Sunday, June 21, 2009

KEMUNGKINAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI - JUDICIAL REVIEW – KAN

oleh Lita Arijati, et.al

Latar Belakang

Pemerintah RI dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentinan nasionalnya diantaranya adalah dengan membuat suatu perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum lainnya. Dengan meningkatnya intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara, menyebabkan meningkatnya pula kerjasama internasional yang dituangkan dalam bentk berbagai macam perjanjian internasional.

Kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia denganpemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting, karena mengikat negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu salah satu cara pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan UU.

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukanberdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.

Dalam penelitian ini, akan dibahas pokok permasalahan sbb :

  1. Bagaimana proses pengesahan perjanjian nternasional menjadi UU di Indonesia? 1.
  2. Apakah UU yang mengesahkan perjanjian internasional dapat diajukan ke depan MK?
  3. Bagaimana proses pengajuan UU yang mengesahkan perjanjian internasional dalam hal diajukan kehadapan MK?
  4. Bagaimana dampak secara nasionalmaupun internasional dari UU yang mensahkan perjanjian internasional jika dibatalkan ole MK?

Proses Pengesahan Perjanjian Internasional

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu, pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan UU.

Sebelum adanya UU No. 24 tahun 2000, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan perstujuan DPR. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkanlebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[1]
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua DPR, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden dapat dilakukan melalui UU atau Keppres, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan UU yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional

Hal ini emudian yang menjadi alas an perlunya perjanjian internasional diatur dalam UU No. 24 tahun 2000. Dalam UU tersebut, adapun isi yang diatur adalah[1]:

a. Ketentuan Umum
b. Pembuatan perjanjian internasional
c. Pengesahan perjanjian internasional
d. Pemberlakuan perjanjian internasional
e. Penyimpangan perjanjian internasional
f. Pengakhiran perjanjian internasional
g. Ketentuan peralihanKetentuan Penutup

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

  1. Ratifikasi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
  2. Aksesi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
  3. Penerimaan atau penyetujuan, yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
  4. Selain itu juga ada perjanjian- perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan surat uasa (Full Powers).[1] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah presiden dan menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam UU.[2]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau Keppres.[3] Pengesahan dengan UU memerlukan persetujuan DPR.[4] Pengesahan dengan Keppres hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[5] Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
  3. kedaulatan atau hak berdaulat negara
  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
  5. pembentukan kaidah hukum barupinjaman dan/atau hibah luar negeri.[1]

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 tahun 2000, dinyataka bahwa, “Pengesahan perjanjian internasional sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia tidakserta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum interasional sebagai dua sitem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui UU dan Keppres. UU ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, UU ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat UU yang lebih spesifik mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi ICCPR melalui UU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/ nota diplomatic, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, social, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Apakah MK Berwenang Menguji UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional?

Menurut UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji UU terhadap UUD 1945
  2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
  3. memutus pembubaran partai politik, dan
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum[1]

Dengan demikian salah satu kewenangan dari MK yang perlu digaris-bawahi adalah mengenai menguji UU terhadap UUD 1945. Hal ini relevan karena dalam melakukan ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional adalah melalui UU.

Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 8, disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; dan (6) keuangan negara.[1] Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan UUD 1945 adalah diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.[2]

Hal ini sama dengan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 2000 mengenai hal apa saja dari perjanjian internasional yang disahkan dalam UU. Beberapa hal yang sama adalah mengenai kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah negara dan masalah keuangan negara. Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan UU secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara UU ratifikasi perjanjian internasional dan UU pada umumnya dilihat dari sudut muatan materi UU.

Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemprakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, RUU, atau rancangan Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.[3]

Pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.[4] Presiden mengajukan RUU tentang pengesahan perjanjian internasional yang telah disiapkan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR. Dalam surat tersebut Presiden menegaskan antara lain tentang menteri yang ditugasi mewakili presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.[5]

DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat presiden diterima. Untuk keperluan pembahsan RUU di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah RUU tersebut dalam jumlah yang diperlukan.[6]

Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Tata cara pembahasan RUU tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR.[7]

Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden, diampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU.[8] Setiap UU atau Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara RI. Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara.[9]

Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan pemerintah RI pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara-negara pihak dalam perjanjian internasional atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpanan pada organisasi internasional.[10] Lembaga penyimpanan (depositary) merupakan negara atau organisasi internasional yang ditunjuk atau disebut secara tegas dalam surat perjanjian untuk menyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional.Praktek ini berlaku bagi perjanjian multilateral yang memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan selanjutnya memberitahukan semua pihak bahwa perjanjian tersebut telah menerima piagam pengesahan dari salah satu pihak.[11]

Disamping perjanjian internasional yang disahkan melalui UU atau Keppres, pemerintah dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatic, atau melalui cara lain sesuai kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian. Secara struktur, muatan dan isi serta proses pembentukan dari UU pengesahan perjanjian internasional tidak berbeda dengan UU lainnya. Oleh karena itu, UU ini dapat diajukan ke MK.

Tatacara Pengajuan Permohonan Pengujian UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional ke MK

Dalam perkara permohonan pengujian UU Pengesahan Perjanjian Internasional, maka prosedur pengajuan yang digunakan tidaklah berbeda dengan apa yang telah ditetapkan dalam peraturan Mahkamah tentang pengajuan permohonan. Dimana bagian yang terpenting adalah legal standing dari pemohon dalam mengajukan permohonannya. Dalam hal ini adalah kepentingan pemohon dalam mengajukan permohonan termaksud.

Dalam berperkara di MK, sebenarnya tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke MK dan menjadi pemohon.[12] Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[13] maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut UU untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian UU. Persyaratan legal standing dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dipersoalkan.

Dalam hukum acara MK yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003, yang bunyinya sbb:

  1. Perorangan warganegara Indonesia;[1]
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI ynag diatur dalam UU;[2]
  3. Badan hukum public atau privat;[3]
  4. Lembaga Negara.[4]

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di MK, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua criteria dimaksud adalah:[1]

  1. Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan WNI (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU; (iii) badan hukum public atau privat, atau (iv) lembaga negara;
  2. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Kemudian, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Perkara No. 006/PUU-III/2005, Mahkamah telah menentukan lima persyaratan mengenai kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu UU sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu:

  1. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
  2. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu UU yang dimohonkan pengujian;
  3. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus dan actual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
  4. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian;
  5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa setiap pemohon haruslah:

  1. salah satu dari keempat kelompok subjek hukum tersebut di atas;
  2. bahwa subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
  3. bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya UU atau bagian dari UU yang dipersoalkannya itu;
  4. bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal dengan berlakunya UU yang dimaksud;
  5. bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya UU dimaksud. Jika kelima criteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumulatif, maka yang bersangkutan memang dapat dipastikan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan perkara ke MK.

Sudah tentu, dalam pelaksanaannya, kelima criteria tersebut masih bersifat abstrak. Bagaimana penilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus konkretnya di lapangan. Untuk dinyatakan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, kelima kriteria itu kadang-kadang tidak diterapkan secara kaku, atau bersifat kumulatif secara mutlak. Karena, penilaian mengenai legal standing ini baru mengantarkan pemohon kepada keabsahannya sebagai pemohon, belum memperhitungkan pokok permohonannya.

Untuk itu dalam kaitannya dengan permohonan yang diajukan ke mahkamah, dalam permohonannya pemohonharus menjelaskan kedudukan hukum pemohon dalam perkara yang diajuakan. Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, maka pemohon harus menguraikan dengan jelas mengenai anggapan tentang hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Uraian ini harus secara jelas dan tegas yang pada pokoknya akan menunjukkan hubungan hukum antara pemohon dengan materi permohonan yang hendak diajukan.

Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, Mahkamah perlu lebih berhati-hati dalam memutuskan legal standing ini. Untuk itu secara khusus perihal legal standing harus menjadi perhatian Mahkamah, mengingat dampak kekuatan mengikatnya tidak saja terhadap keberlakuan UU tersebut akan tetapi juga dalam pergaulan internasional.

Materi pengajuan yang hendak dimohonkan ke mahkamah juga harus menyebutkan dengan jelas perihal permohonan pengujian formil atau pengujian materiil. Dalam hal ini pemohon harus menguraikan dengan jelas yang berisi uraian perihal permohonan yang hendak diajukan, apakah itu materiil atau formil. Uraian ini akan menjadi gambaran yang jelas bagi hakim dalam menilai materi permohonan yang diajukan.

Dalam kaitannya dengan pengajuan pengujian formil, dalam perkara pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, kiranya menjadi perhatian khusus Mahkamah dalam memeriksa dan memutus perkara ini adalah terkait dengan pengujian atas pembentukan UU a quo. Hal ini terkait dengan proses keikutsertaan Indonesia sebagai pihak dalam perjanjian internasional, masalah proses perundingan atau negosiasi, keterwakilan pemerintah dalam perjanjian internasional tersebut dan proses pengesahan perjanjian internasional menjadi UU.

Dalam pengujian formalitas UU pengesahan perjanjian internasional, pemeriksaan tidak hanya terkait dengan proses pembentukan di DPR akan tetapi harus juga dijadikan perhatian perihal proses keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional. Dalam hal ini harus diperhatikan bagaimana keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional tersebut. Terkait dengan keterwakilan pemerintah Indonesia dalam perjanjian tersebut, dimana harus dilihat siapa yang mewakili pemerintah Indonesia? Apa dasar keterweakilan pemerintah Indonesia? Hal ini terkait dengan surat kuasa yang diemban oleh wakil Indonesia dalam proses perjanjian internasional tersebut. Hal ini akan terkait dengan sejauh mana wewenang wakil pemerintah tersebut dalam kaitannya dengan proses keikutsertaan dalam perjanjian internasional.

Hal lain yang harus juga diperhatikan dalam kaitannya dengan permohonan pengujian formil UU pengesahan perjanjian internasional adalah apa bentuk UU pengesahan tersebut. Hal ini akan terkait dengan bentuk keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional. Hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan perihal bentuk pengesahannya apakah UU ratifikasi atau aksesi atau penerimaan, sebagaimana yang disebutkan dalam UU Perjanjian Internasional.

Dalam petitumnya pemohon dalam permohonan pengujian formil UU pengesahan perjanjian internasional, menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan putusan Mahkamah dalam petitum penting untuk dinyatakan dalam permohonan yang diajukan, hal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara a quo. Apabila dalam permohonan tidak dinyatakan petitumnya, maka hal ini harus menjadi perhatian dalam pemeriksaan pendahuluan dan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

Dalam hal permohonan yang diajukan adalah pengujian materiil UU pengesahan perjanjian internasional, maka pengujian dilakukan berkaitan dengan materi muatan dalam ayat, pasl dan/ atau bagian yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini harus diperhatikan dengan baik terkait dengan materi muatan yang menjadi dasar pengujian materiil yang diajukan, dimana apakah pernyataan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atas materi muatan yang diperiksa dan diputus mahkamah akan dapat dikategorisasi sebagai pembatalan sepihak atau tidak. Dalam hal ini harus diperhatikan, perjanjian internasional tersebut secara keseluruhan. Kerena pengujian UU pengesahan perjanjian internasional memiliki dimensi yang tidak saja bersifat nasional namun juga internasional.

Kesemua aspek tersebut akan menjadi bagian yang penting dalam pertimbangan yang akan dibuat oleh Mahkamah dalam memutus permohonan a quo. Dalam hal pengujian UU pengesahan perjanjian internasional dapat menimbulkan penafsiran sebagai bentuk pembatalan sepihak (denunciation) dari keikutsertaan Indonesia, hal ini juga harus diperhatikan oleh Mahkamah, yaitu apakah dalam perjanjian internasional tersebut dimungkinkan untuk melakukan pembatalan sepihak atau penangguhan.

Hal ini penting bagi Indonesia, karena Indonesia tidak dapat menarik diri dari perjanjian tersebut jika tidak ada pasal yang mengatur mengenai pe,batalan sepihak atau penangguhan keikutsertaan dalam perjanjian tersebut. Dalam memberikan keputusan yang terkait dengan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, juga harus dipertimbangkan dampak yang akan timbul dari dikabulkannya permohonan tersebut. Meskipun dengan pembatalan UU pengesahan perjanjian internasional tidak secara serta merta menghilangkan keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan internasional.

Dampak Pembatalan UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional

Dampak dari pembatalan UU tersebut tidak hanya akan bersifat nasional tetapi juga bersifat internasional. Walaupun dalam Konvensi Wina Article 46 dinyatakan bahwa negara peserta dari suatu perjanjian internasional dapat membatalkan keikutsertaannya dalam perjanjian jika pelanggaran terhadap perjanjian tersebut merupakan suatu tindakan yang memang sesuai dengan internal law of fundamental importance. Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah jika perjanjian internasional yang disahkan oleh UU dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945, hal ini dapat dimasukkan dalam kategori tersebut.

Konvensi Wina menyatakan hal di atas karena dalam prosedur ratifikasi, negara peserta diberikan kesempatan untuk memutuskan apakah akan menjadi pihak dalam perjanjian internasional atau tidak, dengan menyesuaikan perjanjian internasional tersebut dengan konstitusi negaranya. Maka pernyataan untuk terikat dalam perjanjian internasional tersebut merupakan suatu itikad baik, yang harus dihormati oleh negara-negara lainnya.

Mengenai pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh dibatalkannya suatu UU yang mensahkan suatu perjanjian internasional oleh MK tidak termasuk dalam faktor-faktor yang menjadikan perjanjian menjadi batal atau ditangguhkan.

Namun dalam hal ini dapat dimasukkan dalam pembatalan atau penangguhan secara sepihak ini tidak akan menjadi masalah jika pengunduran diri diatur dalam suatu perjanjian internasional, seperti halnya dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, dalam Pasl 63 mengenai Perbaikan Keadaan Luka dan Sakit di Medan Perang di darat, menetapkan bahwa pembatalan atau pernyataan tidak terikat terhadap perjanjian ini berlaku satu tahun sejak pemberitahuan mengenai pernyataan tersebut diterima oleh Dewan Federasi Swiss.

Berlainan jika pengunduran diri atau pembatalan tidak diatur dalam perjanjian internasional. Seperti halnya di dalam Piagam PBB. Sebagai contoh adalah ketika Indonesia mundur dari keanggotaan PBB pad Desmber 1964. Hal ini berlainan dengan LBB yang mengatur mengenai pengunduran diri dari LBB. PBB tidak ingin mengulangi pengalaman LBB yang dilemahkan oleh pengunduran diri beberapa anggotanya pada tahun 1938.

Pada saat Indonesia ingin kembali menjadi anggota PBB, pengunduran diri Indonesia di PBB dihitung sejak pernyataan mundur Indonesia di PBB. Dengan demikian Indonesia sebenarnya tidak pernah keluar dari PBB. Indonesia diwajibkan membayar segala kewajiban selama ketidak aktifannya di PBB.

Dengan demikian pembatalan suatu UU yang mensahkan suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh MK tidak selalu menjadikan Indonesia lepas dari keterikatannya yang telah dinyatakan oleh Indonesia terhadap perjanjian tersebut, jika pengunduran diri atau penangguhan untuk terikat terhadap perjanjian tidak diatur. Hal berbeda jika hal ini diatur dalam perjanjian internasional.

------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press: Jakarta, 2005, hal. 81-82
[1] Yang termasuk sebagai ini adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan yang sama dapat tampil sebagai pemohon, asalkan dapat membuktikan dirinya memenuhi syarat yang ditentukan oleh UU untuk menjadi pemohon.
[2] Rumusan ini merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
[3] Dengan berkembangnya ilmu hukum di masa modern ini, besar kemungkinan badan hukum tidak hanya mencakup pengertian public/privat saja, melainkan juga mencakup pengertian lainnya secara luas.
[4] Maksudnya adalah lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat.
[1] Indonesia (c), UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara RI tahun 2004 NO. 53, Pasal 8
[2] Ibid, Pasal 8 ayat (2)
[3] Ibid, Pasal 12
[4] Ibid, Pasal 12 ayat (3)
[5] Indonesia (c), Pasal 20
[6] Ibid.
[7] Ibid, Pasal 32, ayat 1,5,6, dan 7
[8] Ibid, Pasal 37
[9] Indonesia (a), Pasal 14
[10] Ibid, Pasal 14
[11] Ibid.
[12] Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan. Alasannya karena hakikat perkara konstitusi di MK tidak bersifat adversaria atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata maupun tata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara pengujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. UU yang digugat adalah UU yang mengkat umum terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permohonan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukan disebut sebagai pemohon.
[13] Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet poiny d’action, yaitu apabila ada kepentingan hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan.
[1] Indonesia (b), UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, Lembaran Negara RI tahun 2003 No. 98, Pasal 10.
[1] Ibid, Pasal 10
[1] Ibid, Pasal 7
[2] Ibid, Pasal 8
[3] Ibid, Pasal 9
[4] Ibid, Pasal 10
[5] Ibid, Pasal 11
[1] Indonesia (a), UU No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 185
[1] Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger