Tuesday, July 21, 2009

DISKUSI BAPAK I WAYAN PARTHIANA DENGAN BAPAK DAMOS DUMOLI AGUSMAN MENGENAI MASALAH-MASALAH POKOK/KAJIAN AKADEMIS (TEORITIS DAN PRAKTIS) SEKITAR PEMBUA

Komentar ini ditulis dalam rangka menanggapi Paper Bapak Parthiana yang disampaikan dalam Expert Group Meeting tentang Perjanjian Internasional yang diselenggarakan di LPHI FH UI Depok, 9 Januari 2007 yang tidak sempat saya bahas dalam pertemuan tersebut.

Secara umum Paper tersebut sangat bermanfaat bagi kami di Deplu yang sehari-hari berkecimpung dalam praktek pembuatan perjanjian internasional. Terlebih lagi berdasarkan pengamatan kami bahwa Bapak Parthiana adalah salah satu dari sedikit akademisi yang sangat loyal dan devoted terhadap pengembangan cabang hukum perjanjian internasional. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa paper ini menyentuh banyak aspek-aspek yang sangat tidak asing bagi kami di Deplu dan bahkan sangat membantu dalam meyakini bahwa masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi.

Komentar saya terhadap Paper ini lebih ditekankan kepada persepsi praktek terhadap isssue yang diangkat oleh Bapak Parthiana. Dalam kaitan ini, saya lebih menekankan pada apa kata praktek Indonesia terhadap permasalahan yang diangkat. Seperti difahami, dalam hukum internasional, praktek suatu negara merupakan fundasi utama dalam menganalisa suatu norma hukum internasional oleh sebab itu saya akan melengkapi analisa Bapak Parthiana dalam perspektif praktek Indonesia sehingga tidak terjadi kesenjangan antara apa yang dibayangkan oleh para akademisi dengan praktek negara.

Secara umum, pertanyaan-pertanyaan yang diangkat oleh Bapak Parthiana dalam papernya adalah sebagian besar tentang ”status perjanjian internasional dalam hukum nasional”, masalah sentral yang saya perkenalkan dalam Expert Group Meeting tersebut. Sekalipun Bapak Parthiana tidak menghendaki pendekatan monisme-dualisme dalam menganalisa masalah ini, namun tanpa disadari pandangan yang dianut mengarah pada satu isme, yang dalam rapat interdep pada Pemerintah RI merupakan salah satu kubu yang cukup kuat.

Motivasi saya untuk membuat komentar ini adalah guna mendorong adanya diskusi dan diskursus yang intensif tentang masalah ini guna mengklarifikasi permasalahan yang kita hadapi dalam dunia praktek. Menurut saya, masalah ini sudah berlarut-larut dalam praktek dan cenderung mengarah pada inkonsistensi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu sudah saatnya masalah ini dikembalikan pada tataran akademisi guna mendapatkan kejelasan tentang anatomi persoalan ini yang menurut hemat saya berakar dari perdebatan tentang teori hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Dalam kaitan ini, saya menyambut gembira adanya kesimpulan Expert Group Meeting tersebut tentang perlunya diambil suatu sikap dalam bentuk legal provisions tentang hubungan hukum internasional dan nasional di Indonesia.

Mengenai Pasal 11 UUD 1945

 Komentar I Wayan Parthiana


Dengan jatuhnya Orde Baru pada tangal 16 Mei 1998 dan kemudian lahirnya Orde Reformasi yang salah satu agendanya adalah mengubah (mengamendemen) UUD 1945 antara lain karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada eksekutif yang telah melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter untuk diubah dengan sistem yang lebih memberikan jaminan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif. Salah satu Pasalnya yang juga tidak luput dari perubahannya adalah Pasal 11 yang mengalami dua kali perubahan, yang pertama pada Perubahan Ketiga (2001) dan yang kedua kalinya pada Perubahan Keempat (2002). Sedangkan pada Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 tidak mengalami perubahan atau tetap seperti naskah Pasal 11 yang lama.

A. Pasal 11 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002)

Dalam UUD 1945 Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000), ternyata Pasal 11 tidak mengalami perubahan, jadi rumusannya tetap seperti semula. Pasal 11 baru diubah dalam Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002). Dalam Perubahan Ketiga (2001), naskah Pasal 11 lama tampaknya dihapuskan sedangkan ayat 2 dan 3nya adalah merupakan hasil Perubahan Ketiga(2001). Jelasnya, rumusan Pasal 11 ayat 2 dan 3 tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 11 ayat 2:
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 11 ayat 3:
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Akan tetapi dalam Perubahan Keempat (2002), Pasal 11 naskah yang lama ternyata dimunculkan lagi dan dijadikan sebagai Pasal 11 ayat 1. Dengan demikian, rumusan akhir yang selengkapnya dari Pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 yang terdiri dari Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) adalah sebagai berikut:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Ada beberapa catatan dan komentar yang dapat dikemukakan berkenaan dengan substansi dari Pasal 11 ayat 2 dan 3 Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) ini sebagai berikut:

Pertama, terhadap ayat 1 yang merupakan naskah lama (semula), tidak tepat untuk disatukan pengaturan tentang menyatakan perang dan membuat perdamaian pada satu pihak dan membuat perjanjian internasional pada lain pihak di dalam satu pasal ataupun ayat, sebab keduanya sangat berbeda. Perang dan perdamaian lebih erat dengan masalah pertahanan dan keamanan negara yang pada dasarnya harus dicegah dan dihindari. Oleh karena itu sebaiknya dipindahkan dan disatukan pengaturannya di dalam Bab tentang Pertahanan dan Keamanan Negara (Bab XII). Atau dihapuskan sama sekali dari UUD dan cukup diatur dalam bentuk undang-undang sebab agak janggal jika sebuah negara seperti Indonesia yang cinta damai namun undang-undang dasarnya secara tegas mengatur tentang perang. Sangat berbeda dengan perjanjian internasional yang merupakan suatu instrumen hukum internasional yang sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional dan oleh karena itu sebaiknya secara khusus diatur di dalam Bab tersendiri atau digabungkan di dalam Bab tentang Hubungan Luar Negeri, dengan rumusan yang lebih sesuai dengan realitas mengenai perjanjian internasional itu sendiri pada masa kini maupun yang akan datang.

Kedua, terhadap ayat 2 sebagai naskah baru yang substansinya lebih tampak sebagai kriteria tentang suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kriteria ini sebenarnya tidak perlu secara eksplisit dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar tetapi lebih tepat diturunkan dan dicantumkan di dalam materi undang-undang pelaksanaannya seperti ditegaskan pada ayat 3.

Ketiga, munculnya ketentuan ayat 2 yang mengharuskan Presiden meminta persetujuan Dewan dalam pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang materi atau substansinya sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tampaknya disebabkan karena perancang naskah ayat 2 ini menafsirkan ayat 1 (Pasal 11 lama) tersebut, yakni, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain, sebagai bersifat fakultatif. Hal ini tampaknya juga dihubungkan dengan fakta yang berlaku sebelumnya (pada masa Orde Lama dan Orde Baru) dimana Presiden bebas menentukan apakah suatu perjanjian internasional perlu dimintakan ataukah tidak dimintakan persetujuan kepada Dewan sementara Dewan sendiri juga tidak pernah mempermasalahkannya.

Mengenai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari Pasal 11 UUD 1945 tersebut, -setelah selama kurang lebih empat puluh tahun berdasarkan pada Surat Presiden Nomor: 2826/HK/1960 Tanggal 22 Agustus 1960- diwujudkan dalam bentuk undang-undang, yakni, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000. Akan tetapi Undang-Undang ini masih berdasarkan pada Pasal 11 UUD 1945 yang lama (semula) sebagaimana tercantum di dalam Konseiderans Mengingat butir 1. Tampaknya hal ini disebabkan karena ketika diundangkannya Undang-Undang ini, Pasal 11 yang berlaku adalah Pasal 11 lama/semula, sebab dalam Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000) seperti dikemukakan di atas, Pasal 11 belum diubah (masih tetap seperti naskah Pasal 11 UUD 1945 yang lama/semula.

Namun dengan diubahnya Pasal 11 yang kini menjadi Pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002) seperti telah dikutip di atas, timbul pertanyaan, apakah substansi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini masih sesuai ataukah harus diubah lagi supaya benar-benar merupakan penjabaran dari isi dan jiwa Pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002) yang kini berlaku sebagai dasar hukum dari perjanjian internasional? Jawaban atas pertanyaan ini tentulah tidak sederhana, dan untuk itu perlu dilakukan pengkajian secara lebih mendalam.


 Komentar Damos Dumoli Agusman

Penggabungan pernyataan perang dan membuat perjanjian dalam satu wadah (ayat) dalam ps 11 ayat 1 UUD 45 pada hakekatnya tidak perlu diperdebatkan apalagi jika dikaitkan dengan karakternya yang kontras. Pasal 11 ini adalah kewenangan Kepala Negara dalam kaitannya dengan hubungan dan politik luar negeri yang secara tradisional pada waktu itu adalah perang, damai dan membuat perjanjian. Seperti dimaklumi hukum internasional tradisional adalah hukum perang dan damai dan membuat perjanjian sehingga pencantuman ketiga external relations concepts ini dalam satu nafas dapat dipahami dan sangat logis. Jika ditilik dari segi kontradiktifnya maka lebih tidak mungkin perang dan damai dalam satu ayat ketimbang dengan perjanjian internasional.

Pasal 11 ayat 1 UUD 45 sudah dijabarkan dalam UU No. 24/2000 dan untuk itu UU ini harus dilihat, dan mungkin dapat dikonstruksikan sebagai interpretasi atas pasal 11 UUD 45. Sehingga pertanyaan atas butir I.1. b Makalah Bapak Parthiana sudah terjawab. Dalam hal ini, ”persetujuan DPR” adalah identik dengan ”pengesahan” menurut definisi UU No. 24/2000.

Apakah DPR dapat menolak memberikan persetujuan (pengesahan)? Tentu saja. Mekansime penolakan ini sama dengan mekanisme penolakan terhadap RUU yang outputnya adalah ”RUU yang mengesahkan PI dimaksud tidak disetujui dan dengan demikian tidak diundangkan”. Pertanyaan Bapak Parthiana yang menarik adalah bagaimana jika Pemerintah tetap ngotot untuk terikat pada PI dimaksud? Saya lebih konkrit mempertajam pertanyaan ini dengan ”dapatkah dilakukan melalui Perpu?”. Jawabannya akan sangat tergantung pada perdebatan tentang status UU yang meratifikasi PI, apakah produk legislasi atau hanya ”jubah” yang menyatakan persetujuan DPR. Dari sisi the law of treaties, pengesahan melalui Perpu mengandung resiko hukum, yaitu jika Perpu ditolak diundangkan maka Indonesia harus menarik diri dari Perjanjian yang sempat disahkah.

Pengertian tentang ”perjanjian internasional lainnya” pada pasal 11 ayat 2 sudah dijelaskan oleh Pemerintah RI kepada MK pada kasus judicial review UU Migas, yaitu sebagai perjanjian yang dibuat dengan subjek HI lainnya dan hal ini didukung oleh data pada historis perumusan pasal ini. Jurisprudensi MK mengakui pengertian semacam ini.

Pertanyaan Pak Parthiana tentang apakah ps 11 ayat 2 dibaca sebagai suatu kesatuan atau tersendiri (dalam legal drafting kita sering menyebutnya ”or” atau ”and” atau ”or/and”) cukup menarik. Dari segi praktis kami menilai ayat ini sebagai suatu kesatuan karena historis tentang pasal ini adalah ”trauma Letter of Intent RI-IMF 1997. Kesulitan kami adalah apakah kriteria ini hanya terhadap ”perjanjian internasional lainnya”? Apakah terhadap perjanjian internasional versi ayat 1 cukup menggunakan kriteria pasal 10 UU No. 24/2000? Dalam hal ini kekuatiran Pak Parthiana betul bahwa ini dapat menimbulkan multi interpretasi.

 Komentar I Wayan Parthiana

Saya tetap pada pendirian, bahwa Pasal 11 ayat 1 yang substansinya menggabungkan antara perang dan perdamaian pada satu pihak dengan perjanjian pada pihak lain, adalah tidak tepat sama sekali, alasanya:
a. Landasan filosofi dari keduanya sangat berbeda;perang adalah perbuatan menghancurkan pihak lawan dengan hasil kalah dan menang dengan segala konsekuensinya, sedangkan perjanjian internasional adalah mewujudkan perdamaian. Keduanya sangat kontradiktif/bertolak-belakang;
b. Landasan faktualnya juga sangat berbeda; yang pertama harus dicegah atau ditiadakan atau minimal dikurangi terjadinya, sedangkan yang kedua justru sangat dibutuhkan dan karena itu semakin banyak ada perjanjian internasional maka sangat positif bagi masyarakat internasional;
c. Hukum yang mengaturnya juga berbeda, yang pertama diatur oleh hukum perang atau sekarang: hukum humaniter, sedangkan yang kedua diatur oleh hukum perjanjian internasional;
d. Indonesia sebagai negara cinta damai, walaupun demi kemerdekaan tidak segan untuk berperang, menjadi sangat aneh kalau UUDnya secara eksplisit mencantumkan tentang perang. Oleh karena itu saya lebih ektsrim lagi berpendapat, bahwa tidak perlu ada pencantuman tentang perang di dalam UUD Indonesia. Tentang perang ini, sudah cukup diatur dalam undang-undang saja sebagai pentransformasian dari Konvensi Jenewa 1949 yang sejak 1958 sudah diratifikasi oleh Indonesia tetapi hingga kini belum ada undang-undang pentransformasiannya.

Memang benar Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 ini sudah dijabarkan di dalam UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tetapi penjabaran ini hanya terbatas mengenai (pembuatan) perjanjian internasional saja. Sedangkan tentang perang dan perdamaian (keduanya harus dibaca sebagai satu kesatuan, bukan terpisah), hingga kini belum ada undang-undang tentang penjabarannya.

Dalam hal terjadi ketegangan antara Presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif) berkenaan dengan perjanjian internasional (sudah tentu perjanjian yang pengikatan diri pada perjanjian internasional itu dan selanjutnya tentang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional membutuhkan persetujuan DPR/dengan undang-undang), adalah sangat besar risikonya bagi Presiden (eksekutif) jika Presiden memaksakan kehendaknya untuk meneruskan mengikatkan diri pada perjanjian itu dengan melangkahi DPR, ataupun dengan memberlakukan (mengesahkan dan mengundangkan) perjanjian internasional itu dengan PERPU, sebab sudah dapat dipastikan bahwa DPR pada waktunya nanti akan menolaknya, sehingga tindakan Presiden itu menjadi mubazir, kecuali jika belakangan DPR berubah pendirian. Bahkan DPR bisa menggunakan haknya untuk meminta interpelasi kepada Presiden.

Sebagai suatu perjanjian internasional, pada aras internasional dia sudah mendapat nama dan bentuk, apapun nama dan bentuknya itu, seperti: treaty, convention, agreement, arrangement, charter, statute, covenant, pact, act, dan lain-lain. Sayangnya, nama-nama ini tidak selamanya menggambarkan bobot isi atau substansinya. Dengan kata lain, meminjam istilah Pak Damos, perjanjian itu sudah mendapat “jubah”. Namun karena dia akan masuk ke dalam dan menjadi bagian dari hukum nasional negara-negara yang sudah menyatakan persetujuan terikat (meratifikasi) dan salah satu negara itu misalnya, Indonesia, maka perjanjian itu diberi jubah lagi yang tersedia di dalam hukum nasional (Indonesia), seperti undang-undang dan keppres, kecuali perjanjian internasional dalam kategori self-executing treaty di atas.

Setelah perjanjian internasional itu masuk ke dalam dan menjadi bagian dari hukum (positif) nasional Indonesia, secara yuridis formal, dia sama seperti undang-undang ataupun keppres yang lain, yakni, sama-sama mengikat sebagai hukum positif nasional. Akan tetapi, karena dia hukum yang berasal dari luar yang masuk ke dalam wilayah dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, tentu saja dia berinteraksi dan menimbulkan dampak/pengaruh terhadap hukum nasional pada umumnya, peraturan perundang-undangan nasional pada Indonesia pada khususnya.

Apa saja pengaruhnya itu? Memang tidak mudah untuk menjawab secara pasti atas pertanyaan ini, sebab masalahnya menjadi cukup kompleks. Kalaupun seya jawab, akan terlalu panjang jadinya. Bahkan bisa menjadi satu makalah tersendiri. Saya saranka, supaya Deplu bekerjasama dengan Dephukham atau dengan instansi lain yang terkait, memprakarsai penyelenggaraan seminar tentang: Status Hukum Perjanjian Internasional dan Pengimplementasiannya dalam Hukum Nasional Indonesia.

Menurut pendapat saya, substansi yang beraneka macam dari perjanjian-perjanjian internasional yang selanjutnya diberi nama oleh negara-negara yang membuatnya tanpa standar yang pasti itulah yang menjadi sumber masalah yang utama dalam menjawab pertanyaan tentang bagaimana pengimplementasian perjanjian internasional di dalam wilayah negara (termasuk: Indonesia). Jadi substansi masing-masing perjanjian itulah yang harus dikaji secara mendalam terlebih dahulu, sehingga menjadi jelas.

Sedangkan doktrinnya, dapat disusun atau dirumuskan sesuai dengan situasi riil dan yang paling sesuai dengan kenyataan di lapangan. Patut disadari, bahwa doktrin yang rumusannya abstrak dan umum, tidak berasal dari langit dan diturunkan ke bumi untuk menjawab masalah-masalah di bumi, melainkan dirumuskan dari kenyataan-kenyataan di bumi yang kemudia diabstraksikan ke dalam rumusan secara sistematis, abstrak dan umum dan selanjutnya itulah disebut doktrin.

Mengenai Dimensi Nasional dan Internasional Perjanjian Internasional

 Komentar I Wayan Parthiana

Selain daripada masalah-masalah yuridis-teoritis seperti dipaparkan di atas ternyata masih ada masalah-masalah yuridis-praktis yang timbul sebagai kelanjutan dari pembuatan dan pengikatan diri negara Indonesia pada suatu perjanjian internasional serta pemberlakuannya ke dalam dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalah masalah-masalah dalam ruang lingkup hukum nasional Indonesia. Secara kronologis, masalah-masalah tersebut adalah:
Pertama, Indonesia sebelum mengikatkan diri atau menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian internasional sebagaimana lazimnya, akan mengkaji secara mendalam lebih dahulu substansi dari perjanjian internasional itu. Pengkajian ini penting, sebab masuknya atau berlakunya suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasional (Indonesia) dapat menimbulkan pelbagai dampak terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang terkait. Persoalan-persoalan yang terkait dalam hal ini adalah, sejauhmanakah substansi perjanjian internasional itu sesuai ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun hukum atau peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang yang bersangkutan, sejauhmanakah peraturan perundang-undangan nasional harus diubah dan disesuaikan dengan perjanjian internasional itu, adakah ketentuan perjanjian internasional itu bertentangan atau tidak sesuai dengan kepentingan nasional atau dengan peraturan perundang-undangan yang substansinya sangat fundamental dan karena itu perlu diajukan pensyaratan (reservation), bagaiman penjabaran substansi perjanjian internasional itu ke dalam hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, dan lain-lain.
Kedua, mengenai pembedaan perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia antara yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000). Yang petama pemberlakuannya dengan undang-undang sedangkan yang kedua dengan keputusan presiden. Meskipun kriteria pembedaannya berdasarkan Undang-Undang ini sudah lebih rinci dibandingkan dengan Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960, namun dalam prakteknya masih ada kemungkinan timbulnya perbedaan pendapat antara Presiden dan Dewan. Oleh karena dalam prakteknya Presidenlah yang menentukan perjanjian mana yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan persetujuan Dewan, maka timbulnya kemungkinan penyalahgunaan akan lebih besar pada Presiden. Jelasnya, perjanjian yang seharusnya membutuhkan persetujuan Dewan dan karena itu pemberlakuannya harus dengan undang-undang tetapi oleh Presiden tidak dimintakan persetujuan Dewan dan karenna itu oleh Presiden cukup diberlakukan dengan keputusan presiden. Ataupun mungkin saja bisa terjadi hal yang sebaliknya.
Ketiga, kesalahan dalam penggolongan dan pemberlakuan seperti pada Kedua di atas, misalnya, suatu perjanjian internasional yang berdasarkan substansinya seharusnya diberlakukan dengan undang-undang (dengan persetujuan Dewan) tetapi diberlakukan dengan keputusan presiden, dapat menimbulkan persoalan apabila keputusan presiden tentang pemberlakuan perjanjian itu dijadikan sebagai konsiderans dari undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari perjanjian itu. Adalah janggal jika sebuah keputusan presiden yang kedudukannya dua tingkat lebih rendah daripada undang-undang dijadikan sebagai konsiderans undang-undang. Sebagai contoh nyata, misalnya, Convention on the Rights of the Child 1989 (Konvensi tentang Hak Anak 1989) yang telah diratifikasi oleh Indonesia kemudian diberlakukan dengan keputusan presiden, yakni, Keputusan Presiden R. I. Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child pada tanggal 25 Agustus 1990. Padahal substansinya adalah tentang hak asasi manusia yang seharusnya diberlakukan dengan undang-undang. Akan tetapi ketika Pemerintah Indonesia bermaksud untuk membuat undang-undang tentang perlindungan anak, ternyata Konvensi ini yang sudah masuk menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden tersebut akan dijadikan salah satu konsideransnya. Namun karena bentuknya keputusan presiden, tentulah tidak tepat sebuah keputusan presiden dijadikan konsiderans suatu undang-undang. Akibatnya, ketika Undang-Undang tentang Perlindungan Anak diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ini tidak dicantumkan di dalam Konsiderans Undang-Undang tersebut padahal undang-undang ini justru merupakan penjabaran atau pentransformasian dari materi dari Konvensi tentang Hak Anak tersebut.


 Komentar Damos Dumoli Agusman

Permasalahan tentang kemungkinan ada kesalahan dalam pengesahan (yang seharusnya dengan UU tapi dengan Perpres) memang sangat menarik. Jika terdapat perbedaan penafsiran antara DPR dan Pemerintah tentang masalah ini maka tentu harus ditetapkan dulu melalui mekanisme sengketa antar lembaga negara. Persoalan eksternal akan muncul jika memang Perpres itu dinyatakan batal demi hukum yang memaksa Pemerintah untuk menarik diri dari keterikatannya pada PI yang sudah disahkan.


 Komentar I Wayan Parthiana

Keempat, adanya kemungkinan pihak-pihak yang menggugat keabsahan dari suatu undang-undang tentang pemberlakuan perjanjian internasional kehadapan Mahkamah Konstitusi ataupun menggugat keabsahan dari suatu keputusan presiden tentang pemberlakuan perjanjian internasional melalui hak uji materiil di hadapan badan pengadilan. Jika Mahkamah Konstitusi membenarkan gugatan itu ataupun Pengadilan mengabulkan permohon hak uji materiil itu, misalnya, dengan menyatakan undang-undang ataupun keputusan presiden itu tidak sah dan harus dibatalkan, tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak eksternal, yakni, berkenaan dengan hak yang sudah diterima dan kewajiban yang sudah dilakukan oleh Indonesia dalam hubungannya dengan negara peserta lainnya dalam perjanjian internasional tersebut.
Kelima, berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang setelah pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia yang substansinya masih perlu ditransformasikan menjadi undang-undang nasional. Misalnya perjanjian-perjanjian internasional mengenai kejahatan-kejahatan internasional yang secara langsung berdampak terhadap hukum pidana nasional baik materiil maupun formal. Oleh karena sudah cukup banyak konvensi mengenai kejahatan internasional yang sudah diratifikasi (meskipun masih lebih banyak yang tidak atau belum diratifikasi) oleh Indonesia, hal ini membutuhkan politik hukum nasional yang tersendiri dalam menghadapinya lebih-lebih dalam rangka pengkodifikasian hukum pidana Indonesia ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang rancangan naskahnya sudah diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hal yang sama juga berlaku dalam rangka penyempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keenam, perjanjian-perjanjian internasional dalam golongan ketiga, yakni, perjanjian internasional yang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia dilakukan secara langsung (tidak dengan undang-undang ataupun dengan keputusan presiden) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Dengan kata lain, perjanjian-perjanjian internasional dalam golongan ini masuknya dan berlakunya ke dalam hukum nasional Indonesia sama sekali tanpa suatu bentuk tertentu, seperti undang-undang, keputusan presiden, ataupun bentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Perjanjian-perjanjian semacam ini yang pada umumnya substansinya mengenai masalah-masalah yang bersifat teknis-operasional, secara langsung mengikat dan kemudian juga secara langsung dapat dilaksanakan setelah ditandangani oleh wakil-wakil masing-masing pihak yang melakukan perundingan, atau setelah pertukaran dokumen atau nota diplomatik antara para pihak. Pada satu pihak, hal ini memang bisa dipahami, sebab Presiden atau eksekutif membutuhkan keleluasaan dan kecepatan dalam bertindak terutama dalam menghadapi masalah-masalah internasional yang semakin kompleks dan perubahan serta perkembagnannya yang sangat cepat. Oleh karena berlakunya tanpa bentuk, tentu menimbulkan masalah dalam pengawasannya oleh pihak legislatif ataupun oleh publik. Dapatkah perjanjian seperti ini dimohonkan hak uji materiil ke hadapan Pengadilan? Atau bagaimanakah sikap hakim/pengadilan jika pada suatu waktu, perjanjian seperti ini dipersoalkan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa oleh hakim/pengadilan?
Ketujuh, kalau apa yang dipaparkan di atas berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang pemberlakuannya cukup didelegasikan oleh rakyat kepada pemerintah atau Pemerintah/Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat, ada lagi perjanjian internasional dalam golongan yang lain lagi, yakni perjanjian-perjanjian internasional yang sedemikian besar dan pentingnya sebab benar-benar secara langsung menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Pengikatan diri pada perjanjan semacam ini, tidak cukup didelegasikan kepada kedua lembaga negara itu melainkan harus secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia melalui suatu referendum. Dalam hal ini, hukum nasional negara-negara anggota Uni Eropah dapat dijadikan sebagai bahan bandingan. Misalnya, ketika Uni Eropah bermaksud menetapkan “Euro” sebagai mata uang tunggal Uni Eropah atau ketika hendak menetapkan Konstitusi Uni Eropah sebagai hukum/undang-undang dasar dari Uni Eropah, dilakukan melalui referendum dari masing-masing negara anggotanya. Mengacu pada Uni Eropah tersebut, dan dalam rangka demokratisasi rakyat Indonesia serta juga dalam rangka perkembangan ASEAN pada masa yang akan datang, kiranya dalam hal-hal yang sangat atau maha penting seperti ini, perlu dilibatkan seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja akan timbul masalah pemberlakuannya ke dalam hukum Indonesia, apakah juga dengan undang-undang ataukah dengan bentuk hukum yang lebih tinggi seperti Ketetapan MPR? Masalah ini perlu dikaji secara lebih mendalam.
Kedelapan, diberikannya hak atau kewenangan kepada “daerah” berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah untuk melakukan pinjaman luar negeri (Pasal 81) dan melakukan hubungan luar negeri (Pasal 88). Di samping masalah substansial, masalah lainnya yang ditimbulkan adalah bentuk peraturan perundang-undangan tentang pemberlakuannya ke dalam hukum nasional Indonesia, apakah dalam bentuk peraturan daerah, keputusan kepala daerah (Gubernur, Bupati ataukah Walikota) sehingga juga tunduk pada hak uji materiil. Ataukah diberlakukan secara langsung tanpa diberi bentuk sama sekali seperti halnya dengan perjanjian internasional pada Keenam di atas. Masing-masing dengan masalah ikutannya seperti telah diuraikan di atas.
Kesembilan, mengenai ruang lingkup teritorial berlakunya suatu perjanjian internasional, yakni, disamping ada perjanjian internasional yang diberlakukan di serluruh wilayah Indonesia, juga ada yang hanya diberlakukan di sebagian wilayah saja. Misalnya, di satu propinsi saja, atau di beberapa propinsi di satu pulau atau bagian pulau saja di wilayah Indonesia ini. Terhadap perjanjian internasional semacam ini, terutama dalam era otonomi daerah dan juga dengan adanya lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kiranya perlu dipertimbangkan keterlibatannya sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Bahkan jika substansinya berkenaan dengan masalah yang sangat berpotensi membahayakan daerah, mungkin juga perlu secara khusus keterlibatan rakyat daerah itu melalui referendum. Sebagai contoh fiktif, perjanjian bilateral antara Indonesia dengan salah satu negara sahabat seperti India tentang pembangunan dan pengembangan tenaga nuklir yang akan didirikan di suatu tempat di Sumatera Barat.
Kesepuluh, perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan juga sudah diberlakukan ke dalam dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia yang karena sudah tidak sesuai lagi, pada suatu waktu diganti dengan perjanjian yang baru. Jika Indonesia meratifikasi dan memberlakukan perjanjian yang baru tersebut ke dalam hukum nasionalnya baik dengan undang-undang ataupun keputusan presiden, sebaiknya ada diktum tentang tidak berlakunya lagi (pencabutan) undang-undang atau keputusan presiden yang lama itu. Demikian juga halnya jika perjanjian yang bersangkutan pada tataran internasional sudah tidak diberlakukan lagi tetapi tidak diganti dengan yang baru, sehingga sudah tidak perlu diberlakukan atau diterapkan di dalam wilayah Indonesia, maka undang-undang ataupun keputusan presiden yang memberlakukannya itu juga perlu dinyatakan tidak berlaku lagi dengan suatu undang-undang ataupun keputusan presiden.
Kesebelas, diantara perjanjian inernasional yang sudah diratifikasi dan diberlakukan dengan undang-undang, kemudian pada tataran internasional ada ketentuan-ketentuannya yang membutuhkan peraturan pelaksanaan yang juga berupa perjanjian, -biasanya dengan nama protokol- yang derajat substansinya setingkat lebih rendah dibandingkan dengan substansi perjanjian itu. Jika Indonesia meratifikasi dan memberlakukannya ke dalam hukum nasional Indonesia, kiranya perlu dipikirkan bentuk hukumnya, misalnya, peraturan pemerintah. Jika ide ini dapat diterima, maka akan ada tiga bentuk peraturan perundang-undangan tentang pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia, yaitu: undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden. Tentu juga harus disertai dengan pengubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000.
Keduabelas,satu lagi persoalan yang tampaknya terlupakan, yakni, bagaimana keberadaan dari perjanjian-perjanjian internasional peninggalan jaman kolonial Belanda dengan negara-negara (kolonial) lain? Sejauh manakah perjanjian ini masih berlaku melalui Pasal-Pasal Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar yang pernah dan sedang berlaku sekarang ini? Selama ini politik hukum Indonesia berkenaan perjanjian-perjanjian peninggalan Belanda tampaknya sifatnya sangat kasuistis atau sama sekali tidak ada politik hukum yang komprehensif. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 juga tidak tampak ada pengaturan tentang perjanjian-perjanjian peninggalan jaman kolonial. Hal ini memang bisa dimengerti, sebab semakin lama semakin jauh jarak waktu jaman kolonial itu dengan jaman modern sekarang maupun yang akan datang, sehingga perjanjian-perjanjian jaman kolonial itu satu per satu akan terkubur dan banyak yang sudah tidak sesuai lagi dan bahkan sudah diganti dengan yang baru, seperti perjanjian-perjanjian tentang garis batas wilayah Republik Indonesia peninggalan Belanda dengan Inggris di pulau Kalimantan.
Dari sudut pandang suatu negara, termasuk Indonesia, setiap perjanjian internasional sudah pasti mengandung dimensi nasional dan internasional yang keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.



II.A Dimensi domestik suatu Perjanjian Internasional

 Komentar I Wayan Parthiana

Beberapa dimensi domestik (nasional) dari suatu perjanjian internasional, adalah:

a. Lembaga pemerintah/lembaga negara yang manakah yang berwenang untuk mengambil inisiatif untuk membuat atau mengadakan perjanjian internasional dengan negara lain ataupun dengan subyek-subyek hukum internasional lain selain daripada negara?;

b. Bagaimana proses penunjukan dan pengangkatan serta pemberian surat kuasa (full powers) bagi wakil atau utusan Pemerintah Indonesia dalam melakukan perundingan ataupun menghadiri konperensi internasional yang akan merumuskan naskah perjanjian internasional?

c. Target ataupun sasaran yang hendak dicapai oleh Indonesia ataupun masalah-masalah apa saja yang akan diperjuangkan oleh Indonesia dalam perundingan atau konperensi internasional yang akan merumuskan naskah perjanjian internasional tersebut?

d. Untuk perjanjian-perjanjian internasional yang pada aras internasional,sebelumnya sudah ada atau sudah berlaku sebagai hukum internasional positif, lembaga negara/pemerintah yang manakah yang berwenang menyatakan persetujuan terikat pada (meratifikasi) suatu perjanjian internasional?

e. Bagaimanakah proses pemberlakuan (pengesahan dan pengundangan) perjanjian-perjanjian internasional dimana Indonesia sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat atau sudah meratifikasinya, ke dalam wilayah Indonesia sehingga perjanjian intcrnasional itu masuk ke dalam dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia?

f. Setelah perjanjian internasional seperti pada butir c tersebut mulai berlaku dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, tentu saja akan menimbulkan implikasi domestik, baik besar ataupun kecil, baik terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan nasional yang terkait ataupun terhadap kehidupan non-hukum (seperti ekonomi, politik, sipil dan sosial budaya);

g. Oleh karena itu, sebelum Indonesia menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian internasional dan memberlakukannya ke dalam dan menjadi bagian dari hukum nasional, sebaiknya dilakukan pengkajian secara mendalam atas substansi perjanjian itu maupun dampak yang ditimbulkannya pada aras domestik.

h. Jika setelah dilakukan pengkajian, ternyata ada ketentuan perjanjian itu yang bertentangan dengan hukum ataupun kepentingan nasional Indonesia, sedangkan pada lain pihak Indonesia memandang perlu untuk menjadi pihak/peserta pada perjanjian internasional itu, maka Indonesia dapat mengajukan persyaratan (reservation) atas ketentuan perjanjian tersebut. Namun persyaratan (reservation) itu hanya diperkenankan, apabila, tidak dilarang secara tegas oleh perjanjian itu, atau jika tidak ada larangan, pensyaratan itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu, atau jika pensyaratan itu tidak berkaitan dengan kaidah hukum vang tergolong jus cogens.

i. Ruang lingkup teritorial dari berlakunya suatu perjanjian internasional di dalam wilayah NKRI. Ada perjanjian internasional yang berlakunya di seluruh wilayah RI, ada pula yang hanya bisa diberlakukan di sebagian saja, atau di bagian wilayah tertentu saja.

j. Persoalan yang timbul setelah suatu perjanjian internasional yang sudah diberlakukan ke dalam wilayah dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, adalah tentang pengimplementasiannya di dalam wilayah Indonesia.

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan, antara lain:

1. Apakah perjanjian internasional itu dapat diimplementasikan secara langsung di dalam wilayah Indonesia, sebagaimana peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yang lainnya?

(Catatan: Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah mudah, sebab nama, bentuk, macam, demikian pula substansi dari perjanjian internasional itu bermacam-macam, dari hal yang paling umum dan globa hingga yang paling teknis-operasional.)

2. Bagaimana jika dalam pengimplementasiannya itu ternyata baru diketemukan, bahwa ada ketentuan perjanjian internasional tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, baik UUD, UU, atauptun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah? Mana yang harus diutamakan penerapannya dan mana yang harus dikesampingkan? Yang manapun diutamakan, masing-masing ada konsekuensi hukumnya.

3. Apakah terhadap suatu perjanjian internasional yang sudah diberlakukan ke dalam wilayah dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia dapat dimohonkan hak uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung terhadap perjanjian internasional yang diberlakukun dengan keputusan presiden /peraturan presiden ataupun hak uji konstitusional ke hadapan Mahkamah Konstitusi terhadap perjanjian internasional yang diberlakukan dengan undang-undang?

4. Jika dapat dan ternyata diputuskan bahwa keppres ataupun undang-undang tentang pemberlakuan perjanjian internasional itu dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang ataupun Undang-¬undang Dasar, tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak internal (domestik) maupun eksternal (internasional).

k. Lembaga atau organ pemerintah/negara yang manakah yang berkewajiban untuk menyimpan atau mendokumentasikan semua dokumen dan risalah-risalah yang berkenaan dengan perjanjian internasional tersebut? Misalnya, dokumen full powers, dokumen persetujuan untuk terikat (peratifikasian), dokumen pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia, dokumen penolakan yang diajukan oleh negara lain terhadap pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia, dokumen penolakan yang diajukan oleh Indonesia terhadap persyaratan yang diajukan oleh negara lain, dokumen penarikan diri Indonesia dari suatu perjanjian internasional, dan lain-lain, dokumen yang berupa naskah perjanjian internasional itu sendiri, dan lain-lain.


 Komentar Damos Dumoli Agusman

Tentang dimensi domestik dari suatu PI pada makalah Bapak Parthiana dapat saya kemukakan sbb:

a. Tentang lembaga yang mana yang berwenang untuk mengambil inisiatif tidak menimbulkan masalah praktis karena kejalasan tupoksi masing-masing lembaga negara menjadi faktor utama.

b. Pemberian full power juga tidak mengalamai masalah praktis karena selalu dibahas dalam mekansime rapat interdep. Menlu sendiri sebagai pejabat yang mengeluarkan full power memiliki pengaturan khusus tentang ini.

c. Target dan sasaran yang hendak dicapai dalam pembuatan PI selalu dibahas dalam rapat interdep dan telah menjadi acuan baku mekanisme pemerintah dalam menyikapi PI

d. Pada hakekatnya yang berwenang menyatakan terikat pada PI (termasuk perjanjian yang sudah menjadi hukum positif) adalah Pemerintah dengan mekanisme pengesahan dari DPR jika masuk kriteria pasa 10 UU No. 24/2000. Pemerintah dalam kaitan ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan. Namun dalam internal pemerintah, lembaga yang berwenang menentukan adalah yang memiliki tupoksi yang kemudian disetujui serta disampaikan oleh Menlu kepada Presiden. Jika terjadi perdebatan internal pemerintah maka diputuskan oleh Presiden. Dalam kaitan ini keputusan pemerintah diambil sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan pemerintah mulai dari tingkat teknis ke tingkat kebijakan dan politik. Pertanyaan yang justru menarik pada butir ini adalah lembaga mana yang berwenang memonitor dan mengendorse bahwa suatu hukum kebiasaan internasional positif mengikat RI?

e. Pertanyaan tentang proses pemberlakukan PI dalam hukum nasional adalah pertanyaan sentral yang jawabannya belum berkembang di dunia akademisi apa lagi pada dunia praktis. Untuk itulah kami meminta agar hal ini menjadi bahasan akademis dengan berbagai metodologinya serta teori yang mendukungnya. Sayang sekali para akademisi justru cenderung ingin melihat masalah teoritis ini secara praktis sehingga membiarkan pertanyaan ini tetap tebuka dan tidak terjawab. Dunia praktisi tidak pernah mendapat jawaban dari dunia akademisi tentang masalah ini.

f. Masalah ini hanya dapat terjawab jika butir e sudah terjawab.

g. Dalam pengesahan PI, sudah menjadi standar baku bahwa sebelum dilakukan pengesahan harus dilakukan pengkajian mendalam atas substansi maupun dampak yang ditimbulkan terhadap aras domestik. Sistematika naskah akademis/penjelasan RUU/Rperpres tentang pengesahan suatu perjanjian telah menggambarkan kajian ini. Hal ini tidak pernah menjadi permasalahan praktis. Akar masalah justru kembali ada pertanyaan butir e, jika sudah disahkan apa statusnya pada aras domestik? Pertanyaan yang tampaknya justru tidak menarik perhatian para akademisi.

h. Pertanyaan butir h tentang reservasi terhadap PI yang bertentangan dengan hukum nasional, berdasarkan pelajaran dari dunia praktis, justru ingin saya pertajam dengan ”dapatkah kita membuat perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional”? Jika jawabannya tidak dapat maka dapat saja menggunakan reservasi. Tentang reservasi itu sendiri tidak ada masalah dari segi praktis karena aturannya sudah jelas. Yang tidak jelas justru pada pertanyaan diatas tadi.

i. Pertanyaan pada butir i tentang territorial application of a treaty justru semakin menarik setelah lahirnya beberapa UU otonomi khusus yang memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memberikan persetujuan kepada setiap PI yang menyangkut kepentingan Daerah tersebut. Saya justru mengkuatirkan bahwa akan muncul apa yang disebut ”double ratification” terhada PI semacam ini, yaitu oleh pusat dan daerah.

j. ”Apakah PI itu dapat diimplementasikan secara langsung di dalam wilayah Indonesia sebagaimana peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yang lainnya”? Pertanyaan ini justru pertanyaan sentral tentang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional yang belum terbangun sistemnya dalam sistem hukum Indonesia. Pandangan Bapak Parthiana bahwa hal ini sulit karena nama, bentuk, macam substansi PI bermacam-macam tidaklah begitu relevan, karena untuk Indonesia akar masalah bukan pada keragaman PI itu tetapi justru pada ketiadaan doktrin dan legislasi Indonesia yang mengatur tentang hubungan hukum ini. Beberapa pandangan Bapak Parthiana dalam makalahnya justru mengindikasikan bahwa ”direct application of a treaty” tidak mungkin dilakukan karena Bapak Parthiana tanpa sengaja menganut aliran bahwa untuk mengaplikasikan suatu PI yang sudah diratifikasi masih dibutuhkan perundang-undangan nasional yang dalam teori dikenal dengan dualisme (misalnya terindikasi dari pertanyaan pada butir III. 9 makalah).

”Bagaimana jika ternyata PI bertentangan dengan hukum nasional?” pertanyaan ini juga inti dari masalah hubungan hukum.

k. Pertanyaan tentang organ pemerintah/negara yang me-manage ”treaty-related documents” dalam praktek sudah cukup jelas dan tidak menimbulkan masalah. Pasal 17 UU No. 24/2000 telah menugaskan Menlu untuk melaksanakan fungsi ini dan sudah dilakukan dengan baik oleh Ditjen HPI dengan menggunakan mekanisme yang sudah established.

Beberapa masalah dimensi eksternal PI yang disinggung oleh Bapak Parthiana pada umumnya tidak merupakan issue (butir a, c, d, e, f, g) dalam aras praktis karena telah diatur secara konkrit dalam Perjanjian itu sendiri dan tunduk pada aturan Konvensi Wina 1969/1986 serta hukum kebiasaan internasional. Tentang lembaga atau organ pemerintah/negara yang berwenang menyatakan persetujuan dalam praktek diplomatik dilakukan oleh unit negara yang melakukan fungsi hubungan luar negeri yang oleh hukum internasional dikenal dengan head of states, head of goverments and Menlu. Penyampaikan pernyataan persetujuan juga lazimnya dilakukan melalui suatu diplomatic channel. Praktek ini sudah berlaku umum dan tidak menimbulkan permasalahan. Untuk Indonesia, pernyataan persetujuan terhadap PI dikeluarkan oleh Menlu melalui instrument of ratification/accession dengan format yang sudah baku.

***

II.B Dimensi eksternal/internasional dari suatu Perjanjian Internasional

 Komentar I Wayan Parthiana

Di bawah ini dapat dipaparkan beberapa dimensi eksternal atau internasional dari suatu perjanjian internasional, antara lain:

a. Tentang surat kuasa (full powers) yang harus dibawa oleh wakil atau utusan pemerintah Indonesia untuk melakukan perundingan (negotiation) dengan wakil atau utusan negara lain ataupun untuk menghadiri konperensi internasional yang akan merumuskan naskah perjanjian internasional. Bagaimana jika keabsahan surat kuasa (full powers) tersebut dipersoalkan oleh pihak mitra berunding ataupun oleh Komisi Surat Kuasa (Full Powers Commission) dalam suatu konperensi internasional?

b. Tentang persetujuan untuk terikat pada (meratifikasi) suatu perjanjian internasional, lembaga atau organ pemerintah/negara yang manakah yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat (meratifkasi) suatu perjanjian internasional? Apakah Presiden, DPR, Presiden bersarna-sama dengan DPR, ataukah juga perlu menyertakan lembaga pemerintah/negara yang lainnya, seperti Mahkamah Agung, dan lain-lain?

(Catatan: hal ini sehenarnya merupakan dimensi domestik (nasional) Indonesia, namun sekaligus juga merupakan dimensi eksternal (internasional) karena dokumen persetujuan untuk terlibat (peratifikasian) itu harus disampaikan kepada negara lain (untuk perjanjian bilateral ataupun multilateral terbatas, atau negara ataupun organisasi internasional (untuk perjanjian -perjanjian internasional regional ataupun unilateral) yang ditugaskan untuk menyimpan naskah yang otentik dari perjanjian internasional tersebut serta semua dokumen lain yang berhubungan dengan perjanjian itu.)

c. Tentang hak-hak yang diterima atau dinikmati dan kewajiban yang dipikul oleh Indonesia sebagai konsekuensi dari posisinya sebagai pihak atau peserta pada suatu perjanjian internasional,

d. Perjanjian-perjanjian internasional yang memberikan hak dan atau membebani kewajiban kepada Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia tidak sebagai pihak/peserta pada perjanjian internasional tersebut atau dengan kata lain, posisi Indonesia sebagai pihak-ketiga.

e. Suatu perjanjian internasional lama yang diganti dengan perjanjian internasional baru dari Indonesia menjadi pihak/peserta pada perjanjian internasional lama. Jika Indonesia kemudian menjadi pihak peserta pada perjanjian internasional yang baru. Hal ini dapat (tidak selalu) menimbulkan masalah internasional, yakni, antara Indonesia dengan negara-negara peserta yang masih tetap menjadi pihak/peserta pada perjanjian yang lama pada satu pihak dan antara Indonesia dengan negara-¬negara yang menjadi peserta pada perjanjian internasional yang baru pada lain pihak. Hal ini pula menimbulkan masalah domestik, yakni, keberlakuan antara undang-undang/keppres yang memberlakukan perjanjian yang lama dengan undang-undang/keppres yang memberlakukan perjanjian internasional yang baru yang kedua-duanya mengenai masalah pokok yang sama. Apakah cukup dengan berpedoman pada asas hukum lex posteriari derogat legi priori?

f. Perjanjian-perjanjian internasional yang beberapa ketentuannya dijabarkan secara lebih rinci dalam suatu perjanjian (seperti beberapa ketentuan suatu Konvensi dijabarkan dalam suatu Protokol). Jika Indonesia memutuskan untuk menyatakan persetujuan terikat pada Konvensinya apakah sekaligus akan menyatakan persetujuan terikat pada Protokolnya? Atau jika sebelumnya Indonesia sudah terikat pada Konvensinya, kemudian beberapa ketentuannya dijabarkan dalam suatu Protokol, apakah Indonsia akan menyatakatan persetujuan terikat pada Protokolnya?

g. Indonesia menjadi anggota dari suatu organisasi internasional dengan cara menyatakan persetujuan terikat pada (meratitikasi) suatu perjanjian internasional yang merupakan piagam/statuta dari organisasi internasional vang bersangkutan.
h. Indonesia menyatakan persetujuan terikat (meratifrkasi) suatu perjanjian internasional yang substansinya secara langsung menyangkut hajat hidup dan menimbulkan pengaruh yang sangat fundamental terhadap kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Misalnya, suatu perjanjian internasional mengenai pemberlakuan satu mata uang tunggal ASEAN, suatu perjanjian internasional tentang penggabungan negara Indonesia dengan negara-¬negara lain dengan nama yang baru sama sekali. Perjanjian semacam ini tidah cukup diserahkan kepada Presiden dan DPR untuk memutuskannya, tetapi harus melalui referendum dari seluruh rakyat Indonesia.

 Komentar Damos Dumoli Agusman

Beberapa masalah dimensi eksternal PI yang disinggung oleh Bapak Parthiana pada umumnya tidak merupakan issue (butir a, c, d, e, f, g) dalam aras praktis karena telah diatur secara konkrit dalam Perjanjian itu sendiri dan tunduk pada aturan Konvensi Wina 1969/1986 serta hukum kebiasaan internasional. Tentang lembaga atau organ pemerintah/negara yang berwenang menyatakan persetujuan dalam praktek diplomatik dilakukan oleh unit negara yang melakukan fungsi hubungan luar negeri yang oleh hukum internasional dikenal dengan head of states, head of goverments and Menlu. Penyampaikan pernyataan persetujuan juga lazimnya dilakukan melalui suatu diplomatic channel. Praktek ini sudah berlaku umum dan tidak menimbulkan permasalahan. Untuk Indonesia, pernyataan persetujuan terhadap PI dikeluarkan oleh Menlu melalui instrument of ratification/accession dengan format yang sudah baku.

Mengenai UU No. 24/2000
Komentar I Wayan Parthiana

Secara umum dapat dikatakan, bahwa Undang-Undang ini sudah lebih lengkap jika dibandingkan dengan Surat Presiden tersebut di atas. Demikian juga Undang-Undang ini secara relatif sudah menjabarkan lebih rinci tentang permasalahan yang berkenaan dengan perjanjian internasional. Dengan demikian, sebahagian permasalahan yang belum terjawab di dalam Surat Presiden itu, diatas kertas sudah diatasi oleh Undang-Undang ini. Sedangkan dari sistematikanya tampak, bahwa Undang-Undang ini sudah mengikuti tahap-tahap dalam pembuatan, pemberlakuan, pelaksanaan, dan pengakhiran berlakunya perjanjian internasional sebagaimana diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan Kovensi Wina 1986.

Akan tetapi, Undang-Undang ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaannya, juga ada perbedaannya. Sebaiknya, Undang-Undang ini memang mencakup keduanya, tetapi dibagi menjadi tiga bagian, yakni, bagian pertama mengenai hal-hal umum atau yang sama dari kedua Konvensi, bagian kedua tentang perjanjian antara Indonesia dan negara sahabat (Konvensi Wina 1969) dan bagian ketiga tentang perjanjian antara Indonesia dan organisasi internasional (Konvensi Wina 1986).

Memang sistematikanya sudah tampak adanya keselarasan, misalnya, mengenai urut-urutan dalam proses pembuatan, pengikatan diri, pemberlakuan, dan pengakhirannya, namun sistematika ini tidak sepenuhnya mengikuti urut-urutan dalam kedua Konvensi walaupun tidak harus sama persis. Masih ada materi-materi penting yang patut diberi tempat dalam satu Bab tersendiri, tetapi dalam Undang-Undang ini ternyata tidak ada sama sekali, atau kalaupun ada, hanya merupakan salah satu pasal atau ayat saja dari Babnya. Misalnya tentang ruang lingkup teritorial berlakunya suatu perjanjian internasional yang meskipun di dalam Konvensi hanya merupakan salah satu pasal saja (pasal 29), tetapi jika dihubungkan dengan Indonesia, masalah ruang lingkup teritorial ini membutuhkan pengaturan lebih rinci. Hal ini mengingat adanya kemungkinan suatu perjanjian yang sudah diratifikasi dan diberlakukan ke dalam hukum nasional, ada yang berlakunya di seluruh wilayah negara, di wilayah satu propinsi saja, atau di wilayah dari dua atau lebih propinsi dengan segala konsekuensi internalnya. Demikian juga tentang perjanjian yang memberikan hak ataupun membebani kewajiban kepada pihak ketiga baik negara ataupun organisasi internasional, tentang pengamendemenan dan pemodifikasian suatu perjanjian internasional, dan tentang penundaan berlakunya.



 Komentar Damos Dumoli Agusman

Bapak Parthiana menyarankan agar bagian tentang pembuatan perjanjian dengan negara dipisahkan dengan bagian tentang pembuatan perjanjian dengan organisasi internasional. Dari segi praktis pembagian ini tidak terlalu dibutuhkan karena mekanisme dan prosedur yang dilakukan oleh Indonesia dalam membuat perjanjian dengan kedua entitas itu tetap saja sama. Selain itu, justru para akademisi mempermasalahkan kenapa harus ada Konvensi Wina 1969 yang terpisah dengan Konvensi 1986 mengingat materinya sama saja. Seperti dimaklumi bahwa pemisahan kedua Konvensi tersebut adalah karena pertimbangan politis dan bukan juridis karena pada tahun 1969 negara belum rela dipersamakan kedudukannya dengan organsiasi internasional.







 Komentar I Wayan Parthiana

Tentang pembedaan antara perjanjian internasional antara negara dengan negara di satu pihak dengan organisasi internasional dengan negara atau antara sesama organisasi internasional pada lain pihak, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
a. Keduanya memiliki karakter yang berbeda meskipun ada pula kesamaannya;
b. Hukum Perjanjian Internasional sendiri menempatkannya dalam dua konvensi yang berbeda (Konvensi Jenewa 1969 dan 1986);
c. Kesamaannya itu tampaknya pada proses perumusan hingga pemberlakuannya (mekanisme dan prosedurnya), yang memang mendominasi hukum perjanjian internasional itu sendiri.
d. Yang saya maksudkan adalah di dalam (satu) UU tentang Perjanjian Internasional ada Bagian tentang Perjanjian Internasional Antar Negara dan Bagian Perjanjian Internasional antar organisasi internasional dengan negara atau antara sesama organisasi internasional, jadi bukan dalam undang-undang yang berbeda.
Oleh karena (mekanisme dan prosedurnya) sebagian besar sama, maka di dalam Bagian tentang PI antara OI dan negara atau antara sesama OI dan negara atau antara sesama OI, cukup satu pasal yang berbunyi:
“Pasal... sampai dengan... dari Bagian...secara mutatis mutandis berlaku bagi perjanjian internasional antara organisasi internasional dengan negara atau antara sesama OI.”


III.A Tentang istilah “Pengesahan”.

 Komentar I Wayan Parthiana

Tidak jelasnya perbedaan antara “Pengesahan” dalam pengertian “Pengikatan diri atau Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian Internasional” pada satu pihak dengan “Pengesahan” dalam pengertian “Pemberlakuan (pengesahan dan pengundangan) suatu Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional Indonesia” pada lain pihak. Dalam Pasal 1 butir b (Bab I: Ketentuan Umum) istilah “Pengesahan” diartikan sebagai berikut:
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval).

Dari definisi ini tampak jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan pengertian pengesahan dalam Pasal 1 butir b ini adalah sama dengan pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional (consent to be bound by a treaty) sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 - 17 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 11-17 Konvensi Wina 1986. Tegasnya, “pengesahan” dalam Pasal 1 butir b di atas ini sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional, yaitu, sebagai tindakan ke luar (eksternal) dari negara Indonesia yang berupa pernyataan mengenai kesediaan Indonesia untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Menurut Pasal 1 butir b tersebut, pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat ini dapat dilakukan dengan cara ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan atau akseptasi (acceptation), dan persetujuan (approval). Pernyataan pengikatan diri ini dituangkan dalam suatu dokumen (tertulis) yang disebut piagam pengikatan diri atau lazim juga disebut dengan piagam ratifikasi atau menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, piagam pengesahan. Bukan dalam bentuk undang-undang ataupun keputusan presiden.

Persoalan akan bertambah lagi, jika Pasal 1 butir b ini dihubungkan dengan Pasal 3 yang menyatakan sebagai berikut:
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut:
a. penandatanganan;
b. pengesahan (cetak tebal, IWP);
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Jika dicermati, tampak adanya duplikasi antara Pasal 1 butir b dan Pasal 3 ini. Masing-masing Pasal itu sebenarnya menegaskan masalah yang sama, yakni, tentang pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional dengan melalui cara-cara yang ditentukan dalam masing-masing pasal itu. Dalam Pasal 1 butir b istilah pengesahan diartikan sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional sedangkan dalam Pasal 3 butir b istilah pengesahan diartikan hanya sebagai salah satu cara mengikatkan diri pada perjanjian internasional.
Masalahnya akan lebih bertambah lagi, jika istilah “pengesahan” dalam Pasal 1 butir b dan Pasal 3 butir b ini dihubungkan lagi dengan Pasal 9 ayat 1 dan 2 yang juga mengandung istilah “pengesahan” dalam rumusannya sebagai berikut:
(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Istilah “pengesahan” dalam Pasal 9 ayat 1 ini jelas dimaksudkan sebagai tindakan keluar (eksternal) yaitu dalam rangka pengikatan diri atau menyatakan persetujuan untuk terikat dari pihak Indonesia pada perjanjian internasional. Lebih-lebih jika Pasal 9 ayat 1 ini dihubungkan dengan Pasal 1 butir b seperti telah dikutip di atas.

Sedangkan istilah “pengesahan” pada Pasal 9 ayat 2, justru menimbulkan pertanyaan, yakni, apakah yang dimaksudkan adalah juga pengesahan sebagai tindakan keluar untuk mengikatkan diri pada perjanjian seperti pada Pasal 9 ayat 1? Jika jawabannya ya, apakah memang benar (baik secara teori maupun praktek) pengikatan diri pada perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden? Selanjutnya jika Pasal 9 ayat 1 dan 2 dihubungkan dengan Pasal 14, maka persoalan baru akan muncul lagi. Namun untuk lebih jelasnya, baiklah dikutip Pasal 14 yang rumusannya adalah:

“Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Republik Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi internasional.

Pasal ini secara jelas dan tegas menyatakan bahwa piagam pengesahanlah yang menjadi sarana atau sebagai instrumen hukum bagi Republik Indonesia untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional, bukan undang-undang ataupun keputusan presiden.

Akan tetapi kalau istilah “pengesahan” dalam Pasal 9 ayat 2 itu dimaksudkan sebagai tindakan ke dalam (internal), yakni, undang-undang ataupun keputusan presiden sebagai sarana untuk memberlakukan perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya dimana sebelumnya Indonesia sudah mengikatkan diri atau sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat, secara substansial memang dapat dibenarkan. Akan tetapi, tempatnya bukan bersandingan dengan Pasal 9 ayat 1, melainkan di tempat atau pasal tersendiri.



 Komentar Damos Dumoli Agusman

Saya sependapat dengan Bapak Parthiana bahwa UU No. 24/2000 tidak membedakan aspek eksternal dari pengesahan dengan aspek internalnya, atau lebih tepatnya adalah UU ini tidak terlalu menyentuh aspek internal dari pengesahan. Hal ini disebabkan karena hukum nasional kita pada waktu itu dan bahkan sampai saat ini belum menyediakan jawaban tentang apa status PI dalam hukum nasional, sehingga pada waktu pembahasan UU ini, implikasi pengesahan PI terhadap hukum nasional dibiarkan terbuka dan diinterpretasikan oleh hukum nasional sendiri. Namun pemahaman dan maksud perumus UU ini pada waktu itu adalah jelas bahwa jika PI sudah disahkan dengan perundang-undangan maka diasumsikan sudah menjadi bagian dari hukum nasional. Hal ini tercermin dari penjelasan Pasal 13 UU No. 24/2000: ”Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia”. Sesuai dengan maksud perumus perundang-undangan maka UU/Perpres yang mengesahkan suatu PI adalah produk hukum yang oleh kelompok monisme mungkin dianggap ”UU/Perpres yang menginkorporasi” PI tsb kedalam hukum nasional, sedangkan oleh kelompok dualisme dapat diartikan sebagai UU/Perpres yang men-transformasikan. Namun kelompok dualisme lainnya, yang tidak mengakui UU/Perpres pengesahan ini sebagai ”yang mentransformasikan” tetap menuntut adanya legislasi (UU/Perpres material/substantif) lain untuk mentransformasikan PI tsb.

Saran Bapak Parthiana untuk membedakan kedua aspek pengesahan ini dalam UU tidak mungkin terealisasi sebelum ditegaskan hubungan kedua hukum ini. Misalnya, dapatkah HTN atau Bapak Parthiana menyetujui adanya legal provisions yang menegaskan bahwa ”setiap perjanjian yang disahkan telah berlaku dan menjadi bagian dari hukum nasional”, atau bersediakah kelompok monisme di Indonesia (termasuk Deplu) menerima jika rumusan menjadi ”setiap perjanjian yang disahkan hanya dapat berlaku dalam hukum nasional setelah diundangkan dalam perundang-undangan nasional. Jadi permasalahannya bukan pada ketidakinginan memisahkan kedua aspek ini melainkan lebih kepada ketiadaan jawaban dalam HTN Indonesia tentang pendekatan mana yang harus ditempuh.


 Komentar I Wayan Parthiana

Tentang pertanyaan Pak Damos tentang legal provisions yang berupa penegasan status perjanjian internasional di dalam hukum nasional Indonesia: “setiap perjanjian internasional yang telah disahkan berlaku dan menjadi bagian dari hukum nasional” atau “setiap perjanjian yang telah disahkan hanya dapat berlaku dalam hukum nasional setelah diundangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional”, saya berpendapat ketentuan semacam ini tidak perlu.
Alasan saya adalah sebagai berikut:
a. Rumusan ini amat menyederhanakan masalah yang sebenarnya justru sangat kompleks, mengingat perjanjian internasional itu amat luas dan demikian banyak jumlah maupun jenisnya (bentuk maupun isinya);
b. Suatu perjanjian internasional yang telah diberlakukan (disahkan dan diundangkan) ke dalam hukum nasional (Indonesia), sudah dengan sendirinya menjadi bagian dari hukum nasional (Indonesia);
c. Selanjutnya bagaimana status hukum dan pengimplementasiannya di dalam hukum nasional (Indonesia), hal ini merupakan masalah lain lagi dan membutuhkan pengkajian secara lebih mendalam. Karena itu perlu diseminarkan secara khusus/tersendiri seperti yang saya sarankan di atas.
d. Jika rumusan ini diterima, ada kemungkinan kita akan terjebak dalam masalah praktis, sebab rumusan atau ketentuan tersebut jika diimplementasikan ternyata tidak sesuai dengan realitas praktis di lapangan, mengingat perjanjian internasional itu demikian luasnya seperti saya tegaskan pada butir a di atas ini.


III.B Tentang kriteria perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang dan dengan keputusan presiden

 Komentar I Wayan Parthiana

Dengan asumsi sementara, bahwa istilah “pengesahan” dalam Pasal 9 ayat 2 adalah pengesahan dalam pengertian pemberlakuannya (pengesahan dan pengundangannya) ke dalam hukum nasional dan dengan demikian perjanjian itu akan berlaku dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, ternyata Undang-Undang ini membedakan perjanjian internasional ke dalam dua golongan yakni,
- perjanjian internasional yang diberlakukan dengan undang-undang (Pasal 10) dan
- perjanjian internasional yang diberlakukan dengan keputusan presiden (Pasal 11 ayat 1 dan 2).

Sebenarnya masih ada lagi perjanjian internasional dalam golongan yang ketiga, yakni, perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat dan diberlakukan secara langsung di dalam wilayah Indonesia tanpa bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan apapun. Penegasan tentang adanya perjanjian dalam golongan ini dapat dijumpai dalam Pasal 15 ayat 1 yang menyatakan:

Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 lebih lanjut merinci kriteria suatu perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang, jadi membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, yakni, perjanjian-perjanjian internasional yang substansi atau materinya berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sedangkan Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-Undang tersebut menegaskan tentang perjanjian internasional yang pengesahannya dengan keputusan presiden dan dengan demikian tidak membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yang selengkapnya menyatakan:
(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.
(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.


Kriteria dalam Pasal 10 ini walaupun sudah lebih rinci ketimbang Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 (tiga berbanding enam kriteria) namun masalah-masalah yang ditimbulkan oleh Surat Presiden itu akan masih tetap muncul dalam penerapan Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini. Masalah yang paling utama yang akan muncul adalah terjadinya perbedaan pendapat antara Pemerintah/Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penerapan kriteria itu. Tegasnya, suatu perjanjian internasional yang berdasarkan materinya, menurut Pemerintah/Presiden dalam pengesahannya cukup dengan keputusan presiden (tidak membutuhkan persetujuan Dewan), tetapi Dewan justru berpendapat sebaliknya. Untuk menghindarinya, mungkin dibutuhkan adanya peraturan pemerintah sebagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari Pasal 10 dan 11 Undang-Undang ini yang substansinya merinci keenam kriteria itu.
Apalagi jika Pasal 10 dan 11 Undang-Undang ini dihubungkan dengan Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002) seperti telah dikutip di atas yang secara khusus juga menegaskan kriteria dari suatu perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Persoalan yang timbul antara lain, sejauhmana keduanya itu menunjukkan kesesuaian atau saling melengkapi, atau yang lebih rendah melaksanakan yang lebih tinggi, atau sebaliknya saling bertabrakan? Adanya dua peraturan perundang-undangan (yang lebih tinggi dan lebih rendah) yang ketentuannya berduplikasi seperti ini, tampaknya disebabkan karena Pihak Perancang Perubahan Ketiga (2001) atas Pasal 11 UUD 1945 itu ketika merundingkan dan menyepakati naskah ayat 2 dan 3 tersebut tidak mengkaji substansi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 10 ayat 1 dan 2nya.


 Komentar Damos Dumoli Agusman

Permasalahan tentang kemungkinan ada kesalahan dalam pengesahan (yang seharusnya dengan UU tapi dengan Perpres) memang sangat menarik. Jika terdapat perbedaan penafsiran antara DPR dan Pemerintah tentang masalah ini maka tentu harus ditetapkan dulu melalui mekanisme sengketa antar lembaga negara. Persoalan eksternal akan muncul jika memang Perpres itu dinyatakan batal demi hukum yang memaksa Pemerintah untuk menarik diri dari keterikatannya pada PI yang sudah disahkan.

***


 Komentar I Wayan Parthiana

Jika Presiden bermaksud menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian intemasional dan selanjutnya akan memberlakukannya ke dalam wilayah dan perjanjian itu selanjutnya akan menjadi bagian dari hukum nasional disebabkam oleh keadaan yang memaksa, jadi tidak sempat meminta persetujuan sebelumnya kepada DPR, Presiden setelah menyatakan persetujuan terikat (setelah meratifikasi) selanjutnya dapat memberlakukannya ke dalam wilayah negara dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional indonesia, dengan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-¬undang (Perpu), jadi bukan dengan keppres. Selanjutnya harus diikuti prosedur dan mekanisme pemberlakuan/pencabutan Perpu menjadi undang¬-undang. Sudah tentu hal ini dapat menimbulkan dampak domestik maupun intemasional.



 Komentar Damos Dumoli Agusman

Sangat menarik perhatian saya adalah pada butir ini, dimana Bapak Parthiana berpendapat:

Jika Presiden bermaksud menyatakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian internasional dan selanjutnya akan memberlakukannya ke dalam wilayah dan perjanjian itu selanjutnya akan menjadi bagian dari hukum nasional disebabkan oleh keadaan yang memaksa, jadi tidak sempat meminta persetujuan sebelumnya kepada DPR (tidak sempat disahkan melalui UU?), Presiden setelah menyatakan persetujuan terikat (setelah diratifikasi dengan perpres?) selanjutnya dapat memberlakukannya ke dalam wilayah negara dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia, dengan suatu Perpu, jadi bukan dengan Keppres. Selanjutnya harus diikuti prosedur dan mekanisme pemberlakuan/pencabutan Perpu menjadi UU. Sudah tentu hal ini dapat menimbulkan dampak domestik maupun internasonal.

Terhadap pandangan ini maka saya dapat menyimpulkan bahwa:

1. Pengesahan suatu PI tidak identik dengan pemberlakuannya ke dalam hukum nasional.
2. Perlu ada legislasi nasional untuk memberlakukan PI dimaksud
3. Legislasi nasional yang memberlakukan itu harus setingkat dengan instrumen hukum yang meratifikasi (jika diratifikasi dengan UU maka legislasinya harus UU, jika dengan Perpres maka legislasinya bisa Perpres)

Dari kesimpulan tersebut maka Bapak Parthiana telah mengambil salah satu pendekatan yang memang tidak asing dalam teori hubungan hukum, yaitu “perlunya legislasi nasional untuk memberlakukan suatu PI atau dengan kata lain transformation. Pendekatan ini sangat berdekatan dengan penganut “dualisme”.

Saya menyadari bahwa Bapak Parthiana tidak terlalu menyukai istilah dualisme ini. Namun apa pun namanya, bagi kami di Deplu pandangan Bapak telah cukup memberi wacana dan kontribusi dalam rangka membantu menjelaskan tentang eksitensi aliran ini. Pertanyaan saya yang mendasar adalah apakah pandangan yang dipilih oleh Bapak Parthiana tersebut diatas dapat diterapkan dengan serta merta dalam praktek? Jawabnya tentu tidak, karena pandangan ini akan bertabrakan dengan aliran lain yang juga memiliki keabsahannya yaitu monisme. Pandangan Bapak Parthiana memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam teori namun sayangnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam hukum positif Indonesia, demikian sebaliknya. Dengan demikian sebelum ada dasar hukum yang kuat terhadap pandangan ini, praktek akan tetap kebingungan. Tapi bagaimana pun juga, Bapak telah memperkenalkan dan mengembangkan suatu pandangan yang bermanfaat sebagai suatu doktrin


 Komentar I Wayan Parthiana

Tentang pemberlakuan perjanjian internasional dengan PERPU: Yang saya maksudkan adalah, jika keadaan memaksa/mendesak, yakni, karena satu dan lain hal tidak ada kesempatan lagi bagi Presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam rangka meratifikasi dan memberlakukan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia dengan undang-undang. Misalnya, karena Presiden bermaksud untuk menghadiri konperensi internasional antar negara-negara pihak/peserta pada suatu Konvensi Internasional, dan untuk memperkuat posisi kehadiran dalam konperensi tersebut, Presiden memandang perlu untuk menjadi pihak pada Konvensi itu dan selanjutnya memberlakukan (mengesahkan dan mengundangkan) ke dalam hukum nasional. Oleh karena dalam keadaan mendesak/memaksa seperti ini, maka Presiden sebaiknya memberlakukannya ke dalam hukum nasional dengan PERPU, bukan dengan Keppres/Perpres seperti yang berlaku selama ini. Dalam praktek tentulah akan lebih banyak lagi ada alasan untuk memilih bentuk PERPU dan memberlakukan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasional.

Bahwa PERPU ini secara internasional (eksternal) akan menimbulkan risiko, yakni, sesuai dengan ketentuan UUD 1945, jika setelah berlaku satu tahun, PERPU itu harus dimintakan persetujuan pada DPR. Jika disetujui oleh DPR maka statusnya menjadi undang-undang (UU/Prp) sehingga tidak ada masalah apapun yang timbul.

Jika DPR menolaknya, makan PERPU itu harus dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Akan tetapi PERPU semacam ini mengandung dimensi internasional, yakni, tentang keterikatan Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasinya. Apakah Indonesia harus menarik diri secara sepihak, dengan alasan masalah domestik (DPR menolaknya)? Bisa saja! Namun, alasan ini tampaknya kurang elok.

Hal ini bisa disiasati dengan mengajukan persyaratan (reservation) yang harus diajukan dalam waktu yang bersamaan dengan pengajuan pernyataan persetujuan untuk terikat. Pensyaratan itu ditujukan terhadap pasal perjanjian yang mengatur tentang mulai terikatnya negara yang bersangkutan (dalam kasus ini: Indonesia) pada perjanjian internasional itu. Kira-kira pensyaratan itu berbunyi sebagai berikut

“Dengan ini Indonesia mengajukan pensyaratan terhadap Pasal….., bahwa Indonesia baru bersedia terikat pada Perjanjian ini, setelah DPR RI menyetujui untuk terikat pada Perjanjian ini sebagaimana diatur di dalam hukum nasional Indonesia. Sebaliknya, jika DPR RI menolaknya, maka Indonesia dengan sendirinya tidak akan terikat pada Perjanjian ini dan dengan demikian tidak akan menjadi pihak/peserta pada Perjanjian ini.”

Sudah tentu pensyaratan tersebut bisa diajukan, apabila perjanjian itu secara tegas membolehkannya, atau secara tegas tidak melarangnya, atau jika keduanya itu tidak ada, sepanjang pensyaratan itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri.

Tentang proses pemberlakuan suatu PI ke dalam hukum nasional (Indonesia), sebenarnya sudah terjawab dalam UU Nomor 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni:
- Pasal 9 ayat 2, Pasal 10, dan Pasal 11 ayat 1 dan 2 yang pada pokoknya membedakan ke dalam dua kelompok perjanjian yakni, perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang dan yang disahkan dengan keppres (sekarang: perpres?).
- Pasal 15 ayat 1 berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku (pada tataran/aras internasional maupun nasional, IWP) setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen-dokumen perjanjian/nota diplomatic, atau melalui cara lain sebagaimana disepakati para pihak pada perjanjian itu.

Dengan catatan, bahwa istilah “pengesahan” di dalam UU tersebut diartikan sebagai pemberlakuan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, maka menurut UU tersebut ada tiga kategori perjanjian internasional, yakni:
1.Perjanjian internasional yang disahkan (diberlakukan) dengan UU;
2.Perjanjian internasional yang disahkan (diberlakukan) dengan Keppres; dan
3.Perjanjian internasional yang diberlakukan secara langsung (perjanjian internasional tanpa bentuk hukum/tanpa kendaraan) karena langsung diberlakukan. Inikah yang disebut: self-executing treaty?

Terakhir, tentang pandangan saya yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam hukum positif Indonesia, boleh jadi benar adanya. Akan tetapi, jika pandangan saya ini bisa diterima/disetujui, justru bisa dijadikan sebagai hukum positif. Bahkan hukum positif yang selama ini sudah ada dan dijadikan sebagai dasar hukum oleh para praktisi, bisa digantikan oleh hukum positif yang baru yang merupakan pentransformasian dari pandangan saya tersebut.

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger