalam hubungan ini, yaitu istilah “publik”, seperti kini juga terdapat di Pasal 1 judul (3) UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Mungkinkah si perancang naskah undang-undang tersebut terjebak kekhilafan yang tersirat dalam penggunaan istilah “hukum internasional publik” sebagai “lawan” “hukum perdata internasional”? Di lingkungan (hukum) internasional (atau “dalam rangka tata hukum internasional”) yang tidak mengenal hubungan antara subyek-penguasa dan subyek yang tunduk pada kekuasaan, pertentangan (hukum) antara publik – perdata sebenarnya tidak berlaku (tidak dapat diterapkan). Sebagai contoh patut diajukan pertanyaan apakah ada perbedaan hukum antara PI tentang pinjaman uang antar-negara dan PI tentang persekutuan militer.
[4] Ketentuan Pasal 102 ini berbunyi :
1. Every treaty and every international agreement entered into by any Member of the United Nations after the present Charter comes into force shall as soon as possible be registered with the Secretariat and published by it.
2. No party to any such treaty or international agreement which has not been registered in accordance with the provisions of paragraph I of this Article may invoke that treaty or agreement before any organ of the United Nations.
[5] Lihat Annuaire de l’Institut de droit international jilid 60-I (persidangan Cambridge, 1983)
[6] Tidak lama berselang Edy Prasetyono (CSIS) dilaporkan (Hukum Online 11 Juni 2006) pernah mengutarakan pendiriannya bahwasanya dokumen kesepakatan yang melahirkan organisasi ASEAN tidak mengikat. Beliau mengaitkan pandangan ini dengan kebijakan para pihak bersangkutan untuk ‘hanya menggunakan’ nama ‘Deklarasi Bangkok 1967 ‘. Meskipun harus diakui bahwa naskah Deklarasi tersebut memang kurang sesuai dengan bentuk lazim naskah pendirian organisasi, kiranya penyangkalan unsur keterikatan dalam comtoh ini patut dipertanyakan. Contoh lain ialah kabar tentang wawancara dengan Presiden AS pada bulan April 2005 tentang hubungan AS dengan Afghanistan setelah pemilihan presiden di negeri itu. Ia menitikberatkan bahwa hubungan strategis tidak mengharuskan pengaturannya dalam perjanjian resmi melainkan cukup diatur dalam bentuk pertukaran surat atau dalam suatu Memorandum of Understanding. Tanpa menerangkan alasan-alasan apakah yang menyebabkan kecondongan tersebut.
[7] Lihat, misalnya, Draft Articles on State Responsibility, versi 1996, Report of the ILC, 48th session, 1996 (A/51/10) Pasal 19-21.
[8] UU No. 37/1999 tidak memuat sebutan kemungkinan ini, meskipun demikian keluhan salah satu Dirjen Deplu tentang ”banyak perjanjian luar negeri yang dilakukan daerah kurang efektif”, Kompas 7 Agustus 2006, cukup membuat pelik.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger