Thursday, June 25, 2009

BEBERAPA ASPEK KENISBIAN DAN KESAMARAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

oleh Ko Kwan Sik*
Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu (spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian. Penulis juga tidak bermaksud mencoba menyajikan risalah teori hukum apapun. Sebaliknya, tulisan ini semata-mata merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastian dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertian perjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanya melekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkan sifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI.

Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakat tentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka, dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai dengan hasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan para pihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatan hukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang. Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama (sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku), sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda[1].

Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isi kesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusus sebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya, maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat (hukum) tertentu tanpa persetujuannya.

Uraian singkat ini cukup mutlak dan terang bunyinya, tetapi tidak mencukupi sebagai penjelasan konsep perjanjian. Ternyata berbagai kenisbian dan kesamaran melekat padanya. Diantaranya, berlakunya hukum dalam batas-batas suatu tata hukum tertentu menampilkan pertanyaan tentang keterbatasan ruang lingkup daya hukum yang terkait pada kesepakatan. Kenisbian lain yaitu ketergantungan keabsahan perjanjian dari kedudukan para pelakunya sebagai subyek hukum tata hukum bersangkutan, ditambah syarat kewenangan pelaku tersebut untuk mengadakan perjanjian yang berkekuatan hukum. Disamping itu, tata hukum mengenal pembatasan-pembatasan mengenai pokok persoalan (“obyek”) perjanjian, pembatasan mana biasanya bersangkut paut dengan sendi-sendi kemayarakatan bersangkutan. Kenisbian tersebut terdapat juga di bidang PI yang merupakan golongan khusus dari pengertian perjanjian yang lebih luas. Marilah kini kita meneliti beberapa kenisbian dan kesamaran khusus mengenai PI.

“Internasional”

Terhadap latar belakang tersebut di atas, tampillah pengertian dan istilah “perjanjian internasional”, yang kata sifatnya “internasional” tidak berarti tunggal, hal mana kita ingat betul dari setiap permulaan tahun kuliah apabila kita mencoba menerangkan kepada para mahasiswa hakekat mata pelajaran yang mereka ikuti. Kita tahu bahwa keragu-raguan itu bukan akibat kurang jelasnya pencipta pengertian, melainkan akibat pemakaian perkataan dalam arti kata berganda. Kata “internasional” pertama digunakan untuk merujuk pada perjanjian antara para aktor yang bertindak selaku subyek hukum internasional (HI) dan oleh karena itu khusus berlaku dalam lingkungan HI. Meskipun kelihatannya cukup jelas, namun bagaimanakah kita dapat tetapkan bahwa suatu perjanjian yang kita hadapi itu memang “governed by international law” seperti yang disyaratkan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969[2] tentang Hukum Perjanjian Internasional? Ada kalanya yang kita maksudkan dengan istilah PI adalah perjanjian yang para pihaknya bertindak dalam lingkungan hukum nasional (HN) (tanpa mempedulikan apakah mereka itu asal mulanya diciptakan sebagai subyek HI ataupun sebagai subyek HN) tapi dengan mata perjanjian yang bersifat lintas batas suatu negara dan oleh karena itu disebut “internasional”.[3] Kita dapat (meskipun syukur jarang terjadi) menambah kerumitan di lapangan PI golongan belakangan ini apabila tidak hanya obyek perjanjiannya melintas-batas, tetapi para pihaknya pun masing-masing bertindak dari lingkungan HN berbeda.

Sesuai tafsiran undangan Editor jurnal ini, tulisan ini hanya akan mencurahkan perhatian kepada perjanjian golongan pertama dan kenisbian dan kesamaran yang melekat padanya.

Sifat Normatif Hukum dan Sangkalannya

Tadi telah pernah disebut Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina 1969, ketika kita menitikberatkan keperluan menentukan apakah yang kita hadapi itu benar perjanjian yang dikuasai Hukum Internasional. Ternyata bahwa yang menjadi buah aturan Konvensi adalah “perjanjian internasional yang diadakan antara negara ... dan yang dikuasai oleh hukum internasional ...”. Ini berarti bahwa sekalipun kita jelas menghadapi perjanjian antar negara, yang sudah memenuhi syarat-syarat yang menurut perkiraan kita menjadikannya Perjanjian Internasional asli, kita masih juga perlu memeriksa apakah benar “dikuasai Hukum Internasional”. Apakah makna anak kalimat ini?

Mengingat sifatnya, maksud tujuannya dan konteks pembuatannya, dapatlah kita bertolak dari anggapan bahwa Konvensi tersebut khusus mengacu pada perjanjian di lingkungan internasional, tanpa perhatian, bahkan mengenyampingkan, hal-hal yang mengenai perjanjian di lingkungan HN. Hal mana berarti bahwa satu-satunya dugaan tentang maksud dan arti anak kalimat tadi yang masuk akal adalah bahwa si perancang membayangkan kemungkinan adanya perjanjian antar negara, di lingkungan internasional, yang dapat dikuasai oleh “sesuatu” yang lain (bukan HN) daripada HI. Sistem apakah yang kita dapat bayangkan di sini?

Istilah “dikuasai” di anak kalimat tersebut tentu berarti “dikuasai” sistem (hukum internasional) yang mengaitkan ciri normatif kepada kesepakatan antara para pihak perjanjian, satu dan lain menurut kehendak dan pilihan para pihak tersebut. Kita dapat bayangkan berbagai sistem normatif yang berlaku bagi kelakuan manusia selain sistem hukum, misalnya agama, adat istiadat, dan moralitas. Namun, sistem-sistem ini semuanya ditujukan kepada pribadi manusia dan tidak mengenal kaidah-kaidah pelaksanaan untuk memberlakukannya dan menerapkannya pada hubungan antar negara. Kadang-kadang disebut sistem “kesopanan kemasyarakatan” yang menguasai hubungan-hubungan internasional, akan tetapi sistem demikian hanya mengacu pada bentuk dan tata cara kelakuan dan tidak bersangkut-paut dengan sifat normatif dari hak/kewajiban yang termuat dalam perjanjian bersangkutan.

Dalam perbincangan tentang hubungan-hubungan internasional, kadang terdengar istilah “perjanjian politik” untuk membedakannya dari perjanjian yang dikuasai hukum, dan dalam hubungan ini kadang-kadang terdengar pula istilah “perjanjian tidak mengikat” (“non-binding agreements”) yang agak aneh bunyinya dan biasanya dimaksudkan sebagai “perjanjian yang tidak mengikat dari sudut hukum” (legally non-binding agreements). Sehingga timbullah pertanyaan apakah kiranya ada “sistem politik” yang bersifat normatif dan menguasai kelakukan dan yang merupakan alternatif di samping sistem hukum. Memang, kadang-kadang kita menghadapi perjanjian-perjanjian antar negara yang dianggap tidak memuat kewajiban hukum melainkan “hanya memuat kewajiban politik”. Soalnya ialah bahwa hingga kini belum ada uraian yang memberi penjelasan memuaskan tentang bagimana sebenarnya isi sistem normatif politik demikian itu dan sejauh mana sistem tersebut berbeda dari sistem hukum. Memang ilmu politik mengenal dan memperhatikan keadaan dimana kelakuan tertentu pihak yang satu dapat diduga dan diharapkan sebagai akibat kelakuan tertentu pihak yang lain, dimana kelakuan belakangan ini merupakan “cogent motive for action” pihak pertama. Apabila dalam keadaan demikian kelakuan pihak yang satu itu ternyata tidak terjadi, bertentangan dengan apa yang diharapkan, tidak mustahil pihak yang dikecewakan membalas dengan menuntut apa yang diharapkan dan bahkan menuntut ganti kerugian, semua ini tanpa melalui ataupun berdasarkan alasan hukum.

Contoh tersohor perjanjian yang kadar hukumnya terang-terangan disangkal adalah Akta Terakhir Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Helsinki Final Act 1975) yang meliputi negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur termasuk Uni Soviet dan Amerika Serikat dan Kanada (yang hingga kini masih berlaku di negara-negara bekas bagian Uni Soviet di Asia Sentral yang sama sekali bukan merupakan bagian dari Eropa). Negara-negara Barat menitikberatkan bahwa Akta tersebut bukan PI yang mengikat menurut hukum. Hal ini ditegaskan secara agak aneh namun jelas. Latar belakang cara yang dipakai ini ialah Pasal 102 Piagam PBB[4] yang mewajibkan setiap PI yang diikutsertai negara anggota untuk didaftarkan pada Sekretariat untuk keperluan penerbitannya (di UN Treaty Series). “Sesuai dengan” peraturan ini, Akta Helsinki memuat ketentuan yang memohon si Tuan Rumah (Finlandia) untuk “transmit to the Secretary-General of the United Nations the text of this Final Act (untuk disosialisasikan di antara negara anggota PBB) which is not eligible for registration under Article 102 of the Charter of the United Nations, as would be the case were it a matter of a treaty or international agreement under the aforesaid Article”.

Persoalan kewajiban perjanjian yang tidak berkadar hukum ini bahkan pernah dijadikan judul penelitian di kalangan Institut Hukum Internasional (Instituut de Droit Internasional) di tahun-tahun 1970an dan 1980an. Lembaga inipun belum sanggup menyajikan jawaban yang memuaskan, dan bahkan memutuskan pada 1983 untuk menangguhkan penyelidikannya sambil menunggu perkembangan-perkembangan yang membawa bahan-bahan baru.[5]

Pokok persoalan fenomena tersebut, yang mengenai kewajiban kelakuan yang unsur hukumnya disangkal, mirip dengan, walaupun mungkin tetap perlu dibedakan dari, fenomena usaha-usaha “perundang-undangan internasional” dalam bentuk perjanjian-perjanjian multilateral, kadang-kadang mengenai perbaikan kedudukan manusia pribadi di pelbagai lapangan, yang tidak, setidak-tidaknya belum, memuat aturan penegakan hak-hak yang diakui (“without legal remedies”). Terlihat disini fenomena hukum “pincang” yang “tidak sempurna”.

Kenisbian dan kesamaran yang penulis sebut disini dan yang kadang agak kurang tepat diberi nama “hukum lemah” (soft law), perlu dibedakan dari naskah-naskah yang disepakati oleh para pihak namun yang jelas tidak dimaksudkan sebagai sumber hak/kewajiban melainkan semata-mata sebagai rumusan pendirian dan tekad masing-masing (yang “kebetulan” sesuai) mengenai hal tertentu. Keraguan tentu sangat menyolok apabila para peserta berbeda pendapat tentang maksud naskah mereka. Akan tetapi, ini mengacu pada tidak tercapainya kesepakatan, bukan kesamaran perjanjian.

Sumber Hak dan Kewajiban dan Sangkalannya


Dalam menetapkan perjanjian-perjanjian mana yang dikuasai olehnya, Konvensi Wina dalam Pasal 2 ayat 1 judul (a) dengan tegas menyatakan bahwa PI dapat saja termuat dalam satu atau lebih dari satu dokumen dan dapat saja diberi nama apapun. Ketentuan ini, yang boleh dikatakan mencerminkan anggapan umum dan dengan demikian dapat dianggap berlaku sebagai HI umum, berarti bahwa bentuk PI tidak ada relevansinya bagi HI dan tidak mempengaruhi kadar hukum isinya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa nama yang diberikan kepada naskah dan rumusan pengertian-pengertian dan istilah yang dipakai dalam naskah tidak penting, oleh karena nama dan rumusan itu merupakan sumber interpretasi tentang maksud para pihak dan makna dokumen bersangkutan mengenai hak dan kewajiban masing-masing.[6]

Pembuatan naskah sebagai hasil perundingan dapat mengacu ke berbagai tujuan. Ada kalanya naskah dimaksudkan sebagai penetapan hak / kewajiban masing-masing dengan kekuatan hukum. Apabila naskah diberi nama menurut kebiasaan tradisional di bidang PI, seperti kata “treaty” dalam bahasa Inggris, apalagi jika disertai acara-acara klasik seperti syarat ratifikasi (persetujuan keterikatan) dan/atau kesepakatan untuk mendaftarkannya di Sekretariat PBB sesuai Pasal 102 maka kesamaran tentang maksud para pihak boleh dikatakan dapat tercegah. Tapi bentuk dan acara demikian tidak merupakan syarat untuk menegaskan sifat hukum isinya. Tidak termuatnya ciri-ciri terkenal demikian sama sekali tidak membenarkan kesimpulan bahwa para pihak tidak menghendaki dokumen kesepakatan mereka merupakan sumber hak/kewajiban hukum. Inilah, antara lain, makna kebebasan bentuk yang diakui Pasal 2 ayat 1 judul (a) Konvensi Wina. Demikianlah tafsiran yang selayaknya diberi kepada istilah “treaties in simplified form” yang kita kenal dari praktek diplomasi dan yang dapat berbentuk, misalnya, pertukaran surat, “Pernyataan Bersama” (joint statement), bahkan “Nota Kesepahaman” (memorandum of understanding). Sebagai contoh yang cukup ekstrim, ada kalanya dipilih bentuk “Communiqué” yang sebenarnya berarti tidak lebih daripada “penerangan khalayak ramai tentang sesuatu yang terjadi”, namun dipakai sebagai sumber hak dan kewajiban.

Sebaliknya, suatu naskah sebagai hasil komunikasi (secara bagaimanapun) antara para pihak dapat saja dibuat dengan tujuan berlainan. Tadi kita telah menjumpai fenomena perjanjian dengan hak/kewajibannya yang dikuasai sistem normatif yang tidak bersifat hukum atau suatu “sistem pengharapan” berdasarkan tindakan timbal balik. Disamping itu, naskah yang disepakati dapat dimaksudkan sebagai pernyataan penetapan tekad para pihak tentang kelakuan mereka di masa yang akan datang, tanpa tersiratnya janji yang bersifat hukum. Alternatif selanjutnya ialah pengumuman belaka, bagaimanapun resmi dan mulia sifatnya, tentang (biasanya hanya sebagian dari) apa yang diperbincangkan antara para pihak dan hasil kesepakatannya. Tadi telah disebut istilah Communiqué, meskipun “Pernyataan Bersama” kadang-kadang lebih disukai.

Kadar Hak dan Kewajiban

Sangkalan kadar hukum yang merupakan pokok persoalan di atas tadi tidak dapat disamakan dan tidak boleh dicampuradukkan dengan gejala lain, yaitu keanekaragaman jenis (hak dan) kewajiban yang kadar hukumnya tidak diragukan.

Pengertian sempurna tentang hakekat suatu kewajiban hukum merupakan syarat penting untuk dapat menetapkan apakah kewajiban itu dapat dinilai telah dipenuhi atau justru dilanggar. Itulah sebabnya perhatian yang cukup besar dicurahkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB kepada penggolongan dan pembedaan antara berbagai jenis kewajiban hukum selama sebagian besar waktu perencanaan naskah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan negara melawan hukum.[7]

Meskipun demikian, tetap terdapat cukup banyak gejala dalam praktek PI yang menimbulkan pelbagai pertanyaan tentang kelakuan dan tindakan ataupun hasil usaha yang merupakan isi sebenarnya kewajiban bersangkutan. Oleh karena itu, kita perlu mencurahkan perhatian khusus kepada soal kejelasan atau sebaliknya kesamaran yang kadang-kadang melekat pada rumusan suatu kewajiban. Antara kewajiban-kewajiban kita dapat membedakan kewajiban yang “keras” dan yang “lunak”.

Dalam golongan kewajiban untuk melakukan sesuatu (obligation of conduct), sifatnya keras apabila tindakan itu dirumuskan secara sangat tegas dan spesifik, apalagi bila ditetapkan pula bahwa tindakan itu harus terlaksana dalam tenggang waktu yang tertentu. Sebaliknya, kewajiban dapat saja dirumuskan sebagai kewajiban untuk berusaha, sesuai dengan kemampuan si pengemban kewajiban, dengan mempertimbangkan keadaan menurut penilaian si pengemban kewajiban, untuk mencoba mencapai sesuatu. Dalam hal demikian, kewajiban ternyata begitu longgar dan kadar keharusannya menjadi demikian rendah, sehingga timbullah keraguan cukup mendalam tentang dimana letak sebenarnya garis batas antara pelaksanaan dan pelanggarannya. Ada sebagian peneliti yang mencari sebab kebijakan demikian di bidang adat-istiadat di bagian-bagian dunia yang segan menitikberatkan secara tajam hak dan kewajiban masing-masing pihak, hal mana penulis sangsikan. Meskipun perlu diakui bahwa di lapangan Hukum Internasional yang bersifat khas itu pertimbangan-pertimbangan “tidak langsung” memainkan peranan yang jauh lebih besar di bidang perjanjian daripada di lingkungan Hukum Nasional, seperti memilih bermacam nama yang menghindari kata perjanjian.

Kita dapat saja mengira bahwa kesamaran demikian tidak dapat timbul dalam hak kewajiban untuk mencapai suatu hasil usaha tertentu (kewajiban hasil usaha/obligation of result). Bayangkanlah kewajiban untuk mencegah terjadinya sesuatu. Namun, dugaan itu ternyata tidak tepat. Kesamaran tetap terdapat bila, misalnya, kewajiban bersangkutan mengharuskan menghasilkan suatu “keadaan yang bermanfaat” bagi sesuatu.

Tadi telah kita bertemu dengan istilah “hukum lemah” yang kadang dipakai untuk menggambarkan sifat kewajiban yang tidak jelas apakah memang dimaksudkan sebagai kewajiban hukum. Kami mencatat disana bahwa penggunaan istilah dalam rangka itu rasanya kurang tepat oleh karena kesamaran disana mengenai batas antara hukum dan bukan-hukum. Istilah “hukum lemah” kiranya lebih tepat untuk menggambarkan kewajiban yang diakui sifat hukumnya namun memberi kelonggaran demikian banyaknya sehingga sukar menentukan garis batas antara memenuhi dan melanggar kewajiban.

Pihak Perjanjian dalam Kenyataan dan Pihak Perjanjian Menurut Hukum: Gejala “Perjanjian Administrasi”

Penggolongan suatu perjanjian sebagai Perjanjian Internasional (PI) atau sebagai kategori lain menunjuk pada dikuasainya oleh HI atau hukum lain (atau, seperti kita sempat menjumpai tadi, sama sekali tidak dikuasai hukum). Penggolongan itu didasarkan berbagai kriteria, antara lain kedudukan para pihaknya sebagai subyek hukum. Aktor kemasyarakatan yang tidak diakui sebagai subyek HI tidak dengan sendirinya tidak dapat mengadakan PI sehingga perjanjian hasil kesepakatannya tidak pernah dapat dianggap bersifat PI. Sebaliknya perjanjian antara para aktor yang jelas subyek HI tidak otomatis bersifat PI, oleh karena mereka dapat saja di samping itu bertindak selaku subyek HN. Bayangkan sekarang perjanjian antara aktor yang tidak jelas kedudukannya sebagai subyek HI namun bertindak dalam rangka hukum publik di negaranya.

Ada kalanya diadakan perjanjian antara alat-alat perlengkapan dari negara-negara berbeda, yang tidak khusus ataupun langsung berwenang dan bertugas di lapangan hubungan luar negeri atau antara kesatuan-kesatuan teritorial sesuai sistem otonomi daerah (seperti kota atau propinsi) negara masing-masing. Kesepakatan dan perjanjian demikian itu mengenai salah satu kebijakan di bidang tugas mereka. Tentu ada negara dimana hubungan lintas batas demikian antara alat-alat perlengkapan ataupun kesatuan negara teritorial dilarang oleh hukumnya, sehingga gejala yang dibayangkan disini tidak terjadi. Akan tetapi, cukup banyak negara-negara dimana hal demikian dapat terjadi dan perjanjian-perjanjian demikian ternyata memenuhi kebutuhan bersama dibidang pemerintahan dan pengaturan kemasyarakatan setempat, terutama di kawasan-kawasan yang terletak saling berdekatan namun di negara yang berlainan.[8] Timbullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan hukum perjanjian demikian yang kadang-kadang disebut “perjanjian administrasi”. Apakah perjanjian itu harus, atau boleh, disamakan dengan PI? Tetapi para pelakunya pada umumnya tidak merupakan (artinya: tidak diakui oleh negara bersangkutan sebagai) subyek HI (pengecualian boleh terjadi di negara federal tertentu). Haruskah kita menarik kesimpulan bahwa perjanjian semacam itu tidak bersifat “internasional” dalam arti kata lazim sehingga tidak tunduk pada hukum internasional mengenai PI melainkan harus dianggap dikuasai HN? Di samping itu, siapakah yang selayaknya dianggap sebagai pihak perjanjian? Haruskah negara-negara bersangkutan, biarpun tidak tegas menyuruh, mengizinkan ataupun menyetujui (meskipun tidak melarang) pembuatan perjanjian demikian, dianggap terikat padanya, meskipun seluruh acara pembuatannya tidak sesuai dengan acara yang lazim untuk PI dan semata-mata oleh karena aktor yang mengadakannya merupakan sebagian dari bangunan kenegaraan? Ataukah perjanjian demikian itu hanya mengikat para instansi bersangkutan di lingkungan HN? Tapi jika demikian, tata hukum manakah yang menguasainya, mengingat bahwa perjanjian demikian itu tidak pernah dimaksudkan sebagai suatu perjanjian HN?!

Karangan singkat ini bukan tempatnya untuk menyelidiki persoalan ini secara panjang-lebar. Namun, mungkin disinipun kita dapat belajar dan mencari sandaran (meskipun hanya secara tidak langsung) di naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum 2001, khususnya bab 2 yang berkepala “The ‘Act of the State’ under International Law” yang Pasal 5-nya berbunyi:
“(1) For the purposes of the present articles, the conduct of any State organ acting in that capacity shall be considered an act of that State under international law, whether the organ exercises legislative, executive, judicial or any other functions, whatever position it holds in the organization of the State, and whatever its character as an organ of the central government or of a territorial unit of the State. (2) For the purposes of paragraph 1, an organ includes any person or body which has that status in accordance with the internal law of the State.”
Keberlakuan di Lingkungan Hukum Nasional (HN)

Perbedaan antara tata HI dan tata HN menyebabkan timbulnya kenisbian tentang makna PI, berhubung dengan persoalan kedudukan dan keberlakuan HI (atau khususnya PI) di lingkungan HN. Persoalan ini perlu dikaji dan dijawab oleh masing-masing tata HN sendiri, meskipun tentu hanya sejauh HI bersangkutan dapat ada relevansinya dalam lingkungan HI (hukum Internasional) relevansi demikian tidak ada dalam HI yang memang kita kenal ajaran-ajaran tentang kesatuan hukum internasional dan nasional (monisme) dan sebaliknya tentang perbedaan dan pemisahan mutlak antara kedua sistem hukum itu (dualisme). Akan tetapi, ajaran-ajaran muluk ini tidak menghidangkan jawaban langsung apapun atas pertanyaan yang kita hadapi dalam dunia “hukum yang berlaku” (“hukum positif”). Hal yang kita perlukan untuk memberi jawaban ialah adanya penetapan, atau “pilihan”m yang dibuat oleh hukum nasional tentang kedudukan dan peranan HI, khususnya PI, dilingkungannya. Pilihan demikian dapat berwujud tanpa atau melalui suatu tindakan hukum tegas dari tata HN bersangkutan yang termuat di undang-undang dasar, undang-undang biasa, atau, dimana HN ternyata tidak melakukan pilihan tegas (eksplisit), dikembangkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang penerapannya terlihat dalam keputusan-keputusan konkrit, misalnya keputusan-keputusan hakim.

Tata HN dapat saja menyangkal mutlak segala peranan dan pengaruh HI terhadap HN, dan berpendirian bahwa pembuat hukum nasional merupakan satu-satunya yang berwenang mengadakan peraturan tentang hal apapun yang perlu diatur hukum di lingkungan HN. Sebaliknya, tata HN dapat juga pada azasnya mengakui kemungkinan peranan dan pengaruh itu, pengakuan mana dapat diutarakan menurut dua cara, yaitu dengan “mengizinkan” isi HI berlaku di lingkungan HN tanpa merubah sifat internasionalnya, atau dengan mengundangkan isi tersebut sebagai HN dalam bentuk perundang-undangan HN pula.

Perbandingan antara sistem-sistem HN menunjuk dua jalan yang dapat dilalui dalam penerapan kebijakan cara pertama tadi. Jalan yang satu ialah secara “membuka pintu” bagi HI, yang berakibat HI itu berlaku di lingkungan HN, tanpa tindakan apapun dari pihak penguasa negara. Kebijakan “pintu terbuka” dapat juga hanya diterapkan sejauh mengenai HI tak tertulis yang biasanya bertepatan dengan HI yang “umum berlaku”, seperti di sistem mazhab hukum common law yang menggolongkan HI tak tertulis ini sebagai “law of the land”. Kebijakan ini berdasarkan sangkalan perbedaan antara hukum tak tertulis (“kebiasaan”) yang tercipta di suasana nasional dan internasional, dan yang melalui jalan itu juga menghasilkan keberlakuan HI tak tertulis di lingkungan nasional. Jalan yang lain perlu ditempuh apabila tata HN, sekalipun yakin akan perlunya penerapan isi HI di lingkungan HN, menganggap perlu adanya suatu tindakan HN tegas agar mencapai hasil itu, seperti ketentuan dalam UUD atau perundangan biasa. Dalam hal PI, UU persetujuan PI (yang di praktek politik Indonesia disamakan dengan “ratifikasi”) kadang dipakai untuk keperluan ini.

Sebagai alternatif kedua cara “pemberian izin” kepada HI tersebut kita kenal kebijakan menolak secara mutlak keberlakuan HI dalam tata HN. Dalam rangka ini, pemberlakuan isi HI di lingkungan HN memerlukan pembuatan HN yang tegas memuat ataupun setidaknya tegas mengundangkan isi HI bersangkutan sebagai HN (transformasi).

Soal ya atau tidaknya tata hukum nasional memberlakukan HI, seluruhnya atau sebagian, di lingkungan HN-nya, tanpa “mengubah” sifatnya sebagai HIM, ataupun “hanya” memberlakukan isi HI di lingkungan HN sejauh (“diubah”) bentuk dan sifatnya menjadi HN, merupakan soal penting bagi penegak hukum nasional, yang kewenangannya di bidang penerapan hukum terbatas pada hukum yang berlaku di lingkungan hukum nasionalnya. Di samping itu, kebijakan berbeda itu juga memain peranan dalam penetapan kedudukan hirarki kaidah-kaidah hukum yang berasal internasional dan nasional yang termasuk kewenangan tersebut.

Ruang Lingkup Azas Keterbatasan Berlakunya Antar-Pihak

Titik tolak di bidang hukum perjanjian adalah bahwa perjanjian itu mencerminkan kesepakatan antara pihak-pihaknya tentang apa yang mereka inginkan. Dalam rumusan ini tersirat penetapan bahwa siapapun yang tidak ikut menyepakatinya dengan sendirinya tidak terikat padanya (pacta tertiis nec nocent nec prosunt; perjanjian tidak mengakibatkan keuntungan maupun kewajiban bagi pihak ketiga). Azas ini kelihatannya memang cukup layak, dan kelayakan ini lebih-lebih menyolok apabila kita memandang perjanjian itu sebagai sumber hak dan kewajiban timbal-balik antar para pihaknya, dengan hak pihak yang satu terhadap pihak yang lain tergabung dengan hak pihak kedua ini terhadap pihak pertama. Memang disini tidak ada alasan untuk memberi peranan apapun kepada pihak ketiga.

Akan tetapi, PI tidak selalu bersifat timbal balik. Kadang-kadang, dan makin lama makin banyak, sesuai dengan bertambah padatnya hubungan-hubungan kemasyarakatan internasional di pelbagai lapangan (“globalisme”) dan sejajar dengan perkembangan itu, timbullah dan bertambahlah kebutuhan akan pengaturan hubungan-hubungan yang menyentuh pelbagai masyarakat nasional, dan yang bersifat baik lintas batas maupun tidak, namun tidak bersifat antar negara. Hubungan-hubungan kemasyarakatan itu mengenai bermacam-macam aspek kehidupan yang mencerminkan cita-cita kemasyarakatan, seperti hak azasi manusia, pemberantasan penyakit, hubungan-hubungan keluarga, dan sebagainya. Dengan demikian, PI dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai kesamaan dalam menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu itu di masing-masing lingkungan hukum nasionalnya.

Pertanyaan yang kadang timbul adalah: dapatkah dan bolehkah PI yang berlaku antar negara A-B-C-D (yang menyajikan peraturan bersama tentang perlindungan hak-hak azasi manusia, atau merupakan peraturan bersama untuk persoalan-persoalan yang bersangkut dengan adopsi lintas batas, atau berisi aturan bersama tentang pemindahan perselisihan perdata tertentu dari kewenangan pengadilan kekuasaan pewasitan) diterapkan bila orang yang tersangkut dalam perkara HAM itu berkewarganegaraan negara E? Dan bagaimanakah apabila antara pihak hubungan internasional perdata ada yang berkewarganegaraan negara F? Atau apabila ada pihak berpekara digugat di pengadilan negara A untuk tunduk pada acara pewasitan sesuai dengan PI yang mengatur pewasitan, tapi pihak berperkara itu kebetulan berkewarganegaraan negara X, berhakkah negara X dengan alasan “memberi perlindungan diplomatik” kepada warganya atau dengan alasan lain menolak penerapan PI tersebut?

Disini kadang tampak kemungkinan adanya suatu salah mengerti tentang makna azas pacta tertiis. Azas ini mengacu pada aspek primer PI, yaitu terjadinya kesepakatan antara negara-negara sebagai subyek HI yang berdaulat. Negara D tidak terikat pada perjanjian A-B-C, dan oleh karena itu , tidak dapat diwajibkan tunduk pada isi perjanjian tersebut tanpa persetujuannya sebagai negara berdaulat. Jika obyek perjanjian terdiri dari, misalnya, hak dan kewajiban timbal balik antar negara untuk bertindak bersama sebagai persekutuan militer, maka negara D tidak dapat dipaksa menurut hukum untuk menyesuaikan kelakuannya dengan persekutuan tersebut. Sebaliknya, apabila obyek perjanjian terdiri dari kesepakatan tertentu untuk menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan tertentu secara sama di lingkungan HN masing-masing pihak perjanjian, maka negara D tetap tidak dapat dipaksa berdasarkan hukum untuk menyesuaikan kebijakan dalam lingkungan HN-nya dengan perjanjian tadi. Namun, ia juga tidak berwenang untuk berkeberatan, berdasarkan alasan tidak ikut sertanya sebagai pihak perjanjian, terhadap penerapan isi perjanjian tadi di lingkungan HN negara-negara A, B atau C jika penerapan demikian menyentuh suatu unsur yang berkaitan dengan negara D itu. Sebaliknya, keadaan ini tentu tidak mengurangi kewenangan negara D untuk mengajukan keberatan terhadap penerapan perjanjian itu berdasarkan alasan-alasan lain.

Dalam contoh belakangan ini, perjanjian bersangkutan tidak mengenai hak-kewajiban antar negara yang timbal balik, melainkan merupakan kesepakatan (antar negara) untuk menghadapi dan mengatur hubungan-hubungan kemasyarakatan tertentu secara sama dan serupa di masing-masing lingkungan HN-nya. Disini terletaklah batas ruang lingkup azas pacta tertiis tersebut tadi.

Ruang Lingkup Azas Pacta Sunt Servanda

Azas ini merupakan inti dan hakekat pengertian perjanjian, termasuk PI. Tentu kewajiban yang terisi dalam azas ini, yang bersifat normatif dan tidak memaksa dalam arti kata hukum alam, dapat saja dilanggar. Akan tetapi, ciri inti tata hukum adalah, seperti telah pernah disebut tadi, bahwa pelanggaran demikian oleh tata hukum dikaitkan pada akibat-akibat tertentu tanpa persetujuan si pelanggar, sedang kewajiban asal tetap berlaku. Jika isi perjanjian tidak lagi memenuhi kehendak bersama para pihaknya, maka mereka itu tentu bebas untuk mengubahnya. Akan tetapi, gagasan pengubahan sepihak adalah sesuatu yang mutlak bertentangan dengan gagasan perjanjian.

Kemungkinan melanggar kewajiban hukum dapat dipandang sebagai kenisbian hukum pada umumnya dan tidak khusus mengenai pengertian perjanjian. Apa lagi, sejauh terjadi di lingkungan HN, terdapat (atau setidak-tidaknya: seharusnya terdapat) alat dan organisasi penegak hukum yang cukup lengkap dan kuat untuk menghadapi dan “menghukum” pelanggaran demikian sehingga dapat tertekan terjadinya. Akan tetapi, berbeda dari perjanjian di lingkungan HN, PI berada di lingkungan HI yang tidak mengenal organisasi masyarakat lengkap dengan dasar dan pucuknya, termasuk pemegang kekuasaan pusatnya dan alat perlengkapan penegak hukumnya yang berwenang dan nyatanya mampu menjaga dan mempertahankan hukum secara memaksa. Pada umumnya, baik hukum nasional maupun HI, pada hakekatnya merupakan hasil pergulatan kekuatan-kekuatan di masyarakat. Bedanya, di lingkungan HN pergulatan itu tersalur melalui bermacam bangunan organisasi dan penjagaan dan pembagian kewenangan, sehingga seakan-akan disublimasi dan dapat menghindari bentrokan-bentrokan yang merusak kestabilan masyarakat. Sebaliknya, di lingkungan HI aturan hukum hampir seluruhnya semata-mata merupakan buah hasil pergulatan kekuatan antara para subyek hukumnya yang kebebasannya hampir mutlak, berdasarkan titik tolak HI, yaitu kedaulatan negara. Dilihat dari sudut ini, kenisbian PI ternyata sekali dari kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika presiden AS mengutarakan kesimpulannya bahwa AS tidak lagi berkepentingan dengan adanya Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM Treaty) dan bahwa ia mempertimbangkan mengakhirinya. Ketika ditanya tentang niat tersebut, ia menyalahkan orang yang tidak dapat atau tidak mau mengakui bahwa zaman dan keadaan dapat saja berganti (dengan akibat kemungkinan perlunya hukum berganti pula).

Pengaruh Kekerasan

Menurut pengertian intinya, dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihamnya dan oleh karena itu tidak dapat lain daripada berdasarkan kehendak bebas. Di lingkungan HN, tata hukum dikuasai, dijaga, dan diatur oleh penguasa atau alat kekuasaan yang benar-benar berkuasa terhadap masyarakat lingkungan HN-nya. Kekuasaan ini dipegang secara monopoli dan mutlak (ingatlah julukan “negara gagal” bagi keadaan sebaliknya). Namun, maklumlah kekurangan dunia pengertian-pengertian dibanding kompleksitas kenyataan hidup jika menghadapi keadaan seperti negara Libanon dimana kekuasaan dan kekuatan sebenarnya yang membela kedaulatan negara terhadap dunia luar untuk sebagian besar berada di tangan organisasi di luar rangka pemerintah. Dalam rangka ini, lihatlah ketentuan Pasal 9 dari naskah PBB tentang perbuatan negara melawan hukum, 2001. Oleh karena itu, ancaman unsu kekerasan di bidang perjanjian perdata, sekalipun dapat saja terjadi, namun biasa ditindak oleh penegak hukum dan pada umumnya tidak merupakan faktor yang dapat mengurangi azas-azas yang berdasarkan hakekat perjanjian.

Lain halnya di lingkungan HI yang berbeda secara mendalam dibanding dengan keadaan nasional. Wewenang menetapkan hukum, yaitu kewenangan politik hukum, seluruhnya pada dasarnya tergantung pada subyek hukum sendiri, terutama pada negara, sehingga dalam perbincangan hukum, unsur pembagian kekuatan, termasuk yang akibat kekerasan, perlu diperhatikan dan diperhitungkan. Unsur kebebasan kehendak sebagai inti perjanjian dengan demikian menjadi nisbi dalam hal PI.

Di pustaka sejarah politik internasional terkenal istilah “perjanjian tidak seimbang”, yang kadang-kadang diiringi tuntutan pembatalannya. Istilah tersebut kebanyakan mengacu kepada perjanjian yang pernah diadakan di zaman lampau antara negara-negara Barat yang biasanya lebih kuat dengan kerajaan-kerajaan atau lain kesatuan kenegaraan di luar kawasan dunia Barat yang umumnya lebih lemah, sehingga perjanjian-perjanjian itu seringkali terus terang menguntungkan yang kuat dan merugikan si lemah. Timbullah pertanyaan apakah perjanjian-perjanjian demikian dapat dibatalkan ataupun dianggap batal demi hukum.

Dilihat dari sudut kenyataan lingkungan HI seperti kita uraikan tadi, keinginan yang “sesuai rasa keadilan” itu sukar disesuaikan dengan kerangka bangunan tata HI yang belum mengenal larangan mempergunakan daya kekuatan dalam hubungan antar negara untuk menetapkan hak dan kewajiban antar mereka. Kita patut ingat bahwa sebelum terbentuknya tata hukum yang kita kenal semasa pasca Perang Dunia Kedua dalam bentuk piagam PBB termasuk larangan kekerasanya, tata HI bahkan mengizinkan, setidak-tidaknya tidak melarang, penggunaan kekuasaan (perang) untuk mencapai keinginan terhadap subyek lain, yang kemudian disahkan (!) dalam “perjanjian perdamaian” atau perjanjian lain. Berlatar belakang ini, kita condong berkesimpulan bahwa keinginan membatalkan perjanjian “tak seimbang” demi hukum akan gagal. Keinginan yang cukup legitimasi namun tanpa dasar hukum itu hanya dapat tercapai dengan cara penggemblengan kekuatan yang cukup besar dan segala cara meyakinkan lainnya (kecuali paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 52 Konvensi Wina) untuk mencapai perubahan isi perjanjian bersangkutan.

Konvensi Wina, yang dapat kita anggap mencerminkan HI tentang PI menurut keadaan perkembangannya yang paling baru, mengenal ketentuan-ketentuan tentang peranan kekerasan di bidang PI, yaitu Pasal 51-52. Pasal 51 mengatur hal persetujuan negara untuk mengikat diri pada perjanjian yang diperoleh dengan, artinya sebagai akibat, kekerasan yang dipakai terhadap pribadi pejabat yang mewakili negara bersangkutan. Bagi keadaan demikian, Pasal 51 menentukan bahwa “persetujuan” demikian “tanpa akibat hukum apapun”. Kekerasan terhadap pribadi seseorang cukup jelas, setidak-tidaknya jauh lebih jelas daripada Pasal 52 yang menetapkan bahwa suatu perjanjian yang terjadi dengan memakai “ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan azas-azas HI yang termuat di Piagam PBB”. Multi interpretasi pengertian-pengertian yang digunakan di kalimat ini menunjuk pada kadar kenisbian cukup tinggi.

Penutup

Mudah-mudahan tulisan singkat ini berhasil menambah keyakinan akan tersimpulnya pelbagai kenisbian, kesamaran dan pertanyaan di bidang lembaga perjanjian internasional yang memerlukan penelitian dan penyelidikan seperlunya, baik di lapangan penerapan hukum praktis maupun di lapangan akademik, bagi kita semua.
-----------------------------------------------------
*Penulis adalah mantan Guru Besar Erasmus Universiteit Rotterdam (1988-1996), pendiri Foundation for the Development of International Law in Asia dan anggota Instituut de Droit International
[1] Pacta sunt servanda merupakan adagium dari Bahasa Latin yang pada umumnya ditafisrkan sebagai “perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya”. Guna lebih jelas lihat Black Law’s Dictionary.
[2] Pasal 2 ayat (1) ini berbunyi: 1. For the purpose of the present Convention: (a) ‘treaty’ means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.
[3] Patut kiranya disini ditambah sekedar catatan sampingan tentang pemakaian istilah lain yang adakalanya terlihat dalam hubungan ini, yaitu istilah “publik”, seperti kini juga terdapat di Pasal 1 judul (3) UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Mungkinkah si perancang naskah undang-undang tersebut terjebak kekhilafan yang tersirat dalam penggunaan istilah “hukum internasional publik” sebagai “lawan” “hukum perdata internasional”? Di lingkungan (hukum) internasional (atau “dalam rangka tata hukum internasional”) yang tidak mengenal hubungan antara subyek-penguasa dan subyek yang tunduk pada kekuasaan, pertentangan (hukum) antara publik – perdata sebenarnya tidak berlaku (tidak dapat diterapkan). Sebagai contoh patut diajukan pertanyaan apakah ada perbedaan hukum antara PI tentang pinjaman uang antar-negara dan PI tentang persekutuan militer.
[4] Ketentuan Pasal 102 ini berbunyi :
1. Every treaty and every international agreement entered into by any Member of the United Nations after the present Charter comes into force shall as soon as possible be registered with the Secretariat and published by it.
2. No party to any such treaty or international agreement which has not been registered in accordance with the provisions of paragraph I of this Article may invoke that treaty or agreement before any organ of the United Nations.
[5] Lihat Annuaire de l’Institut de droit international jilid 60-I (persidangan Cambridge, 1983)
[6] Tidak lama berselang Edy Prasetyono (CSIS) dilaporkan (Hukum Online 11 Juni 2006) pernah mengutarakan pendiriannya bahwasanya dokumen kesepakatan yang melahirkan organisasi ASEAN tidak mengikat. Beliau mengaitkan pandangan ini dengan kebijakan para pihak bersangkutan untuk ‘hanya menggunakan’ nama ‘Deklarasi Bangkok 1967 ‘. Meskipun harus diakui bahwa naskah Deklarasi tersebut memang kurang sesuai dengan bentuk lazim naskah pendirian organisasi, kiranya penyangkalan unsur keterikatan dalam comtoh ini patut dipertanyakan. Contoh lain ialah kabar tentang wawancara dengan Presiden AS pada bulan April 2005 tentang hubungan AS dengan Afghanistan setelah pemilihan presiden di negeri itu. Ia menitikberatkan bahwa hubungan strategis tidak mengharuskan pengaturannya dalam perjanjian resmi melainkan cukup diatur dalam bentuk pertukaran surat atau dalam suatu Memorandum of Understanding. Tanpa menerangkan alasan-alasan apakah yang menyebabkan kecondongan tersebut.
[7] Lihat, misalnya, Draft Articles on State Responsibility, versi 1996, Report of the ILC, 48th session, 1996 (A/51/10) Pasal 19-21.
[8] UU No. 37/1999 tidak memuat sebutan kemungkinan ini, meskipun demikian keluhan salah satu Dirjen Deplu tentang ”banyak perjanjian luar negeri yang dilakukan daerah kurang efektif”, Kompas 7 Agustus 2006, cukup membuat pelik.

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger