Tuesday, July 21, 2009

PENGARUH HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PROSES LEGISLASI

Oleh Romli Atmasasmita

Pendahuluan

Betapa pentingnya mempersoalkan dan mengkaji serta memahami bagaimana pengaruh hukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan prinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara didalam memasuki terutama abad globalisasi ini. Globalisasi sering diartikan secara kurang tepat, “dunia tanpa batas”, sedangkan justru dalam abad 21 globalisasi masalah batas wilayah Negara dan yurisdiksi Negara merupakan isu yang sangat penting terutama bagi Negara berkembang. Kedua, secara geografis, ethnografis dan secara cultural telah diakui eksistensi keragaman antara bangsa tersebut sehingga hambatan implementasi hukum internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia (melalui ratifikasi) sering erbentur kepada masalah penerimaan pengaruh asing (hukum internasional) ke dalam kehidupan nyata yang berkembang di Indonesia. Ketiga, kerentanan masalah hukum asing tersebut berkaitan denan pengakuan atas hak ekonomi, hak social dan hak politik yang berkembang dalam masyarakat.

Pengertian istilah “pengaruh” dalam konteks penyusunan program legislasi nasional dan implementasinya kurang tepat, lebih baik digunakan istilah “aspek” sehingga yang dipersoalkan adalah melakukan formulasi aspek internasional ke dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan nasional. Jika formulasi tersebut dapat dilaksaakan secara lengkap dan memadai maka prasangka buruk terhadap masuknya pengaruh asing melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dicegah dan diatasi. Formulasi dimaksud sampai saat ini beum dituangkan ke dalam suatu kebijakan legislasi nasional. Selain itu pengertian istilah “pengaruh” menempatkan hukum nasional selalu dalam posisi “underdog” atau objek yang selalu dapat dipengaruhi sedangkan dari prinsip kebijakan uar negeri bebas dan aktif serta prinsip ”kedaulatan Negara” (State sovereignty), posisi sedemikian adalah mustahil dan terdengar sangat naïf bagi suatu bangsa dan Negara yang meredeka dan berdaulat.

Judul makalah ini seharusnya menjadi, “Aspek (hukum) internasional didalam proses penyusunan program legislasi nasional dan implementasinya.”

Prinsip Kedaulatan Negara (State Sovereignty)

Prisip kedaulatan Negara atau “state sovereignty” merupakan prinsip umum hukum internasional yang bersifat internasional. Prinsip ini telah menjadi perdebatan para ahli hukum internasional sejak lama yang kemudian dijlaskan melalui teori dualisme dan monisme. Perkembangan kedua teori tersebut oleh setiap Negara ditanggapi berbeda-beda sesuai dengan kepentingan nasional Negara masing-masing. Ada Negara ang mengutamakan teorimonisme primat hukum nasional dan ada Negara yang mengutamakan monisme primat huku internasional.

Di dalam Mukadimah UUD 1945 dan batang tubuhnya menegaskan bahwa NKRI merupakan Negara Kesatuan –territorial integrity-, yang mengutamakan prinsip teritorialitas sebagai acuan utama. Prinsip kedaulatan dalam bentuk asli adalah menjagakeutuhan wilayah territorial dan mencegah terjadinya investasi dari Negara lain. Sedangkan “Montevideo Convention on The Rights and Dutiesnof States” tahun 1933 menegaskan bahwa, Negara selaku subjek hukum internasional memiliki 4 (emapat) kualifikasi, yaitu : (a). penduduk yang tetap; (b). batas wilayah tertentu; (c). pemerintahan; (d). kapasitas dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan Negara lain. Singkatnya Konvensi tersebut menentukan syarat Negara untuk diakui sebagai subjek hukum internasional.

Dalam konteks kemampuan melakukan hubungan internasional, diperlukan agen diplomatic Indonesia di dalam proses negosiasi satu draft konvensi. Kemampuan itu sendiri tidak dilahirkan melainkan dipelajari dan dilaksanakan secara benar. Untuk memahami dengan benar tentang perjanjian internasional dan sejauh manakah peranan Negara di dalam menyikapisuatu treaty perlu dijelaskan beberapa hal dibawah ini.

Treaty adalah perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mengikatkan diri ke dalam suatu kepentingan bersama mengenai suatu objek tertentu. Hukum Perjanjian Internasional yang bersumber dari The Law of the Treaties – United Convention on the Law of the Treaty – UNCLT (1969) menegaskan harus dipenuhi syarat “pacta sunt servanda” = suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban moral dan hukum bagi para pihak dengan itikad baik melaksanakan isi suatu perjanjian yang bersangkutan.

Cara mengikatkan diri kedalam suatu perjanjian internasional berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu Negara – “Civil Law system” atau “Common Law System”. Di dalam sistem hukum “Civil Law”, penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen. Sedangkan sebaliknya di dalam sistem hukum “Common Law”, penandatanganan suatu perjanjian serta merta merupakan sumber hukum nasional.

Bagi Indonesia yang masih menganut sistem hukum “Civil Law”, pemberlakuan perjanjian nternasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi oleh DPR RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-undang RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Peratifikasian suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar penerapannya di dalam praktik. Namun demikian dalam proses legislasi di Indonesia, peratifikasian tersebut diwujudkan dalam suatu “undang-undang pengesahan”. Implementasi undang-undang ratifikasi tersebut masih harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalam hal objek perjanjian internasional teah dimuat sebagian atau seluruhnya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasi tersebut akan melahirkan suatu UU tentang Perubahan. Jika objek perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di sistem hukum nasional, maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru. Bagaimana kedua proses legislasi tersebut di atas seharusnya diterapkan di dalam sistem hukum Indonesia, berikut akan dibahas mengenai sejauh mana ketentuan dalam suatu perjanjian internasional dapat dirumuskan menjadi suatu hukum (nasional) baru?


Proses dan pengaruh ratifikasi perjanjian internasional ke dalam proses legislasi

Yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam judul di atas adalah perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh pemerintah dalam bentuk suatu undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional.

Di dalam menyikapi suatu perjanjian intrnasional pemerintah memerlukan penelitian yang bersifat komprehensif selama melakukan proses negosiasi atas draft konvensi dan harus mengetahui dan memahami karakteristik Negara pengambil inisiatif pengajuan draft konvensi (like minded countries) serta latar belakang politik dari pengajuan suatu draft konvensi tersebut dihubungkan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Departemen Luar Negeri adalah pelaksana utama dari seluruh proses tersebut sejak negosiasi, adopsi, penandatanganan, dan ratifikasi, dibantu oleh Kementrian Politik, Hukum, dan Keamanan atau Kementrian coordinator lain dan kementrian terkait. Kata kunci dari keberhasilan seluruh proses tersebut terletak pada kesatuan visi dan misi serta pemahaman mengenai kedaulatan Negara dan kepentingan nasional di bidang pertahanan, keamanan, social, ekonomi, budaya, hukum dan kepentingan politik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan prasyarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, yaitu mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan sektoral, perorangan, kelompok dengan berbagai alas an latar belakang dan kepentingan partai politik.

Selain prasyarat tersebut diatas, di dalam proses negosiasi dan ratifikasi suatu perjanjian internasional harus telah dipertimbangkan, apakah perjanjian internasional dimaksud termasuk “non-reserved convention” atau “konvensi dengan klausul reservasi” atau konvensi yang memberikan kesempatan untuk di-reservasi. Mengapa hal tersebut di atas menjadi penting? Hal ini disebabkan UNCLT menegaskan bahwa Negara pihak (yang telah meratifikasi) dalam suatu perjanjian tidak boleh mengemukakan alas an untuk tidak melaksanakan isi suatu perjanjian dengan pertimbangan bahwa isi perjanjian tersebut bertentangan dengan sistem hukum nasional Negara yang bersangkutan.

Pertimbangan lain dalam menyusun suatu undang-undang pasca ratifikasi adalah harus secara teliti mempertimbangkan sifat dari suatu ketentuan konvensi : bersifat “mandatory” (mandatory obligation) atau bersifat non-mandatory obligation.

Penutup
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses negosiasi draft konvensi internasional merupakan proses yang bersifat krusial dalam perubahan hukum nasional untuk dapat menentukan perlu tidaknya pemerintah Indonesia ikut serta menandatangani konvensi setelah diadopsi menjadi bagian dari ketentuan hukum internasional.
2. Adopsi yang akan disusul dengan penandatnganan suatu konvensi internasional memerlukan suatu proses nasional yang bersifat antar lembaga serta perlu mempertimbangkan masukkan DPR RI terutama sepanjang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional, kekayaan alam dan sumber daya manusia, ekonomi nasional dan hak asasi manusia.
3. Proses ratifikasi suatu konvensi internasional bukan hanya proses persetujuan semata-mata melainkan seharusnya merupakan forum pertanggungjawaban politis pemerintah dihadapan DPR RI.
4. Pasca ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya UU Pengesahan Konvensi melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses: harmonisasi substantive dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan konvensi dimaksud; dan perancangan draft RUU sebagai sumber hukum nasional yang diakui di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan UUD 1945.
5. Keseluruhan proses menuju kepada ratifikasi suatu konvensi internasional mencerminkan politik nasional di dalam meningkatkan hubungan internasional. Atas dasar pertimbangan tersebut proses dimaksud harus direncanakan secara serius, konsisten dan berkesinambungan oleh instansi terkait di bawah koordinasi Departeman Luar Negeri, dan berkonsultasi dengan DPR RI.

--------------------------
Prinsip “state sovereignty” memiliki 3 (tiga) pengertian, yaitu: “Equality of States”;”Territorial Integrity”; dan “Non-intervention” (Article 4 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime – “Protection of Sovereignty” – 2000; Article 4 United Nations Convention Against Corruption – 2003).
Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional” Bagian Kesatu;Bina Cipta, tahun ..............
Ketentuan Pasal 9 KUHP menegaskan bahwa ketentuan dalam Buku Kesatu Bab I Pasal 2 – Pasal 8 dibatasi berlakunya oleh hukum internasional yang telah diakui (telah ratifikasi,sic!). Ketentuan hukum pidana tersebut merupakan pengakuan atas diterimanya teori monisme primat hukum internasional, dan mengenyampingkan teori monisme primat hukum nasional.
Dikutip dari Lung-Chu Chen, “An Introduction to Contemporary International Law”: A Policy Oriented Perspective; Yale University Press, 2nd ad; p. 25-26.
Contoh UU RI No. 11 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Covenant and Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya); UU RI No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; dan UU RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption.
Statuta ICC atau StatutaRoma 1998 efektif berlaku tanggal 17 Juli 2002 termasuk konvensi yang tidak dapat direservasi . Sedangkan UN Transnational Organized Crime (UNTOC) tahun 2000 dan UN Conv. Against Corruption tahun 2003 merupakan konvensi yang tidak dianjurkan untuk diresrvasi oleh negara pihak. Ketentuan tentang boleh tidak diresrvasi dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian. Begitu juga dalam hal ketentuan mengenai Penyelesaian Sengketa.
Article 27 UNCLT menegaskan, “A Party may not invoke the provisions of its internal as justification for its failure to perform a treaty, this rule is without prejudice to Article 46”. Article 46 menegaskan sebagai berikut: “A state may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manidest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance.”
Mandatory Obligation diterjemahkan dalam kalimat “shall” atau “shall consider adopting”; sedangkan non-madatory obligation diterjemahkan dalam kalimat “may” atau “may consider”. Contoh: di dalam UNCAC 2003 atau Konvensi PBB Anti Korupsi menyebutkan: “Each State Party shall, in accordance with the fundamental principles of its legal system, develop and implement or maintain effective, coordinated anti-corruption policies that promote the participation of society and reflect the principles of the rule of law... (Pasal 5). Pasal 31 para 8: “Each State Parties may consider the ossibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation...”

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger