Wednesday, July 8, 2009

STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PRAKTEK INDONESIA

Oleh : Damos Dumoli Agusman*

Hukum, doktrin dan praktek Indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan acapkali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional di dalam kerangka sistem hukum nasional. Ketidakjelasan ini merupakan bagian dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam dunia praktisi dalam menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum RI. Terhadap pertanyaan ini di kalangan pemerintah dan opini publik berkembang berbagai alur pikiran yang dapat dipetakan sbb :

1. Alur pikiran yang menempatkkan perjanjian internasional yang telah disahkan (ratifikasi) sebagai bagian dari hukum nasional.
2. Alur pikiran yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk mengimplementasikan suatu perjanjian internaional yang telah disahkan

Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Pada negara-negara maju, aliran ini dicerminkan dalam constitutional provisions atau UU nasional yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sistem hukum Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini sehingga jangankan suatu constitutional legal provisions, wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai.

Dalam teori, terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu:
(a) Aliran Dualisme yang menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hirarki antara kedua sistem hukum ini. Konsekuensi dari aliran ini adalah diperlukannya lembaga hukum “transformasi” untuk mengkonversikan hukum internasional kedalam hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk prosedur konversi ini. Dengan dikonversikannya kaidah hukum internasional ini ke dalam hukum nasional maka kaedah tersebut akan berubah karakter menjadi produk hukum nasional dan berlaku sebagai hukum nasional serta tunduk dan masuk pada tata urutan perundang-undang nasional.

(b) Aliran Monisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama maka legislasi dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional dimaksud. Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional.

Selain kedua aliran tersebut diatas terdapat pula negara yang menempatkan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.

Pada negara-negara hukum modern seperti AS, Inggris dan negara-negara Eropa Barat, pengembangan doktrin tentang hubungan hukum ini telah digulirkan sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses legislasi maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu pilihan politik hukum baik monisme, dualisme maupun kombinasi keduanya. Pada negara-negara tersebut, persoalan status hukum internasional, baik hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional dalam hukum nasional mereka telah tuntas dan pada umumnya dapat dipetakan sebagai penganut aliran monisme (Belanda, Jerman, Perancis), dualisme (AS, Inggris, Australia) atau kombinasi keduanya (Indonesia?).

Sistem hukum indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Namun di dalam literatur Indonesia, Prof. Mochtar Kusumaatmadja (Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, 1976) secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar di kemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.

Constitutional Provisions atau ketentuan Indonesia tentang masalah ini juga masih sangat minim dan belum mengindikasikan apa pun tentang politik hukum yang hendak dianut. Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR serta menetapkan kriteria umum tentang perjanjian lainnya yang perlu mendapat persetujuan DPR. Aturan yang mungkin agak relevan tentang masalah ini adalah Pasal 22 a Algemene Bepalingen (AB) yang menyatakan bahwa kekuasaan hakim dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang ditetapkan oleh hukum internasional.

UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang diharapkan serta seyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Menurut pengamatan penulis sebagai salah satu anggota yang pernah turut dalam proses awal pembahasan RUU ini, ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mewarnai proses penyusunan UU ini, yaitu:

1. Para perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang saat itu melalui pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang mengindikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monisme primat hukum internasional. Pandangan ini juga mewarnai pandangan Departemen Luar Negeri RI sebagai lembaga pemerintah yang membina standarisasi tentang pembuatan perjanjian internasional. Akibatnya, isu tentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional tidak menjadi agenda krusial dalam pembahasan UU ini dan dapat diasumsikan bahwa teori monisme merupakan pedoman dasar dalam penyusunannya. Hal ini tercermin dari Pasal 13 UU ini yang menginstruksikan bahwa setiap UU atau Perpres yang mengesahkan perjanjian internasional ditempatkan dalam lembaran negara. Pada penjelasannya diartikan bahwa dengan penempatannya dalam lembara negara maka perjanjian tersebut mengikat seluruh warga negara RI. Suatu konstruksi yang sangat kental dengan warna monisme.

2. UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktek negara RI tentang pembuatan perjanjian internasional yang sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Praktek Indonesia sebelum UU ini nyaris tidak mengalami konflik yang bersumber dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Hal ini mungkin disebabkan oleh perhatian publik baik akademisi maupun praktisi belum melirik permasalahan ini. Selain itu, ketertiban orde baru serta pendekatan pragmatis yang kuat pada waktu itu belum membuka ruang untuk adanya wacana tentang implikasi benturan kedua sistem hukum ini.

3. Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belum menyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan hukum internasional dan nasional. Sekalipun masalah ini merupakan bagian khusus dari mata kuliah hukum internasional namun belum terdapat penelitian yang cukup memadai tentang persoalan ini dalam kaitannya dengan sistem hukum Indonesia. Di lain pihak, status hukum internasional dalam hukum nasional belum merupakan pokok bahasan dalam kurikulum mata kuliah hukum tata negara Indonesia. Dapat dipastikan bahwa hukum internasional dan hukum tata negara sibuk berkutat dengan domainnya sendiri sehingga melupakan bahwa persoalan status hukum internasional dalam hukum nasional merupakan wilayah persentuhan antara kedua cabang ini. Dalam hal ini belum terdapat suatu displin yang kolaboratif dari hukum internasional dan hukum tata negara tentang masalah ini.

4. Jurisprudensi Indonesia belum memberi kontribusi untuk teridentifikasinya persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu mendapat perhatian perumus UU ini.

Inkonsistensi dalam pengaplikasian perjanjian dan khususnya dewasa ini menjadi berkembang akibat ketidakjelasan tentang status perjanjian dalam hukum nasional. Derasnya arus globalisasi mengakibatkan persentuhan antara hukum internasional dan nasional semakin intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan. Akibatnya, semua negara termasuk Indonesia tidak lagi dapat menghindari benturan ini dan cepat atau lambat harus mengatur hubungan kedua sistem ini.

Dalam praktek Indonesia, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, misalnya UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh UU No. 17/1985 tetap membutuhkan adanya UU No. 6/1996 tentang Perairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun langsung dijadikan dasar hukum untuk implementasi, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982. Fatwa MA 2006 tentang kasus tanah Kedutaan Besar Saudi Arabia merujuk langsung prinsip kekebalan diplomatik pasal 31 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik sebagai aturan yang mengikat dalam hukum nasonal Indonesia tanpa harus menyandarkannya pada ketentuan perundang-undangan nasional.

Bersamaan dengan itu, persoalan juridis lainnya kemudian muncul, yaitu apa status hukum UU atau Perpres yang meratifikasi suatu perjanjian? Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UU atau Perpres ini adalah sama dengan UU atau Perpres dalam pengertian sebenarnya. Dalam hal ini, UU atau Perpres tersebut adalah produk legislasi. Namun terdapat pandangan lain yang melihat UU ini hanya semata-mata sebagai jubah terhadap persetujuan DPR terhadap suatu perjanjian sehingga hanya merupakan format prosedural yang tidak sama kedudukannya dengan UU biasa.

Pada tataran praktek, persoalan juridis ini melahirkan keruwetan tersendiri. Pada saat Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17/1985, UU Perpu No. 4/1960 tentang Perairan masih berlaku sehingga menimbulkan pertanyaan menarik tentang apa hakekat dari UU No. 17/1985 yang meratifikasi UNCLOS 1982. Jika UU No. 17/1985 hanya merupakan UU prosedural maka sejak diratifikasi, kaidah UNCLOS 1982 belum merupakan kaidah hukum nasional.

Dalam hal ini sistem hukum Indonesia tidak terlalu mengkonstruksikan secara tegas tentang pembedaan antara ratifikasi dalam dimensi hukum internasional dengan ratifikasi dalam dimensi hukum nasional. Akibatnya, hukum Indonesia sulit menjawab pertanyaan tentang apa arti negara Indonesia mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional bagi hukum nasional. Jika negara Indonesia meratifikasi suatu perjanjian, apakah perjanjian tersebut mengikat dalam hukum nasional?

Terhadap pertanyaan ini, UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional juga tidak terlalu tegas memberikan jawaban. Seperti diuraikan diatas, alur pikiran para perumus UU ini didominasi oleh pemikiran monisme. Akibatnya, UU ini hanya menyentuh konsep ratifikasi (pengesahan) dari dimensi hukum internasional sehingga tidak memberikan rumusan apa pun tentang konsep ini dalam dimensi hukum nasional. Seperti diketahui, pengertian ratifikasi dapat dilihat dalam dimensi eksternal (hukum internasional) yaitu kaidah hukum yang mengatur tentang prosedur bagaimana suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian seperti yang dimaksud oleh hukum perjanjian internasional. Ratifikasi seharusnya juga diatur dalam dimensi hukum nasional yaitu kaidah ketatanegaraan yang mengatur tentang kewenangan pemerintah negara tersebut untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.

Pengertian ratifikasi dalam UU ini kenyataannya hanya diartikan sebagai pernyataan eksternal negara untuk mengikatkan diri (consent to be bound by a treaty) seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Memang UU ini membahas tentang model persetujuan DPR terhadap suatu perjanjian dalam bentuk UU, namun model persetujuan ini dimaksudkan untuk memberi dasar bagi negara untuk melakukan pernyataan eksternal dalam bentuk instrumen ratifikasi yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri. Pertanyaan tentang apa konsekuensi hukum dari persetujuan DPR tersebut dalam tataran hukum nasional tetap tidak terjawab.

Bentuk persetujuan DPR dalam format UU, atau persetujuan Presiden dalam format Perpres sebagai dasar bagi Negara untuk memberikan pernyataan (eksternal) mengikatkan diri pada suatu perjanjian memberikan keruwetan hukum tersendiri. Seperti diuraikan diatas, terdapat interpretasi bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian hanya merupakan bentuk persetujuan DPR seperti yang disyaratkan oleh Pasal 11 UUD 1945. UU ini hanya merupakan jubah bagi persetujuan DPR dan tidak memuat aturan substantif sebagaimana layaknya suatu UU. Namun dilain pihak, dan umumnya secara tidak sengaja dianut oleh publik, UU ini tetap dianggap sebagai UU substantif dan diartikan sebagai UU yang mentransformasikan perjanjian itu kedalam format hukum nasional dengan tingkat yang setara dengan UU. Asumsi perumus UU No. 24/2000 pada waktu itu, karena diwarnai oleh warna monisme, juga telah menganggap bahwa pengesahan dalam format UU dan Perpres diartikan sebagai inkorporasi perjanjian kedalam wadah hukum nasional. Namun, di lain pihak timbul juga pertanyaan, jika UU dan Perpres dimaksud adalah produk legislasi maka mengapa format Peraturan Pemerintah Pengganti UU dan Peraturan Pemerintah tidak dijadikan salah satu format untuk meratifikasi suatu perjanjian. Pertanyaan menggelitik lainnya adalah dapatkah UU dan Perpres tersebut dilakukan judicial review? Dapatkah prinsip hirarki perundang-undangan diberlakukan terhadap UU dan Perpres yang meratifikasi sesuai dengan UU No. 10/2004 tentang Peraturan Pembuatan Perundang-undangan?

Penjabaran Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) kedalam hukum nasional merupakan contoh klasik yang menggambarkan keruwetan ini. Menyusul sejak dikeluarkan deklarasi Juanda 1957, maka melalui UU Perpu No. 4/1960 tentang Perairan ditetapkan bahwa perairan di dalam garis pangkal kepulauan Indonesia adalah rejim perairan pedalaman (Internal Waters). Selanjutnya UNCLOS 1982 sebagai hukum internasional menetapkan bahwa perairan di dalam garis pangkal kepulauan adalah rejim perairan kepulauan (Archipelagic Waters). UNCLOS 1982 ini diratifikasi oleh Indonesia melalu UU No. 17/1985. Kemudian muncul berbagai pertanyaan krusial yaitu:
1. Apakah pada saat Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17/1985 telah terjadi perubahan rejim perairan dari internal waters menjadi archipelagic waters?
2. Jika ya, apakah UU No. 17/1985 dapat dijadikan dasar hukum nasional untuk pemberlakukan rejim archipelagic waters?
3. Jika ya, mengapa UU Perpu No. 4/1960 tidak dicabut oleh UU No. 17/1985? Bukankah dengan demikian terdapat dua UU yang saling bertentangan?
Praktek Indonesia dalam implementasi UNCLOS 1982 mencerminkan pola pikir dualisme yang umumnya dianut oleh Departemen Kehakiman pada waktu itu. UU No. 17/1985 bukan merupakan UU substantif melainkan prosedural sehingga masih dibutuhkan suatu UU lain yang mentransformasikan UNCLOS 1982 ke dalam hukum nasional, yaitu UU No. 6/1996 tentang Perairan yang pada hakekatnya adalah penulisan kembali (“copy paste”) pasal-pasal pada UNCLOS 1982. UU inilah yang mencabut UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia.

Namun dilain pihak, baik praktek administrasi negara maupun jurisprudensi dalam beberapa kasus memperlihatkan wajah monisme. Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1/1982 telah dijadikan dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak serta fasilitas diplomatik lainnya kepada para korps diplomatik di Indonesia. Dalam hal ini tidak diperlukan transformasi kaidah Konvensi kedalam hukum nasional dan bahkan sampai saat ini tidak ada legislasi nasional yang memuat kaidah konvensi ini. Jurisprudensi MA juga telah melakukan rujukan langsung terhadap Konvensi ini tanpa harus tergantung pada perundang-undangan nasional.

Mahkamah Konstitusi dalam judicial review tentang UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah melakukan rujukan langsung pada “praktek dan kebiasaan internasional secara universal”. Terobosan ini sangat menarik dalam diskusi monisme-dualisme karena menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hakim dapat terikat pada kaidah hukum internasional. Beberapa pakar menyebutkan bahwa yang menjadi dasar sehingga hakim terikat pada praktek dan kebiasaan internasional secara universal adalah melalui konstruksi yang dikenal dalam hukum internasional yaitu keterikatan setiap negara terhadap hukum kebiasaan internasional dengan atau tanpa persetujuan negara tersebut (monisme). Namun dilain pihak keterikatan hakim ini juga dapat dijelaskan melalui konstruksi ketatanegaraan yang dikenal selama ini yaitu bahwa kaidah internasional dimaksud telah menjadi konvensi ketatanegaraan yang setara dengan konstitusi sehingga mengikat secara hukum nasional termasuk hakim. Konstruksi ini justru mencerminkan aliran dualisme yang sangat mengental pada konsepsi hukum ketatanegaraan Indonesia. Namun pada gilirannya, jurisprudensi MK ini tetap belum memberikan kejalasan arah bagi status hukum internasional dalam hukum nasional.

Keruwetan ini juga akhirnya merambah pada praktek pembuatan perjanjian internasional khususnya terhadap pola pikir para juru runding Indonesia dalam melakukan suatu perundingan perjanjian internasional. Pertanyaan mendasar kemudian muncul, apakah juru runding Indonesia dapat menerima klausula perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional?. Pertanyaan semacam ini tidak terlalu mengemuka pada era orde baru mengingat pada era ini kekuatan politik militer menjadi panglima dalam pembuatan perjanjian internasional. Sepanjang keputusan politik mengijinkan, dapat saja suatu perjanjian ditandatangani sekalipun menabrak hukum nasional. Hukum nasional kemudian diharapkan dapat melakukan penyesuaian dengan perjanjian dimaksud. Namun pada era reformasi, pertanyaan ini justru menjadi beban tersendiri bagi para juru runding. Nyaris dapat digambarkan bahwa tidak seorang pun juru runding pada era reformasi ini berani merumuskan suatu klausula perjanjian yang diketahui menabrak hukum nasional.

Dalam praktek negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan negara mengubah hukum nasionalnya bukanlah sesuatu yang tidak lazim. Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional justru menekankan bahwa maksud negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional. Juru runding Indonesia dalam menegosiasikan UNCLOS 1982 justru menabrak UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam hal ini perjanjian dapat saja dirundingkan dengan maksud untuk kemudian mengubah hukum nasional.

Namun pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional (pursuant to the respective laws and regulations) sangat ditekankan oleh Indenesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakati tetap dalam koridor hukum nasional. Prinsip ini dikedepankan karena para juru runding menghindari adanya klaim bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hukum nasional. Nuansa ini terlihat jelas dalam perundingan Economic Partnership Agreement RI-Japan 2007. Pada perundingan ini, Delri secara ketat berpedoman pada peraturan UU yang berlaku dan untuk itu Perjanjian ini harus mengikuti hukum nasional Indonesia bukan sebaliknya. Bahkan, perjanjian ini baru dapat dituntaskan serta ditandatangani setelah dikeluarkannya UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang baru.

Prinsip untuk semata-mata mengedepankan hukum nasional dalam perundingan perjanjian internasional sebenarnya tidak memiliki justifikasi hukum. Dalam hukum Indonesia tidak terdapat aturan yang melarang pembuatan perjanjian yang menabrak hukum nasional. Pasal 4 (2) UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional hanya menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Terjadinya pembuatan perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional justru diberi ruang oleh UU no. 24/2000 antara lain melalui pasal 10 e tentang perjanjian yang berkaitan dengan pembentukan kaidah hukum baru. Pembentukan kaidah hukum baru dapat berupa kaidah baru dalam rangka mengisi kekosongan hukum atau kaidah baru yang menggantikan kaidah yang lama (yang berarti bertentangan dengan kaidah yang lama). Contoh perjanjian ini adalah UNCLOS 1982. Praktek perumusan naskah akademis dan naskah penjelasan untuk UU dan Perpres yang mengesahkan suatu perjanjian juga mengindikasikan kemungkinan benturan antara perjanjian dengan hukum nasional. Dalam dokumen ini terdapat suatu bab khusus yang berjudul “Harmonisasi dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada” yang isinya adalah mengidentifikasi hukum nasional yang bertentangan dengan perjanjian untuk dilakukan penyesuaian.

Keengganan para juru runding untuk menabrak hukum nasional justru disebabkan oleh ketidakjelasan aturan tentang masalah ini yang berakar pada ketidakpastian hukum tentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional. Sekalipun tidak ada larangan hukum nasional untuk menabrak hukum nasonal dalam pembuatan perjanjian, para juru runding tetap dibayangi ketidakpastian akibat ketiadaan aturan yang secara jelas mengijinkan mereka untuk melakukan itu.

Inkonsistensi juga terjadi pada pola pikir Pemerintah dalam meratifikasi suatu perjanjian. Pada era orde baru, meratifikasi suatu perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional bukan merupakan kendala hukum. Namun pada era reformasi terdapat kecenderungan untuk menyesuaikan dulu hukum nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini misalnya terjadi pada Perjanjian Kawasan Ekonomi Khusus Batan, Karimun, Bintan RI-Singapura 2006 yang harus menunggu dikeluarkannya Perpu 1/2007 tentang Kawasan Khusus sebelum dilakukan proses ratifikasi.

Sebaliknya pertanyaan mendasar lainnya adalah dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan suatu perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional? Praktek Indonesia justru membuktikan bahwa banyak perjanjian internasional yang tidak selaras dengan hukum nasional diratifikasi oleh DPR/Presiden. Namun jika di era reformasi ini DPR diperhadapkan dengan suatu perjanjian yang jelas menabrak hukum nasional, dapatkah argumentasi “terjadinya pelanggaran hukum nasional” dijadikan sebagai dasar untuk menolak ratifkasi perjanjian tersebut? Pertanyaan semacam ini akan tetap menjadi kontroversi sepanjang hukum Indonesia tidak menyediakan jawaban yang tegas tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.

Bagaimana produk legislasi Indonesia mengidentifikasi serta menempatkan hukum internasional juga diwarnai oleh kegamangan. UU No. 39/1999 tentang HAM pasal 7 ayat (2) secara tegas menyebut bahwa “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional”. Ketentuan ini jelas dipengaruhi oleh warna dualisme karena secara tegas melalui pasal ini ketentuan hukum internasional ditransformasikan menjadi hukum nasional. Dalam kaitan ini hakim dapat merujuk langsung pada ketentuan internasional HAM dalam karakternya sebagai hukum nasional. Namun demikian UU ini tidak jelas menentukan kapan negara RI telah menerima suatu ketentuan hukum internasional, apakah melalui mekanisme pengesahan (ratifikasi) atau mekanisme lain seperti pernyataan unilateral atau the absence of its persistent objections?. Jika penerimaan (transformasi dalam konteks dualisme) dilakukan melelaui pengesahan maka UU ini sudah memberi kontribusi dalam pembangunan sistem dualisme dalam kaitannya dengan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.

UU No 34/2004 tentang TNI juga membuat rujukan terhadap hukum internasional misalnya dalam beberapa pasal menyebut: hanya terikat pada “hukum internasional yang telah diratifikasi”. Klausula ini sangat rancu karena pengertian ratifikasi hanya dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional sebagai salah satu instrumen hukum internasional, sedangkan hukum kebiasaan internasional tidak bisa diratifikasi namun hanya bisa diinkorporasi/transformasi (melalui UU nasional) atau ditolak dalam rangka persistent objections.

UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal merupakan salah satu contoh produk legislasi yang sarat dengan kegamangan persoalan hubungan perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam penjelasan umum ditegaskan bahwa UU ini dimaksudkan untuk mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang berarti bahwa UU ini disesuaikan dengan dinamika perjanjian internasional yang telah demikian pesat. Namun, warna dualisme dimunculkan dalam beberapa pasal misalnya pasal 16 yang mewajibkan agar setiap perjanjian internasonal yang akan dibuat oleh Indonesia disesuaikan dengan UU ini. Kontradiksi dari pasal ini tanpa disengaja muncul pada pasal 6 (1) yang mengijinkan adanya perlakukan istimewa (yang hakekatnya bertentangan dengan UU ini) terhadap investor negara asing berdasarkan perjanjian internasional. Kewajiban untuk menyesuaikan setiap perjanjian dengan UU ini di satu pihak, serta diperbolehkannya memberikan perlakuan istimewa yang menyimpang dari prinsip UU ini di lain pihak, tetap meyisakan berbagai pertanyaan krusial yaitu apakah UU ini dapat menganulir perjanjian internasional yang bertentangan dengan UU ini?, atau apakah suatu perjanjian internasional dapat mengecualikan UU ini? Ketidakjelasan ini tentu akan membingungkan para juru runding Indonesia dalam menghadapi perjanjian di bidang penanaman modal.

Globalisasi juga ditandai dengan berkembangbiaknya perjanjian-perjanjian internasional yang mencoba mengatur permasalahan-permasalahan yang menjadi domain hukum nasional. Perjanjian-perjanjian semacam ini tidak langsung menciptakan aturan melainkan hanya melakukan standard-setting yang kemudian akan diundangkan oleh negara-negara anggota dalam hukum nasionalnya. Perjanjian ini tidak menciptakan norma itu sendiri melainkan mewajibkan negara anggota untuk membuat UU nasional yang menciptakan norma-norma dimaksud. Contoh perjanjian ini adalah Konvensi tentang hukum perdata internasional, HAKI, Anti Korupsi, Organisasi Kriminal Terorganisasi dll. Dalam perspektif hubungan hukum internasional dan hukum nasional, perjanjian-perjanjian semacam ini acapkali dijadikan contoh secara kurang tepat. UU Antikorupsi sering diartikan sebagai UU yang mentransformasikan Konvensi Antikorupsi, atau UU Patent/Merk selalu diartikan sebagai UU yang mentransformasikan Konvensi tentang Patent/Trademark. Menurut penulis, UU dimaksud bukanlan UU transformasi dalam perspektif dualisme, melainkan UU yang mengimplementasikan kewajiban negara anggota terhadap Konvensi untuk mengundangkannya dalam hukum nasional terlepas dari aliran apa pun yang dianut oleh Indonesia. Konvesi dimaksud tidak bersentuhan dengan hukum nasional karena materi yang dimaksud oleh Konvensi berada pada domain hukum nasional. Konvensi-konvensi dimaksud hanya membatasi diri pada formula each state shall adopt in its national legislation....Dengan demikian, UU yang mengimplementasikan konvensi-konvensi yang bersifat standard-setting tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.

Kejelasan doktrin dan hukum yang mengatur tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi Indonesia. Pada era globalisasi dewasa ini, telah berkembang kaidah hukum internasional yang telah berlaku umum dengan atau tanpa persetujuan negara. Kaidah-kaidah yang menyangkut kehidupan manusia seperti terorisme, HAM, dan isu-isu lingkungan tanpa disadari telah mengikat Indonesia dan bahkan, khususnya tentang HAM, telah mengikat para hakim Indonesia sekalipun belum ditransformasikan kedalam hukum nasional. Apa yang menjadi dasar hukum positif sehingga para hakim terikat pada kaidah HAM sangatlah sulit dijawab karena belum ada doktrin, apa lagi legal provision, yang dibangun untuk menjelaskan tentang status hukum internasional dalam hukum nasional. Tantangan ini telah mengharuskan Indonesia untuk mengambil sebuah kebijakan nasional (politik hukum) yang mengatur hubungan kedua sistem hukum ini. Kebijakan tersebut akan menentukan status perjanjian internasional, memberikan arah bagi konsistensi penerapan perjanjian internasional, dan menentukan sejauh mana hukum internasional dapat mempengaruhi sistem hukum nasional. Absennya kebijakan tersebut akan mengakibatkan inkonsistensi yang lebih besar dan menjadi preseden buruk bagi kepastian hukum di tatanan nasional.

Era globalisasi juga ditandai dengan interaksi yang semakin intensif antara kaidah hukum kebiasaan internasional dengan hukum nasional. Dalam metodologi hukum internasional, negera terikat terhadap hukum kebiasaan internasional kecuali negara dimaksud melakukan penolakan secara konsisten (persistent objections). Hukum internasional juga tidak memperdulikan bagaimana keterikatan ini dikonstruksikan dalam hukum nasional karena masalah ini adalah domain hukum nasional. Dalam prakteknya Indonesia sebagai anggota komunitas negara tunduk pada kaidah hukum kebiasaan internasional ini namun sayangnya belum terdapat konstruksinya dalam hukum nasional. Akibatnya, terdapat kemungkinan bahwa Indonesia sebagai negara melanggar hukum kebiasaan internasional namun pada saat bersamaan menegakkan hukum nasional. Contoh yang hipotetis tentang pertentangan ini adalah jika seorang Menlu negara asing berkunjung ke Indonesia dan melakukan tindak pidana, maka aparat hukum Indonesia mulai dari kepolisian, penuntut umum dan hakim akan menerapkan prinsip bahwa Menlu tersebut tidak memiliki imunitas karena tidak ada UU nasional yang memberikan imunitas dimaksud. Namun menurut hukum kebiasaan internasional yang juga mengikat Indonesia, seorang Menlu memiliki imunitas. Menjatuhkan pidana bagi Menlu dimaksud adalah sesuai dengan UU Indonesia namun secara bersamaan perbuatan Indonesia tersebut telah melanggar hukum kebiasaan internasional.

Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untuk mulai mengembangkan aturan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Penelitian akademis perihal ini tapkanya sudah harus dimulai dan dikembangkan. Pengguliran yang dimulai dari wacana akademisi memang lebih disarankan ketimbang menyerahkan sepenuhnya kepada kecenderungan praktek Indonesia. Praktek Indonesia sepanjang tidak dibangun oleh suatu doktrin dan kajian akademis yang memadai tetap akan menunjukkan inkonsistensi yang mengarah pada ketidakpastian hukum. Pengalaman praktek Indonesia seperti diuraikan diatas telah membuktikan hal tersebut.

Hukum Perjanjian Internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 Vienna Convention 1969 on the Law of Treaties mengatur prinsip fundamental hukum perjanjian internasional, Pacta Sunt Servanda yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lebih lanjut negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.

* Penulis adalah lulusan FH Unpad (1987) dan University of Hull, Inggris (1990) yang saat ini menjabat Direktur Perjanjian Ekososbud, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan bukan merupakan pandangan resmi DEPLU

---------------------------

BIBLIOGRAPHY

Jackson, John H, “Status of Treaties in Domestic Legal System: A Policy Analysis”, AJIL, Vol, 86, No. 2 (Apr. 1992), pp. 310-340

Anthony Aust. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge University Press, 2000.
Charlotte Ku & Paul F. Diehl. International Law: Classic and Contemporary Readings. London: Lynne Rienner Publishers, Inc, 2003.

D. J. Harris. Cases and Materials on International Law. London: Sweet & Maxwell, Ltd, 1998.

Delano Verwey. The European Union and the International Law of Treaties. Cambridge University Press, 2004.

Jan Klabbers. The Concept of Treaty in International Law. Martinus Nijhoff Publishers, 1996.

Malcolm N. Shaw. International Law. Cambridge University Press, 1997.

Marvin A. Chirelstein. Concepts and Case Analysis in the Law of Contracts. New York: Foundation Press, 2001.

Shaw, M.N., “International Law”, Grotius Publication, 1991

Wallace, Rebecca, “International Law”, Sweet & Maxwell, London, 2005

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta 1975.

Syahmin AK. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Clifford J. Hynning, Treaty Law for the Private Practitioner, The University of Chicago Law Review, Vol. 23.

Cassese, Antonio, International Law, Oxford, 2005

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger