Thursday, June 25, 2009

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM DINAMIKA GLOBAL

Pengantar

Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan analisa persoalan hukum tertentu (spesifik/ kongkrit), apalagi mencoba menyajikan pemecahan persoalan demikian. Penulis juga tidak bermaksud mencoba menyajikan risalah teori hukum apapun. Sebaliknya, tulisan ini semata-mata merupakan renungan tentang berbagai ketidakpastian dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari, dan bersumber pada pengertian perjanjian internasional (PI). Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali tidak hanya melekat karena kekurang jelasannya, melainkan kadang-kadang juga menunjukkan sifat nisbi berbagai pengertian dan azas sekitar PI.

Istilah “perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota masyarakat tentang suatu keadaan yang mereka inginkan, yang mencerminkan hasrat mereka, dan yang memuat tekad mereka untuk bertindak kearah keinginan dan sesuai dengan hasrat tersebut. Apabila kesepakatan ini tercapai dan disertai kesungguhan para pihak, maka tata hukum yang berlaku di masyarakat bersangkutan memberi kekuatan hukum padanya dengan menetapkan perjanjian itu setaraf dengan undang-undang. Demikianlah bunyi Pasal 1338 KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) lama (sejauh kitab undang-undang ini masih kita akui sebagai sumber hukum berlaku), sesuai dengan seruan azas terkenal dalam bahasa asing kuno: pacta sunt servanda[1].

Penetapan kesepakatan sebagai perjanjian dalam arti huku, berarti bahwa isi kesepakatan itu dijadikan hak dan kewajiban para pihaknya yang berunsur khusus sebagai berikut: apabila si pengemban kewajibannya tidak memenuhi kewajibannya, maka tata hukum “menghukum”nya, artinya membebaninya dengan akibat-akibat (hukum) tertentu tanpa persetujuannya.
Dalam hal pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, diatur dalam Pasal 11 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

UU tentang Perjanjian Internasional sangat penting artinya untuk menciptakan kepastian hukum dan pedoman yang jelas bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI. Pada dasarnya UU tersebut memuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional, yang sekalipun tidak/belum diratifikasi oleh Indonesia namun telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional dan telah dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.

PRAKTEK HUKUM RI: MONISME OR DUALISME?

Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, seperti UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan UU No. 6/1996 tentang Perairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan dasar hukum untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982.
Komentar Prof. Swan Sik:
Pertanyaan berlakunya hukum internasional (HI) didalam lingkungan hukum nasional Indonesia (HN) memang belum jelas terjawab. ToR tepat menitikberatkan bahwa dari sudut tata-hukum Indonesia perlu dikembangkan pilihan politik hukum antara kemungkinan2 sebagai berikut:
HI dianggap sebagai tata-hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan sistematis dengan HN, dengan lain perkataan secara mutlak berada dan berlaku diluar dan disamping lingkungan HN (pada hakekatnya menganut “aliran dualisme”). Pilihan ini berkonsekwensi diperlukan pembuatan hukum menurut acara dan dalam bentuk HN (transformasi) agar kaidah isi HI bersangkutan dapat berlaku sebagai hukum dalam lingkungan HN. Dengan demikian kaidah tersebut yang telah di”transformasi” sebagai HN, berlaku setaraf dengan HN lainnya, dan tunduk pada azas2 yang menentukan hubungan antar-kaidah hukum (a.l. lex posterior derogat legi priori). HI dan HN pada hakekatnya dianggap sama2 merupakan bagian dari hukum sebagai keseluruhan (sesuai ajaran monisme). Oleh karena itu HI dianggap berlaku pula (“di-inkorporasikan”) dilingkungan HN, setaraf dengan HN “aseli”, namun dengan mempertahankan sifat HI-nya (tanpa “transformasi”) dan sejauh isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan2 HN. Azas2 tsb.tadi berlaku pula terhadapnya.

HI dianggap tidak hanya ter-inkorporasi dalam lingkungan HN, bahkan diakui sebagai hukum yang bertingkat lebih tinggi, sehingga mendahului HN yang berlawanan dengannya. Dalam jurusan ini terdapat dua variasi, yang satu mengecualikan UUD dari pengutamaan HI, dan yang lain bahkan menempatkan UUD pun dibawah HI. Pilihan antara ketiga kemungkinan tsb. diatas dapat ditentukan secara berbeda-beda. Ada HN yang menentukan pilihan tsb. di Konstitusinya, atau dgn jalan undang-undang, atau melalui tundakan2 berdasarkan otoritas pejabat hukum (misalnya hakim, atau pemerintah pusat). Disamping itu ada kemungkinan diadakannya perbedaan antara HI tertulis (perjanjian internasional) dan HI tak tertulis (hukum kebiasaan) dalam penerapan pilihan sistem.

Sikap tata hukum Indonesia (HN) terhadap berlakunya HI dalam lingkungan HN sebagai keseluruhan belum jelas. Petunjuk paling jelas sebenarnya dapat dilihat dalam praktik peradilan (“yurisprudensi” dalam arti-kata umum). Bahkan dari zaman kolonial masih ada ketentuan yang berdasarkan peraturan2 peralihan masih berlaku, seperti pasal 22a “Ketentuan2 umum perundang-undangan” (Algemene bepalingen van wetgeving, Staatsblad 1847:23) yang berbunyi: “Wewenang hakim dan daya pelaksanaan keputusan hakim dan akta otentik dibatasi oleh pengecualian2 hukum internasional.” Berdasarkan ketentuan ini hakim wajib menguji wewenangnya terhadap HI, sehingga dapat diharapkan ada keputusan2 hakim yang mengutarakan pendapatnya tentang ada (tidak)-nya “pengecualian2” demikian, baik yang bersumber di hukum kebiasaan, maupun di hukum PI yang berlaku untuk Indonesia. Sayang sukar untuk diketahui praktek hakim karena masih belum adanya kebijakan pengumuman luas keputusan2 hakim (selain dari pemberitaan2 wartawan disurat kabar).

Komentar Damos Dumoli Agusman:
Dari hasil diskusi dengan para ahli hukum Indonesia, terdapat suatu pertanyaan critical, yaitu ”apakah suatu negara mutlak memilih salah satu jurusan tersebut”. Beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya ketiga jurusan itu bisa dipakai dengan menggunakan parameter kepentingan nasional secara kasus per kasus. Artinya, jika kepentingan nasonal (national interest) menuntut, maka ketiga jurusan itu bisa dipakai secara bergantian. Dalam konteks ini mereka tidak menginginkan HN Indonesia memilih jurusan dan membiarkan ketiganya applicable dalam setiap kasus.

Saya sendiri berpendapat bahwa ”bukan jurusan yang menentukan apa yang HN pilih, tapi apa yang HN pilih yang akan menentukan jurusan”. HN Indonesia tidak perlu terjebak dengan berbagai jurusan tsb namun tetap diperlukan adanya sikap (”legal provisions”) dalam HN Indonesia yang menentukan apa status HI dalam HN (hubungan HI dan HN). Jika HN telah menetapkan status hubungan ini maka warna jurusan akan terlihat dan teridentifikasi.

Kesulitan yang saya hadapi adalah, para ahli Indonesia menolak menggunakan teori monisme-dualisme dalam menjelaskan hubungan HI dan HN namun tanpa sengaja pandangan mereka tentang hubungan ini selalu dilatarbelakangi oleh salah satu aliran ini. They deny the theory but their thinking reflect the theory.

Saya sendiri keberatan jika parameter kepentingan nasional selalu dipakai untuk menentukan pemilihan jurusan karena akan menciptakan ketidakpastian hukum dan prinsip predictability yang menjadi fundasi suatu sistem hukum. Dari pandangan para ahli hukum Indonesia, dapat saya simpulkan bahwa pandangan mereka terhadap hubungan HI dan HN mengarah pada memilih salah satu jurusan teori, dan belum terlihat adanya pandangan yang diluar dari ketiga jurusan tsb.

Pertanyaan saya: dapatkan suatu negara memilih ketiga jurusan tersebut? Jika dapat, apakah dilakukan secara “silent”? (tanpa memerlukan penetapan oleh HN?)

Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatu perundang-undangan?

Komentar Prof. Swan Sik:
Syarat keberlakuan PI untuk lingkungan HN ditetapkan oleh HI (ada tidaknya PI yang relevan untuk RI) dan HN (ketentuan status PI tsb. dalam lingkungan HN). Adanya perundang-undangan yang mengatur hal2 sama dengan apa yang telah diatur pula dalam suatu PI yang berlaku untuk RI, tidak per se merupakan bukti bahwa RI menganut dualisme. Perundang2-an bersangkutan mungkin “mengatur lebih lanjut” (ToR dengan tepat menggunakan istilah “implementasi”). Agar PI mengikat suatu negara (berlaku, dari sudut HI, terhadap suatu negara) diperlukan seperangkat tindakan pejabat hukum HN (ratifikasi) yang dalam hal ini bertindak baik dalam fungsi HN maupun fungsi HI. Apakah tindakan2 tersebut juga berakibat PI bersangkutan berlaku dalam lingkungan HN (lihat catatan diatas) adalah pertanyaan yang perlu dijawab oleh HN, dalam bentuk tegas ataupun sebagai hasil penafsiran (contoh: oleh hakim).
Komentar Damos Dumoli Agusman

Memang tidak terdapat indikasi tegas apa yang dianut oleh Indonesia dalam masalah hubungan HI dan H. Praktek Indonesia justru tidak konsisten dalam masalah ini. Indikasi kearah monisme misalnya tercermin dari:

1. Penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000 tentang PI: ”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.”

2. Klausula yang dimuat dalam suatu UU yang meratifikasi suatu PI selalu memuat kalimat: ”Salinan naskah asli (PI) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 dalam prakteknya dapat diterapkan langsung tanpa ada UU tentang Diplomatik/Konsuler. Kasus Sengketa Tanah Kedubes Saudi Arabia: Fatwa MA Langsung Merujuk Pada Konvensi Wina 1961

4. Judicial review MK tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: merujuk langsung pada “praktek dan kebiasaan internasional secara universal”

5. UU NO 39/1999 tentang HAM: Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.

6. PASAL 22A AB: KEKUASAAN HAKIM DIBATASI OLEH PENGECUALIAN- PENGECUALIAN OLEH HI

Namun dilain pihak, praktek Indonesia juga mengindikasikan dualisme misalnya dalam praktek penerapan UNCLOS 1982. UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS 1982 tidak mencabut UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. UU ini baru dicabut oleh UU No. 6/1996. Dalam hal ini, UU No. 17/1985 tidak dianggap bertentangan dengan UU Perpu 4/1960 karena karakter dualisme. Dalam rangka dualisme, UU No.6/1996 sendiri dapat dianggap sebagai UU yang mentransformasikan UNCLOS 1982.

Pandangan dualisme ini tampaknya juga didukung oleh Kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia yang menolak untuk mengkategorikan UU/Perpres yang meratifikasi utatu PI sebagai produk perundang-undangan. Menurut kelompok ini UU/Perpres ini hanya jubah untuk menyatakan persetujuan DPR/Presiden dan bukan merupakan UU/Perpres dalam pengertian perundang-undangan. Kelompok ini masih menganggap perlu adanya UU/Perpres yang mentransformasikan PI dimaksud. Jurisprudensi Indonesia sendiri belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi untuk pengembangan doktrin hubungan HI dan HN

Ketidakkonsistenan praktek Indonesia bersumber dari ketidakjelasan aliran hukum yang dianut oleh Indonesia perihal hubungan hukum internasional dan nasional. Masalah ini juga melahirkan pertanyaan mendasar tentang status UU/Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian internasoinal, yaitu apakah UU/Perpres ini bersifat organik atau prosedural, atau apakah perjanjian yang telah diratifikasi telah menjadi norma atau masih membutuhkan perangkat hukum implementatif. Kesimpangsiuran ini telah mewarnai perdebatan di kalangan interdep tentang status suatu perjanjian internasional, yaitu tentang perlu tidaknya perangkat hukum nasional untuk mengimplemtasikan perjanjian tersebut. Permasalahan lainnya yang terkait adalah apakah hakim Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang tidak dimuat dalam suatu perundang-undangan?

Komentar Prof. Kwan Sik

Dilihat dari sudut umum, pilihan para fihak (negara atau organisasi internasional) tentang penempatan (G-to-G) loan agreement mereka dilingkungan HI atau HN adalah pilihan politik (kebutuhan dan kepentingan) dan tidak merupakan persoalan teoretis juridis. Pertanyaan yang kita hadapi yalah apakah pilihan demikian masih mungkin bagi RI, dengan adanya UU 24/2000 pasal 10 judul (f). Tercantumnya judul ini boleh jadi oleh karena pembuat UU secara prinsip tidak sudi memperbolehkan perjanjian pinjaman/hibah antar-negara/organisasi internasional diperlakukan sebagai perjanjian yang dikuasai suatu HN. Sebaliknya tercantumnya judul tersebut juga boleh jadi melulu disebabkan kehendak pembuat UU 24/2000 bahwa perjanjian pinjaman/hibah, karena materinya, perlu disetujui UU. Dalam hal ini persetujuan dengan UU itu dapat saja ditafsirkan lepas dari hal penempatan perjanjian tsb. dilingkungan HN atau HI (lihat juga catatan atas ayat 16). Tafsiran terakhir ini lebih2 masuk akal apabila ternyata praktek Indonesia setelah diundangkannya UU 24/2000 masih tetap kadang2 memuat klausula tentang governing law".

Komentar Damos Dumoli Agusman:

Dilihat dari historis pembuatan UU No 24/2000, perumus UU No. 24/2000 pada waktu itu tidak dibekali oleh pemahaman tentang definisi perjanjian internasional, sehingga menganggap semua perjanjian baik perdata maupun public adalah treaty dalam pengertian Konvensi Wina 1969. Sehingga loan agreement pada waktu itu oleh perumus UU No. 24/2000 selalu dianggap sebagai treaty sekalipun governed by HN. Dalam konteks pemahaman yang keliru inilah loan agreements dirumuskan dalam UU No. 24/2000. Akibatnya, maka berdasarkan UU No. 24/2000 tidak lagi diberi ruang bagi adanya loan agreement governed by HN. Dalam praktek, hal ini tidak dapat dipertahankan karena acapkali muncul loan agreements yang governed by HN namun “dipaksakan” untuk dikategorikan sebagai PI berdasarkan UU No. 24/2000. Untuk itu sejak tahun 2006, dalam rangka pembuatan RUU tentang Pinjaman/Hibah telah diupayakan untuk membedakan perjanjian pinjaman menjadi dua jenis, yaitu governed by international law dan governed by national law. Untuk kelompok pertama diterapkan UU No. 24/2000 tetapi untuk kelompok kedua tidak perlu diberlakukan.

Saat ini terjadi perdebatan yang sangat intensif antara Deplu dengan Depkeu/Bapenas tentang status loan agreements dalam RUU tentang Pinjaman/Hibah. Deplu mengusulkan agar dalam RUU ini dibedakan antara kedua jenis perjanjian ini sehingga dapat diketahui rejim UU apa yang akan diberlakukan.

Menurut saya, pilihan hukum tentang loan agreements tetap menjadi persoalan juridis teoritis karena “theoretically” loan agreement bukan merupakan domain dari hukum internasional. ILC sendiri dalam drafting Vieanna Convnetion 1969 menempatkan loan agreements sebagai “subject to a national law”.

Praktek negara (termasuk IBRD) yang cenderung menggunakan HI sebagai governing law adalah karena konstelasi politik internasional dewasa ini beranggapan “governed by international law” lebih secured dari pada “governed by a national law”. Mereka enggan menggunakan pengadilan nasional dan HN untuk penyelesaian conflict. Sehingga mereka menggunakan “treaty” dari pada “contract”. Pertanyaan critical adalah apakah norma HI sudah cukup “adequate” dan available untuk mengatur tentang loan agreements, their terms, misalnya penetapan loan interest.

Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata. Akibatnya, muncul berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang mendindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005.

Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status perjanjian pinjaman, yaitu: perjanjian internasional publik governed by international law seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan, perjanjian perdata internasional biasa yang governed by other than international law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina dan UU tersebut.

Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut Pasal 10 (f) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan UU dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam UU tersendiri. UU Nomor 17 Thn 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam Pasal 23 (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.

Dalam pembahasan RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri.

Namun hal ini menimbulkan pertanyaan akademis tentang apakah persetujuan DPR dalam kontek UU APBN identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan UU (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?. Seperti diketahui bahwa UU tentang APBN bukanlah UU untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Dalam kaitan ini, apakah lembaga ratifikasi seperti yang dikenal dalam hukum tatanegara telah mengalami pergeseran makna?

Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun PP Nomor 2 Tahun 2006 (bahkan dalam RUU Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional biasa. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional jelas mengkategorikan perjanjian pinjaman sebagai perjanjian per definisi UU ini yaitu perjanjian governed by international law. Konsekuensinya, untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman (loan agreements) adakalanya memuat klausula tentang governing law yang merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional.

Selain itu, Pasal 16 PP Nomor 2 Tahun 2006 menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang tentunya membutuhkan ratifikasi sebelum pemberlakuannya.

Komentar Prof Kwan Sik :

Menurut tafsiran yang manapun, dengan (dan selama) adanya UU 24/2000 pemerintah tidak mungkin mengadakan perjanjian pinjaman yang mulai berlaku sejak saat ditandatangani, dan dengan demikian pasal 16 PP 2/2006 bertentangan dengan UU.

Komentar Damos Dumoli Agusman :

Untuk menyelesaikan problem ini, maka DEPLU telah memberikan penafsiran bahwa loan agreement menurut UU 24/2000 adalah “treaty”. Jika loan agreement itu tidak treaty (governing law adalah HN) maka UU 24/2000 tidak apply, artinya PP 2/2006 can apply.

Komentar Prof Kwan Sik :

Cara persetujuan DPR seperti yang disebut di ayat 18 diatas pada hakekatnya merupakan persetujuan terlebih dahulu (in advance) atau “pemberian wewenang” untuk mengadakan pinjaman sampai batas tertentu, walaupun tanpa perincian sumber pinjaman demikian. Apakah ini dapat dianggap telah memenuhi syarat tersebut dipasal 23(1) UU 17/2003 dan pasal 10 UU 24/2000 merupakan soal penafsiran yang dapat dijawab oleh praktek hubungan pemerintah-DPR. Sebaiknya pemerintah mencari ketegasan dengan jalan memancing pernyataan azas dari fihak DPR.

Komentar Damos Dumoli Agusman :

Melihat kompleksitas masalah ini maka sampai saat ini DPR belum memberikan posisi apa pun tentang hal ini. Namun demikian Depkeu menyatakan pasal 16 PP 2/2006 tidak bertentangan dengan UU karena sudah ada persetujuan dari DPR dalam bentuk UU APBN.

Pertanyaan saya adalah apakah persetujuan DPR (in advance) identik dengan ratifikasi? Mengingat karakter ratifikasi adalah “confirming the act that already taken by the executive” maka persetujuan in advance bukan ratifikasi. UU 24/2000 tidak mengatur persetujuan in advance karena tidak dikenal dalam hukum perjanjian internasional.

NOMENCLATURE, SHOULD THEY BE DISTINGUISHED?
Secara tradisional bentuk dan nama perjanjian (nomenclature) tidak relevan untuk dibedakan karena apa pun namanya tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini, content perjanjian merupakan tolok ukur ketimbang namanya. Namun demikian, dunia diplomasi cenderung memberikan bobot yang berbeda untuk setiap nomenclature. Treaty dan Agreement akan dianggap lebih mengikat ketimbang MOU.

Komentar Prof. Swan Sik:

Salah satu hal yang masih tetap tanpa ketegasan yalah konsekwensi bermacam- macam sebutan yang dipakai dalam praktek untuk perjanjian2 antar-negara/organisasi internasional. Yang dimaksudkan yalah apakah penggunaan istilah tertentu berakibat berbeda dalam bidang keberlakuan hukumnya. Masalah ini sayang sekali terlalu luas (dan spekulatif) untuk dijadikan objek catatan singkat.

Bagaimanapun persoalan ini sekali-kali tidak semata-mata soal nomenclatur, melainkan soal usaha politik antar-negara untuk menghindari keterikatan pada kewajiban hukum tanpa mengaku maksud tersebut. Petunjuk utama jika menghadapi persoalan bersangkutan yalah tafsiran segala faktor yang memain peranan dalam terjadinya “perjanjian” bersangkutan. (Masalah tersebut pernah saya bahas sebagai judul pidato inaugurasi saya pada tahun 1990, sayang sekali dalam bahasa Belanda: “De verplichting in het volkenrecht” [Kewajiban dalam hukum internasional] . Pustaka mengenai masalah ini pasti telah banyak berkembang sejak saat itu, namun menurut terkaan saya masalahnya tetap terbuka).

Komentar Damos Dumoli Agusman:

Praktek Indonesia dalam pembuatan PI dengan negara-negara lain sangat inkonsisten. Pandangan para negotiators selalu terjebak pada mind setting bahwa MOU lebih rendah dari agreement dan agreement lebih rendah dari Treaty.

Perkembangan hukum perjanjian internasional juga ditandai dengan adanya perbedaan praktek Negara mengenai nomenclature MoU. Ada praktek Negara, khususnya pada Negara-negara common law system yang berpandangan bahwa MoU adalah non legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti treaties.

Adanya pengertian MoU yang non-legally binding dalam praktek beberapa Negara akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum memberikan klarifikasi yang berarti khususnya tentang implikasinya dalam hukum nasional.

Dinamika dalam masalah nomenclature ini menimbulkan pertanyaan mendasar dalam dunia praktisi tentang apakah diperlukan adanya tingkat hirarki perjanjian internasional berdasarkan namanya.


APAKAH LEMBAGA NEGARA DI LUAR EKSEKUTIF DAPAT MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL?
Praktek internasional termasuk Indonesia juga ditandai dengan maraknya pembuatan perjanjian internasional oleh lembaga di luar eksektif seperti MA, BPK dan DPR. Gejala ini telah memicu pertanyaan yang bersifat akademis yaitu apakah dewasa ini pemerintah suatu negara yang selama ini dikenal sebagai pemangku fungsi representation of states tidak lagi menjadi lembaga tunggal untuk membuat perjanjian internasional?

Komentar Prof. Swan Sik:

Bagi HI yang menentukan yalah apakah ada suatu PI, artinya perjanjian antara subjek2 internasional bersangkutan, biasa negara, dan sekali-kali bukannya alat(-alat) perlengkapannya. Sejauh pimpinan negara mengizinkan lembaga2 kenegaraan lain daripada Eksekutif mengadakan PI dan sejauh fihak lainnya menerimanya, tidak ada halangan terhadap praktek demikian. Yang berbeda dari kebiasaan hanya pejabat pelaksananya. Hasilnya yang dituju tetap suatu PI.

Begitu pula pertanyaan tentang full powers kelihatannya tidak relevan benar (lihat dibawah catatan atas ayat 32/37). Aspek lain yang kelihatannya kadang-kadang menimbulkan pertanyaan dalam kepustakaan yang tidak jelas terjawab, yalah apakah sifat (PI atau tidak) dan apakah akibat hukum (menurut tata hukum mana) dari perjanjian2 yang kadang-kadang diadakan antara lembaga dan alat perlengkapan badan2 hukum tingkat rendahan (contoh: antara kota-kota) dari negara berbeda. Perjanjian ini diberi nama “administrative agreements”.

Komentar Damos Dumoli Agusman:

Secara traditional, eksekutif adalah the legitimate representive of states. Adanya pembagian kekuasaan negara yang semakin ketat di Indonesia menimbulkan implikasi bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga non-eksekutif bukan merupakan urusan eksekutif sehingga perjanjian yang dibuat oleh mereka bukan tanggung jawab eksekutif. Kenapa pertanyaan full power muncul? Karena non-ekeskutif tidak mengakui Menteri Luar Negeri sebagai bagian dari eksekutif mengeluarkan full power bagi mereka. Mereka mengklaim tidak perlu memperoleh kuasa dari pemerintah. Dalam HN, kedudukan Menlu sebagai pejabat khas dalam hukum internasional tidak dikenal.

Seiring dengan maraknya perjanjian internasional oleh lembaga non-eksekutif, maka kemudian muncul pertanyaan tentang lembaga full powers. Dalam hal ini, apakah Menlu lazim mengeluarkan full powers kepada lembagai non-eksekutif

ASEAN’S TREATY MAKING POWER

ASEAN telah memiliki konstitusi barunya (ASEAN Charter) yang akan memberikan landasan hukum bagi aktivitas ASEAN baik dari segi internal maupun eksternal. Treaty making power merupakan salah satu isu dasar yang lazim diatur dalam konstitusi setiap organisasi internasional sebagai bagian dari paragraf tentang external relations. Namun ASEAN Charter tidak secara rinci mengatur mengenai treaty making power of ASEAN, dan hanya mengindikasikan bahwa masalah ini akan diatur lebih lanjut dalam perangkat implementasi.

Komentar Prof. Swan Sik:

[Catatan ini dibuat tanpa penelitian data perjanjian di ASEAN Documents Series] Pembuatan perjanjian dengan fihak ketiga yang dilakukan (ditandatangani) oleh Sekretariat/Sekjen atau “pejabat salah-satu anggauta” dapat (1) tegas atas nama ASEAN, atau (2) tegas atas nama para negara anggauta, atau (3) tanpa ketegasan demikian.

Selanjutnya tindakan tersebut dapat (1) berdasarkan suatu ketentuan khusus dalam naskah “anggaran dasar” ASEAN. , atau (2) berdasarkan pemberian wewenang khusus oleh para negara anggauta secara insidental. Pemberian wewenang demikian tidak selalu ternyata dari naskah yang diumumkan.

Dari sudut HI tiada halangan apapun (ayat 37) terhadap acara demikian; para negara yang berdaulat berkuasa penuh untuk “memberi kuasa” kepada subyek hukum lain. Dalam hal adanya keperluan ratifikasi, DPR tidak “mengesahkan perbuatan hukum oleh subjek hukum internasional lain” melainkan mengesahkan perbuatan yang bersifat perbuatan hukum RI berdasarkan pemberian wewenang (“surat kuasa”) tersebut tadi.

Pengeluaran Surat Kuasa Resmi (Full Powers) adalah untuk kepentingan fihak lainnya (counterpart) dalam perjanjian agar fihak ini memperoleh kepastian bahwa si wakil RI bersangkutan memang “disuruh” RI dan perbuatannya memang di”tanggung” RI. Dalam konstruksi seperti digambarkan diatas fihak lain itu percaya, menerima dan mengaku (recognition!!) wewenang Sekretariat ASEAN, sehingga soal full powers tidak timbul.

Komentar Damos Dumoli Agusman :

Treaty making power of ASEAN telah menjadi persoalan dalam praktek ASEAN dalam membuat perjanjian. Saya telah membuat catatan khusus tentang issue ini yang akan saya sampaikan secara terpisah.

Permasalahannya adalah, European Union yang sudah demikian terintegrasi tidak pernah suatu negara anggota memberi mandate kepada Presiden Komisi untuk bertindak atas nama negara tersebut mengikatkan diri dengan pihak lain. Dalam EU dikenal adanya Mix Agreements, dimana negara anggota akan turut membubuhkan tanda tangan jika bagian dari perjanjian dengan EU tersebut adalah wewenang negara anggota. Praktek ASEAN dalam hal ini tidak didasarkan pada prinsip hukum perjanjian internasional bahwa “consent to be bound” harus dinyatakan oleh negara itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh ASEAN adalah hanya untuk kebutuhan praktis.

Pertanyaan yang muncul jika Sekjen ASEAN menandatangani PI atas nama negara anggota adalah: Apakah full powers oleh negara itu kepada Sekretaris Jenderal ASEAN adalah full powers yang dimaksud oleh Vienna Convention 1969? dan Jika negara itu ingin terminate atau amandement perjanjian itu, dapatkan dilakukan tanpa melalui consent dari Sekretaris Jenderal ASEAN.

Praktek ASEAN dalam hubungan eksternalnya sudah sangat intensif dan dapat dibedakan atas dua perspektif yaitu Hubungan antara seluruh anggota ASEAN dengan pihak ketiga dimana status negara anggota adalah sebagai subjek hukum internasional yang berdiri sendiri. Istilah ASEAN dalam hal ini hanya digunakan untuk merujuk setiap Negara anggota sebagai collective members dan Hubungan antara ASEAN sebagai subjek hukum internasional (biasanya ASEAN Secretariat) dengan pihak ketiga, yang terlepas dari Negara anggotanya. Kedudukan ASEAN dalam kaitan ini adalah sebagai organisasi internasional seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional oleh Organisasi Internasional.

ASEAN sebagai collective members telah banyak membuat perjanjian dengan negara/organisasi internasional lain. Sekalipun judul perjanjian itu menggunakan isitilah ASEAN namun pada hakekatnya perjanjian dimaksud adalah perjanjian antara negara-negara anggota secara individu dengan organisasi/negara ketiga (perjanjian multilateral). Hal ini tercermin dari participation clause-nya serta pihak yang menandatangani perjanjian dimaksud yang dilakukan oleh masing-masing negara anggota ASEAN secara individual seperti pada the Cooperation Agreement between the Member Countries of ASEAN and the EEC, 7 March 1980. Dalam perjanjian ini yang membuat perjanjian dengan EEC adalah setiap dan semua negara anggota dan bukan ASEAN sebagai a distinct subject separated from its members. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa materi yang diperjanjikan bukan merupakan ruang lingkup atau wewenang ASEAN sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri namun terletak pada negara-negara anggotanya. Sedangkan EEC, bertindak sebagai organisasi internasional as a distinct subject separated from its members

Namun demikian, dalam kaitannya dengan ASEAN sebagai subjek hukum internasional, ASEAN juga telah membuat berbagai perjanjian dalam kedudukannya sebagai a distinct subject separated from its members yang biasanya menggunakan istilah ASEAN Secretariat.

Dilain pihak, praktek ASEAN juga menunjukkan adanya beberapa perjanjian yang tampaknya agak menyimpang dari prinsip hukum umum yang berlaku, yaitu Perjanjian dengan Pihak Ketiga yang mengikat seluruh Negara anggota ASEAN tetapi ditandatangani oleh oleh Sekjen ASEAN/Pejabat salah satu anggota untuk dan atas nama Negara-negara anggota.

Penandatanganan oleh Sekjen ASEAN atas nama negara anggota terhadap perjanjian menimbulkan beberapa pertanyaan akademis tentang kekuatan mengikat perjanjian tersebut terhadap negara anggota. Dalam kaitan ini, dapatkah subjek hukum internasional lain melakukan tindakan express to be bound by a treaty atas nama subjek hukum internasional lainnya? Jika perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi, dapatkah DPR mengesahkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum internasional lain? Jika perjanjian itu membutuhkan full power apakah lazim Menteri Luar Negeri memberikan full power kepada subjek asing? Jika negara anggota ingin menarik diri dari perjanjian semacam ini, dapatkah dilakukan sendiri tanpa melalui Sekjen ASEAN?
-------------------------------
[1] Pacta sunt servanda merupakan adagium dari Bahasa Latin yang pada umumnya ditafisrkan sebagai “perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya”. Guna lebih jelas lihat Black Law’s Dictionary.

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger